Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Sri Mulyani Sindir Tunjangan Guru: Besar tapi Tak Berkualitas

Sri Mulyani mengatakan besarnya tunjangan guru tak mencerminkan kualitasnya.

10 Juli 2018 | 13.51 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Mei 2018. TEMPO/Adam Prireza
Perbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat hadir dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Mei 2018. TEMPO/Adam Prireza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan besarnya tunjangan guru dalam bentuk sertifikasi tidak mencerminkan kualitas pendidik. Hal tersebut ia sampaikan kepada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Saya dulu memulai bahwa guru harus disertifikasi. Saya senang, tapi sekarang sering sertifikasi itu tidak mencerminkan apa-apa. Dia mungkin hanya prosedural saja untuk bisa mendapat tunjangan," kata Sri Mulyani di Aula Gedung Guru Indonesia, Jakarta, Selasa, 10 Juli 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani melihat sertifikasi guru saat ini tidak dijadikan sebagai gambaran guru yang betul-betul profesional dan tidak menggambarkan guru yang bertanggung jawab terhadap kualitas mengajar.

Dia meminta guru berpikir keras bersama pemerintah mengenai kesejahteraan dan kualitas guru. Sebab, menurut Sri Mulyani, 20 persen atau Rp 444 triliun alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 digunakan untuk sektor pendidikan.

Baca: Menteri Pendidikan: Tidak Ada Pemotongan Tunjangan Guru

Sri Mulyani mengatakan konstitusi Indonesia mengharapkan keberpihakan kepada sumber daya manusia. Karena itu, menurut dia, pendidikan menjadi hal yang sangat penting.

Setiap tahun, kata Sri Mulyani, anggaran untuk pendidikan naik karena pendapatan dan belanja negara naik. Menurutnya, anggaran pendidikan pada 2009 sekitar Rp 160 trilun, pada 2013 naik menjadi Rp 332 triliun, dan pada 2017 juga naik menjadi Rp 419,8 triliun.

"Maka saya Menteri Keuangan pertama yang langsung melihat bahayanya mekanisme anggaran seperti itu. Bukan bahaya mengalokasikan anggaran pendidikan, tapi mekanisme (naik tiap tahun atau dapat 20 persen) seperti ini akan membuat kita teledor untuk merancang penggunaan anggaran," ujarnya.

Dari mekanisme seperti itu, Sri Mulyani menilai masih rendahnya peran guru dalam memikirkan anggaran yang didapat untuk apa, dengan target tujuan yang dihubungkan dengan kepentingan anak-anak Indonesia yang harus dididik.

Sri Mulyani, yang memang tumbuh dalam keluarga pendidik, juga menilai desain pendidikan Indonesia perlu dipikirkan lebih keras.

"Karena, kalau semua orang pelaku pendidikan sibuk ingin gaji dan tidak memikirkan pendidikannya, jadi siapa yang memikirkan? Desainnya mau gimana? Kalau misal dapat 20 persen, ini dipakai strateginya gimana? Apakah gaji, perbaikan kualitas guru, sekolah, atau teknologi?" ucapnya.

Sri Mulyani juga mengatakan PGRI merupakan pilar penting yang tidak hanya memperjuangkan kesejahteraan, termasuk tunjangan guru, tapi juga untuk memperjuangkan hasil pendidikan yang baik.

Menurutnya, murid melihat sikap guru sebagai perwakilan rakyat dan masyarakat Indonesia. Sikap tersebut juga terlihat dari cara guru menyapa, memberi tahu, sampai menilai murid. "Integritas pendidik adalah nilai yang tidak bisa diperjualbelikan," tuturnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus