Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Gubernur BI mempertahankan bunga acuan 6,25 persen.
Bunga mendorong investor tetap menanamkan dana investasi.
Operasi pasar ratusan triliun rupiah tak membawa hasil.
KETIKA nilai rupiah tergerus dengan cepat beberapa pekan terakhir, Bank Indonesia mengambil pilihan berani: melawan pasar. Sidang Dewan Gubernur BI pada 20 Juni 2024 memutuskan tidak ada kenaikan bunga. BI mempertahankan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate 6,25 persen. Setidaknya untuk sebulan mendatang BI akan mencoba mempertahankan nilai rupiah hanya melalui operasi pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa dibilang BI menantang pasar untuk adu kuat. Baik investor maupun spekulan yang ingin menunggangi tren pelemahan rupiah demi meraup keuntungan akan menghitung kemampuan amunisi serta kemauan politik Dewan Gubernur BI. Apakah BI akan mengambil posisi ini habis-habisan berapa pun ongkosnya? Ataukah pada suatu titik BI bakal berubah haluan karena tak mampu lagi menguras cadangan devisa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya langkah menaikkan suku bunga acuan bisa memperkuat nilai tukar rupiah. Jika mengambil opsi ini, BI bisa punya bantalan ekstra, tak harus menjaga rupiah semata-mata lewat operasi pasar. Begini penjelasannya: bunga yang lebih tinggi akan mendorong investor tetap menanamkan dana investasinya di aset-aset finansial berdenominasi rupiah. Dus, nilai rupiah relatif lebih bisa bertahan.
Namun kenaikan bunga memang punya dampak serius pada ekonomi secara keseluruhan. Biaya modal korporasi akan meningkat. Bunga segala macam kredit pada gilirannya akan ikut naik. Kondisi ini berisiko menurunkan minat konsumen berutang. Tingkat penjualan berbagai barang dan jasa secara kredit pun menurun. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi melambat.
Pemerintah pun makin merana jika bunga naik. Pengeluaran untuk membayar bunga obligasi yang makin besar akan menggerus bujet semua keperluan lain. Sementara itu, pemerintah jelas tak mungkin menunda, apalagi mengemplang, pembayaran bunga. Indonesia bisa terjerumus ke dalam krisis utang jika itu terjadi.
Berbagai konsekuensi itulah yang agaknya memaksa BI meninggalkan opsi menaikkan bunga. Apalagi sudah terbukti pula bahwa kenaikan BI Rate dua bulan lalu ternyata tak berefek apa-apa dalam upaya menahan kemerosotan nilai rupiah. Ketika itu kurs rupiah menembus “batas psikologis” 16 ribu per dolar Amerika Serikat.
Sebagai respons, sidang Dewan Gubernur periode April 2024 menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen. Para pejabat otoritas moneter yakin kurs rupiah akan kembali menguat ke bawah 15.800 per dolar. Nyatanya, rupiah malah terpuruk makin jauh.
Tak hanya menunjukkan majalnya strategi menaikkan bunga, kemerosotan nilai rupiah dua bulan terakhir sebetulnya mengirim sinyal lain: betapa sia-sia operasi pasar oleh BI. Setelah kenaikan bunga tak mempan memperkuat rupiah, BI intensif melakukan intervensi pasar. Salah satu caranya adalah menjual Sertifikat Rupiah Bank Indonesia atau SRBI sekaligus menaikkan bunganya.
Dalam lelang 14 Juni 2024, misalnya, BI membayar bunga SRBI sebesar 7,35 persen untuk tenor 12 bulan. Ini termasuk luar biasa karena bunga itu 1,1 persen poin di atas BI Rate. BI sendiri yang langsung membiayai bunga sebesar itu demi merayu investor. Investor pun tertarik menaruh dana di SRBI sehingga per hari itu posisi totalnya mencapai Rp 666,5 triliun. Bukan cuma dana dalam rupiah, dolar investor juga disedot BI melalui Sekuritas Valas Bank Indonesia dan Sukuk Valas Bank Indonesia. Posisinya masing-masing US$ 2,30 miliar dan US$ 395 juta.
Sayangnya, operasi pasar berskala ratusan triliun rupiah dan begitu masif itu ternyata tak membawa hasil. Meskipun dana yang disedot BI lewat tiga instrumen itu sudah sedemikian besar, rupiah sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan menguat. Hingga Kamis, 20 Juni 2024, rupiah masih berkutat di sekitar level 16.500 per dolar Amerika Serikat.
Jika kenaikan BI Rate dua bulan lalu dan intervensi pasar setelahnya gagal menguatkan rupiah, apa lagi yang bisa diharapkan? Salah satu yang masih mungkin terwujud adalah tingkat inflasi di Amerika Serikat makin landai dan The Federal Reserve memangkas suku bunga September nanti. Setidaknya posisi rupiah tak akan melorot lebih dalam.
Sebaliknya, rupiah bisa kian terpuruk jika ternyata The Fed tak jadi menurunkan bunga. Benar-benar tak akan ada obat bagi rupiah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tatkala Bank Sentral Melawan Pasar"