Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah belum bersedia membuka isi rencana investasi JETP.
Masyarakat akan diberi kesempatan untuk mengulas dokumen rencana investasi.
Investasi JETP dapat menambah beban utang baru bagi Indonesia.
JAKARTA — Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) telah selesai menyusun rencana investasi di sektor transisi energi atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Sayangnya, pemerintah belum bersedia membuka isi rencana investasi yang disokong pendanaan dari sejumlah negara maju dan lembaga pembiayaan tersebut.
Setelah menerima tawaran pendanaan transisi energi lewat skema JETP dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022, pemerintah membentuk Sekretariat JETP yang bertugas menyusun CIPP. Tim penyusun diberi waktu enam bulan. Dokumen tersebut rencananya dibeberkan ke publik pada 16 Agustus 2023.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, pemerintah masih harus mengkaji naskah CIPP yang disampaikan Sekretariat JETP. "Kami akan membahasnya lintas kementerian dan lembaga lebih dulu," ujar dia kepada Tempo, kemarin. Setelah itu, pemerintah akan meminta masukan publik.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, selain memberi masukan, pemerintah akan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengulas dokumen CIPP secara utuh. "Setelah proses uji publik rampung, dokumen CIPP akan diluncurkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia dan IPG menjelang akhir tahun ini," kata dia.
IPG atau International Partners Group merupakan gabungan sejumlah negara donor untuk program JETP. Anggotanya adalah Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Jepang, Kanada, Denmark, Italia, dan Norwegia. Mereka memberi janji pembiayaan sebesar US$ 10 miliar lewat hibah dan pinjaman lunak. Selain itu, Indonesia mendapat tawaran pinjaman lunak senilai US$ 10 miliar dari Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) lewat program yang sama.
Baca juga: Jebakan Utang Dana Transisi Energi
Para donor menawarkan bantuan pembiayaan agar Indonesia mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Salah satu targetnya adalah menjaga emisi tidak melebihi 290 juta ton CO2 pada 2030. Target tersebut tergolong ambisius mengingat Indonesia sendiri menghitung angka emisi puncak dengan skema business as usual mencapai 357 juta ton CO2.
Target ambisius lainnya adalah mempercepat realisasi netral karbon di sektor ketenagalistrikan selama 10 tahun, dari awalnya pada 2060 menjadi 2050. Komposisi energi terbarukan dalam bauran energi listrik nasional juga didorong mencapai 34 persen pada 2030. Pada tahun ini, Kementerian Energi menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 17,9 persen. Dokumen CIPP dirancang dengan mempertimbangkan target tersebut.
Memperbesar Porsi Hibah
Aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Portofolio Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengkritik pemerintah yang bersikap tidak terbuka dalam penyusunan rencana investasi program JETP sedari awal. Dia menilai keterlibatan masyarakat penting untuk memastikan transisi energi yang akan dicapai lewat program-program seperti pensiun dini PLTU batu bara hingga pembangunan pembangkit dari energi terbarukan tidak merugikan masyarakat.
"Ruang partisipasi publik seyogianya menjadi hak warga negara. Apalagi investasi ini berisiko menjadi utang yang harus dibayarkan di kemudian hari," kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, juga mengingatkan pemerintah bahwa program transisi energi berisiko bagi masyarakat, dari kehilangan penghasilan hingga tempat tinggal, dan perlu diantisipasi. Harapannya, keterbukaan pembahasan rencana investasi bisa menurunkan risiko tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Agar Rencana Investasi JETP Lebih Baik
Selama masa pembahasan CIPP, Bhima berharap pemerintah juga menuntut para donor untuk memperbesar porsi hibah dibanding utang. Pasalnya, pinjaman baru berpotensi menambah beban negara, terlebih jika suku bunganya tinggi. "Jangan pula ada syarat yang terlalu memaksa, misalnya mendikte program transisi energi di dalam negeri," katanya. Dia khawatir, program JETP hanya akal-akalan untuk memaksa negara berkembang menggunakan teknologi dari negara maju yang tidak menyelesaikan masalah transisi energi.
Peneliti dari Yayasan Indonesia Cerah, Mahawira Dillon, menyuarakan hal serupa. Dia berharap pemerintah mengupayakan agar porsi hibah lebih dominan dalam program JETP. Selain itu, pemerintah harus memastikan dana yang diperoleh digunakan untuk program-program transisi energi yang substansial, bukan solusi palsu semata. "Yang ditakutkan adalah pembebanan utang yang berlebihan ke pembayar pajak Indonesia apabila manfaatnya hanya difokuskan ke sebagian orang. Apalagi jika yang digunakan solusi palsu, seperti proyek produk turunan batu bara," tuturnya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo