Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan saat ini ada Sovereign Wealth Fund (SWF) sekitar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 43,5 triliun yang sudah masuk ke Lembaga Pengelola Investasi. SWF itu berasal dari tiga negara yakni Belanda, Kanada, dan Uni Emirat Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LPI sebelumnya didirikan untuk meningkatkan, memprioritaskan, dan mengoptimalkan investasi jangka panjang yang akan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Setelah mengalokasikan US$ 1 miliar di tahun 2020 sebagai modal awal lembaga itu, pemerintah akan menambah modal sebesar US$ 4 miliar di tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di samping mengoptimalkan peran LPI untuk mendukung pembangunan, Airlangga menegaskan pentingnya reformasi struktural untuk mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Reformasi struktural dilanjutkan, salah satunya melalui prosedur kemudahan perizinan bisnis.
“Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki daya saing dan iklim investasi, melalui reformasi struktural dengan menggabungkan 76 aturan menjadi satu melalui sistem Omnibus Law dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” tutur Airlangga.
UU Cipta Kerja, kata dia, merupakan sebuah aturan yang menyederhanakan prosedur perizinan bisnis, menyediakan perlindungan lingkungan yang lebih baik, serta membuat perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan yang sudah ada. Sebagai bagian dari proses transformasi ekonomi secara keseluruhan, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya bertujuan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan investasi.
Untuk melengkapi implementasi UU Cipta Kerja tersebut, pendaftaran digital dan prosedur perizinan juga dibuat lebih mudah dengan diluncurkannya versi OSS terbaru yang dibangun berdasarkan Risk Based Approach (RBA), dan dari Daftar Negatif Investasi (DNI) menjadi Daftar Positif Investasi (DPI). OSS yang berbasis risiko adalah bentuk reformasi yang sangat signifikan dalam sektor perizinan bisnis atau usaha, di mana sistem daring dipadukan dengan pendekatan berbasis risiko usaha.
Untuk UMKM ataupun bisnis lain yang berisiko rendah di sektor swasta hanya membutuhan Nomor Induk Berusaha (NIB) dari OSS untuk mulai bisnisnya tersebut. Untuk risiko menengah, Sertifikat Standar diperlukan untuk melengkapi NIB. Semua perizinan diberikan dalam sebuah sistem OSS terintegrasi, sehingga prosesnya sangat transparan, lebih mudah, cepat, dan kredibel.
Airlangga mengatakan pemerintah berkomitmen mengimplementasikan dan mengawasi pelaksanaan OSS versi baru ke depannya. Pasalnya, hal ini merupakan salah satu instrumen penting untuk menarik investasi lebih besar lagi ke dalam negeri.
“Kami berharap dengan diluncurkannya OSS berbasis risiko akan meningkatkan iklim investasi dan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Jika investasi meningkat pada ujungnya diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas juga,” kata Airlangga.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Daftar Prioritas Investasi (DPI) dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Aturan ini berisi tentang DPI yang fokus memberikan daftar lapangan usaha atau bisnis prioritas, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN), teknologi terkini, industri perintis, industri berorientasi ekspor, serta penelitian dan pengembangan.
Penanam modal yang berinvestasi dalam sektor prioritas akan mendapatkan insentif fiskal dan non fiskal. Dari sisi fiskal, insentif dapat berupa investment allowance, super deduksi, atau pembebasan bea masuk.
Adapun dari sisi non fiskal berupa kemudahan perizinan bisnis atau usaha, kemudahan perizinan investasi untuk implementasi kegiatan usaha, disediakan infrastruktur pendukung usaha, serta diberikan jaminan untuk ketersediaan bahan bakar atau energi dan bahan baku mentah.