Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan institusinya memilih tak banyak bicara soal rencana pengenaan cukai tiket konser. Dia menyebut kementeriannya lebih fokus untuk mendatangkan wisatawan mancanegara ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kita tidak tanggapi dulu. Kita fokus pada isu yang sudah ada di depan mata,” kata Sandiaga saat ditemui di kantornya pada Senin, 29 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meski demikian, Sandiaga mengatakan isu ini tak dicurigai dan bisa mendatangkan polemik. Dia akan menunggu kalau rencana ini diterapkan berapa besar cukai yang akan dikenai untuk tiket konser.
“Saya rasa kita jangan terlalu ber-suudzon. Kita lihat berapa sih yang ditarget dari Bea Cukai untuk tiket ini," kata dia.
Selain itu, Sandi mengatakan Indonesia memang butuh potensi pendapatan yang luas. Namun, ia mempertanyakan kalau tiket konser ini yang justru akan dikenai cukai.
Dia mengusulkan rencana ini sebaiknya dikaji lenih mendalam. "Memang benar Indonesia itu perlu uang fiskal yang lebih luas, tapi apakah ini yang tepat? Apakah nggak produk-produk lain? Itu yang mestinya kita masuk ke dalam sebuah diskusi yang lebih teknologis, lebih mendalam, sehingga jangan sampai justru merugikan,” kata dia.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heriyanto sebelumnya mengomentari rencana ekstensifikasi atau penambahan objek cukai baru. Sebelumnya ramai diberitakan rumah, tiket konser, makanan cepat saji, tisu, smartphone, MSG hingga detergen akan kena cukai.
Nirwala mengatakan kebijakan ekstensifikasi tersebut masih berupa usulan dari berbagai pihak. “Belum masuk kajian, dan juga dalam rangka untuk mendapatkan masukan dari kalangan akademisi," ujarnya dalam pernyataan resmi, Rabu 24 Juli 2024.
Pada dasarnya, ia menerangkan, kriteria barang yang dikenakan cukai ialah barang yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan. Peredaran barang tersebut perlu diawasi dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain itu pengenaan cukai juga dilakukan pada barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Ia menegaskan, hingga saat ini barang yang dikenakan cukai baru ada tiga jenis, yaitu etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Terkait wacana optimalisasi penerimaan negara melalui ekstensifikasi objek cukai, menurut dia, tidak bisa dengan cepat ditetapkan.
Musababnya, perlu pembahasan panjang dan melalui banyak tahap, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat. "Prosesnya dimulai dari penyampaian rencana ekstensifikasi cukai ke DPR, penentuan target penerimaan dalam RAPBN bersama DPR, dan penyusunan peraturan pemerintah sebagai payung hukum pengaturan ekstensifikasi tersebut," kata dia.
Pemerintah juga sangat hati-hati dalam menetapkan suatu barang sebagai barang kena cukai. Sebagai contoh, pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik, yang penerimaannya sudah dicantumkan dalam APBN, belum diimplementasikan.
“Karena, pemerintah sangat prudent dan betul-betul mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi ekonomi masyarakat, nasional, industri, aspek kesehatan, lingkungan, dan lainnya,” kata Nirwala.
ADIL AL HASAN | ILONA ESTERINA