Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ujung jari kalona

Profil pengusaha farmasi, wim kalona, 68. memiliki 19 perusahaan farmasi. pekan lalu, merayakan hut ke-25 pt dupa, perusahaan farmasi pertama yang didirikan. (eb)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH majalah asing pernah menyebutnya sebagai "Raja Farmasi Indonesia". Dia tak pernah membantah julukan itu. Pengusaha yang sering.berpakalan rapi dengan rambut disisir lurus ke belakang itu memang bukan orang y\ang suka merendah-rendahkan diri. "Keahlian saya memang hanya di bidang farmasi dan di bidang ini pula saya sering disebut jagoan," kata Wim Kalona sang Raja, yang kini memiliki 19 perusahaan farmasi. Sudah menanam investasi Rp 100 milyar lebih di bidang farmasi saja, Wim yang Mei nanti berusia 68 tahun, Sabtu minggu lalu merayakan ulang tahun ke-25 PT DUPA, perusahaan farmasi pertama yang didirikannya. Hadir dalam acara yang berlangsung meriah itu Menteri Kesehatan dan hampir semua pimpinan perusahaan farmasi di Indonesia. Buat Wim alias Liem Tjae Ho, acara itu tampaknya cukup penting. Sebab, PT DUPA, nama singkatan dari "Dari Usaha Para Apoteker", mencatat sejarah tersendiri dalam perjalanan bisnisnya. Ia mendirikan perusahaan itu, Februari 1959, bersama lima temannya, antara lain Yan Mokoginta dan Eddie Lembong kini pemilik PT Pharos Indonesia. Bermuia dari modal Rp 40.000, DUPA menjadi satu dari lima perusahaan farmasi terbesar di Indonesia pada 1967. Pada saat gemilang itu, perusahaan tadi terpaksa lepas dari tangannya (1967 sampai 1979) karena, katanya, teman-temannya membelakanginya. Sejak itu, pelan tapi pasti, karena salah urus, DUPA menurun kegiatannya. Bahkan hampir bangkrut ketika akhirnya membuat utang sekitar Rp 1 milyar. Masa suram berakhir ketika Wim kembali memimpin perusahaan itu, 1980. Pengusaha bertangan dingin ini bertindak cepat: memperbaiki pemasaran dan menyuntikkan dana Rp 500 juta. Kini, DUPA tercatat memiliki omset penjualan sekitar Rp 1,8 milyar, dan menduduki peringkat ke57 di antara lebih dari 200 perusahaan farmasi di Indonesia. Wim punya ambisi mengembalikan DUPA pada posisi sebelum "salah urus" dulu. Untuk itu, Wim merencanakan rasionalisasi produk. "Jenis obat yang lambat laku akan dihentikan produksinya," kata kakek lima cucu itu. Suaranya menggelegar. Berbicara gamblang dan terbuka, Wim belum tampak letih membesarkan belasan perusahaannya. "Semua bidang ingin saya kerjakm, saya punya ide segunung banyaknya," kata pengusaha bertubuh gemuk itu. Dia mengaku sejak kecil memang sudah merasa akan menjadi pengusaha besar. Sebab, sejak kecil dia sudah hidup mewah. "Saya lahir sebagai anak superkapitalis," ucapnya dengan nada datar. "Saya sudah mereguk kemewahan sejak di bangku sekolah," tanpa menyebutkan posisi ayahnya Liem Kim Thae, di Gorontalo puluhan tahun yang silam. Ia hanya menyebut bahwa ayahnya seorang pegawai perkebunan kelapa. Wim, anak bungsu dari enam putra-putri keluarea Liem Kim Thae, mengecap pendidikan di Leiden, Negeri Belanda. Ia menyelesaikan studi di fakultas farmasi pada 1950. Kemudian, setahun setelah tamat sekolah, ia menikah dengan Jacoba Maria Elisabeth Distelvledt? gadis Belanda yang kini menjadi ibu dari dua anaknya. Dengan bantuan modal dari ayahnya, Wim mendirikan Apotek Jatinegara, yang merupakan usaha pertamanya. Setelah itu, dia mendirikan PT Timur Jauh, yang bergerak di bidang impor-ekspor. Di perusahaan ini, Wim mulai berkenalan dengan bisnis di luar obat, misalnya tembakau, besi, dan tekstil. Tapi, di sini pula dia merasakan pahitnya dunia usaha. Timur Jauh bangkrut ketika Wim terpeleset dalam berspekulasi tembakau. Dia sudah menumpuk stok banyak ketika harga tembakau dunia turun sampai 40%. Apa boleh buat, Timur Jauh, terpaksa dijualnya. Kembali ia berkonsentrasi di bidang farmasi. Bersama teman-temannya, ia lalu mendirikan DUPA. Di situ Wim merasakan sukses dan sekaligus rasa kecewa yang dalam: ditinggalkan teman-temannya. Ini berbuntut panjang. Samai dla harus berseteru lebat dengan salah seorang rekannya itu. Pengusaha yang gemar memancing, golt, dan pernah dijuluki Raja Poker (tapi dia mengaku tak suka berjudi) itu sekarang membesarkan sendiri perusahaannya, sambil menyiapkan penggantinya. Dua anaknya, An dan Sony Kalona, kini sudah mulai memimpin anak perusahaan: PT Margreta Sweeta Varia dan PT Darya Varia. Wim bergerak terus. "Seolah-olah dunia usaha itu mau saya raba dengan ujung jari," katanya sambil tertawa. Harihari ini dia sedang sibuk menyiapkan rencana mendirikan induk perusahaan untuk menaungi 19 perusahaannya. Di samping itu, untuk menyalurkan hobinya yang lain, masak, ia sekarang tengah membesarkan restoran Thai di Gedung Mandala Wana Bakti di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus