Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ICDX membuka perdagangan perdana di bursa sawit pada 20 Oktober 2023.
Pemerintah berharap bursa sawit bisa menciptakan harga acuan yang adil dan kredibel.
Petani sawit khawatir bursa hanya dikuasai perusahaan besar.
SEJAK pemerintah meresmikan bursa minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada Jumat, 13 Oktober lalu, Yugieandy Tirta Saputra sibuk bukan kepalang. Direktur Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX) ini saban hari menghubungi 18 perusahaan yang menjadi anggota bursa sawit, memastikan kesiapan mereka bertransaksi. “Kami telepon satu-satu,” katanya kepada Tempo pada Jumat, 20 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yugie harus memastikan para anggota bursa sawit siap menggelar perdagangan perdana pasar fisik CPO paling lambat pada 23 Oktober 2023, sesuai dengan perintah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan. Dia mengklaim sistem ICDX sudah siap menangani jual-beli, tapi belum ada pedagang dan pembeli yang siap bertransaksi. "Alasannya bermacam-macam,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada ICDX, ada calon anggota bursa sawit yang mengaku belum melengkapi dokumen atau belum menyetor jaminan transaksi. ICDX mempersyaratkan dana jaminan Rp 32,5 juta sebagai pengganti kerugian ketika terjadi wanprestasi pascatransaksi di bursa sawit. Setiap transaksi pun harus selesai dalam waktu 15 hari kalender setelah perdagangan.
Usaha Yugie akhirnya berbuah manis. Beberapa hari setelah bursa sawit berdiri, ada dua perusahaan yang siap bertransaksi. Kabar itu mendorong ICDX memajukan jadwal transaksi perdana pada Jumat, 20 Oktober lalu. Saat itu transaksi pertama berlangsung pada 10.40 WIB dan sempat mencapai 4 bid dan 4 ask atau empat penawaran dan empat permintaan.
Dalam sembilan menit, transaksi perdana di bursa sawit menghasilkan kesepakatan jual-beli CPO dari Dumai, Riau, dengan harga Rp 11.305 per kilogram. Jumlah transaksinya mencapai empat lot atau sekitar 100 metrik ton. Dengan demikian, transaksi perdana bernilai Rp 1,13 miliar. Transaksi di bursa CPO berlangsung dalam tiga sesi setiap hari. Dalam setiap sesi bisa terjadi enam transaksi, masing-masing berdurasi sembilan menit.
Simulasi "Live Transaksi Perdagangan CPO Melalui Bursa Berjangka" di Kantor ICDX, Jakarta, 20 Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan
ICDX awalnya memasang harga Rp 12.485 per kilogram. Harga itu, menurut Yugie, diambil antara lain dari acuan bursa komoditas Rotterdam di Belanda dan bursa Malaysia. Meski kemudian harganya turun ke level 11.305 per kilogram, Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, bursa sawit nasional sudah menunjukkan keadilan dalam transaksi komoditas strategis itu. “Kalau kejadiannya seperti itu, itulah harga yang fair," ucapnya.
•••
RENCANA pendirian pasar fisik minyak sawit atau bursa CPO mengemuka sejak satu dekade lalu. Pemerintah menghendaki keberadaan pasar fisik sebagai cara menetapkan harga acuan CPO. Selama ini harga acuan CPO ditentukan oleh bursa komoditas di luar negeri dan Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia tak memiliki kendali. Padahal harga acuan CPO penting antara lain untuk menentukan nilai bea ekspor hingga memproyeksikan perolehan devisa.
Pada 15 September lalu, Bappebti menerbitkan Peraturan Nomor 7 Tahun 2023 tentang ketentuan perdagangan CPO di bursa. Aturan ini menetapkan pendirian prasarana penyelenggara perdagangan, lembaga kliring, surveyor, dan tempat penyimpanan komoditas. Selain menetapkan tata cara perdagangan, Bappebti mengatur standar kualitas CPO yang akan diperdagangkan di bursa. Pemerintah menargetkan 30 persen eksportir CPO bertransaksi di bursa.
Bappebti juga menyeleksi dua kandidat penyelenggara bursa, yaitu ICDX dan Jakarta Futures Exchange (JFX). Pada Rabu, 11 Oktober lalu, Bappebti menetapkan ICDX sebagai penyelenggara bursa sawit yang kemudian menggelar transaksi perdana pada 20 Oktober 2023. Pada hari pertama, transaksi hanya terjadi pada sesi pertama. Tidak ada lagi transaksi pada dua sesi berikutnya, yaitu pada pukul 16.00-17.00 WIB dan 20.00-21.00 WIB.
Direktur ICDX Yugieandy Tirta Saputra mengatakan para penjual dan pembeli masih meraba-raba. "Target kami nanti pada kuartal I 2024 sudah ada transaksi yang signifikan," katanya. Sembari menunggu tambahan anggota bursa, setiap hari ICDX menggelar sosialisasi di kantor mereka di Midpoint Place, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sosialisasi di kantor, menurut Direktur Utama ICDX Nursalam, berlangsung sepekan sejak bursa berdiri. Berikutnya, ICDX akan melakukan sosialisasi ke daerah produsen minyak sawit. “Hingga ke semua sentra produksi,” tuturnya. Nursalam menargetkan hingga akhir tahun ini bursa CPO bisa memiliki 50 anggota. Dia mengklaim saat ini ada 14 perusahaan baru yang akan menjadi anggota.
info
Keberadaan bursa CPO sempat memicu pertentangan di antara pelaku usaha. Sebelum bursa berdiri, pengusaha sawit menyampaikan kekhawatiran mereka kepada pemerintah tentang kewajiban menjadi anggota bursa. Pengusaha beralasan kewajiban itu bisa berdampak tidak kompetitifnya harga CPO.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono menyebutkan konsep wajib atau mandatory bursa bisa membuat pasar menjadi bias. Di satu sisi, pemerintah mewajibkan produsen berdagang di bursa, tapi konsumen tidak datang sehingga harga bisa turun. Perdagangan di bursa pun dikhawatirkan memicu biaya tambahan karena harus ada imbalan bagi penyelenggara perdagangan. “Di dunia ini tidak ada bursa sawit mandatory, semua voluntary,” ucap Eddy pada Selasa, 17 Oktober lalu.
Menurut Eddy, bursa sukarela atau voluntary lebih tepat lantaran sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan cara ini pula bursa bisa menciptakan harga acuan yang kredibel, seperti di bursa komoditas Rotterdam dan Malaysia. Pengusaha, Eddy menambahkan, mendorong bursa menunjukkan harga yang transparan. "Walaupun harga juga akan bergantung pada harga minyak nabati dunia," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan bursa CPO bakal menimbulkan masalah baru dalam tata kelola sawit Indonesia. Sebab, dia menjelaskan, di Indonesia ada 2.500 perusahaan sawit dan hanya delapan di antaranya yang berstatus produsen dan eksportir besar. “Dari sekitar 2.000 perusahaan itu, sebanyak 70 persen terafiliasi ke delapan perusahaan," ucapnya pada Jumat, 20 Oktober lalu. Jika perusahaan-perusahaan ini yang kemudian mengatur bursa sawit, susah berharap ada harga yang fair dan kredibel. "Malah harga akan lebih mudah dipermainkan."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setelah Sawit Masuk Bursa"