Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Volatilitas Rupiah Makin Sempit Selama 17 Tahun Terakhir

Hasil riset yang dilakukan CIMB Niaga menunjukkan rentang volatilitas rupiah makin sempit selama 17 tahun terakhir.

23 Februari 2018 | 13.26 WIB

Ilustrasi mata uang rupiah . REUTERS/Beawiharta
Perbesar
Ilustrasi mata uang rupiah . REUTERS/Beawiharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta – Hasil riset yang dilakukan CIMB Niaga menunjukkan rentang volatilitas mata uang rupiah makin sempit selama 17 tahun terakhir. Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, dari perspektif historis selama 17 tahun terakhir, rentang pelemahan rupiah saat ini, -0,24 persen, bisa dianggap relatif kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Gelombang fluktuasi rupiah pernah jauh lebih lebar dari saat ini,” katanya dalam catatan ekonomi yang dikeluarkan CIMB Niaga, yang diperoleh Tempo, Jumat, 23 Februari 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Adrian, sebelum 2016, rupiah terkenal sebagai mata uang yang sangat volatil. Apalagi saat rupiah harus berhadapan dengan kondisi ekstrem, baik di tataran global maupun domestik. Selain itu, volatilitas rupiah merupakan akibat regulasi mata uang tersebut yang jauh lebih longgar dibanding saat ini.

Namun Adrian mengatakan, bila dalam kurun waktu 2000-2010 kondisi ekstrem global bisa menyebabkan turbulensi rupiah hingga mencapai pelemahan 30-45 persen, maka sejak 2013 pelemahan rupiah hanya mencapai 15-26 persen. “Itu pun sudah terjadi kombinasi shocks yang berasal dari Amerika Serikat, Eropa, Cina, dan Jepang. Artinya, rentang turbulensi rupiah menjadi relatif lebih sempit,” ujarnya.

Bahkan, menurut Adrian, semenjak 2016, rupiah telah menjadi mata uang yang jauh lebih stabil. Hal ini, kata dia, merupakan dampak kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia terkait dengan transaksi rupiah, terutama di pasar valas.

Ada lima kebijakan yang disebutkan Adrian dalam hal ini. Pertama adalah kebijakan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Indonesia untuk transaksi pembayaran, settlement kewajiban moneter, dan transaksi finansial lain. Aturan yang berlaku sejak pertengahan 2016 ini telah membuat permintaan terhadap dolar oleh pihak dalam negeri menjadi merosot secara tajam.

Kedua, penggunaan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dalam penentuan kurs telah menyebabkan pergerakan rupiah makin tidak dipengaruhi liarnya pergerakan NDF akibat spekulasi. Ketiga, ketentuan untuk memiliki underlying dalam setiap transaksi valas terkait dengan rupiah untuk setiap transaksi di atas US$ 25 ribu.

Keempat, kewajiban non-bank borrowers untuk melakukan lindung nilai (hedging) sebanyak paling tidak 20 persen atas selisih negatif antara aktiva valas dan kewajiban valasnya, yang jatuh tempo dalam tiga bulan dan antara 3-6 bulan. Kelima, kewajiban untuk non-bank borrowers menjaga rasio likuiditas mereka pada 50 persen, yang mana aktiva lancar harus mencapai 50 persen dan pasiva lancar yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan.

“Akibat dari lima ketentuan ini, sejak 2016, rentang fluktuasi rupiah turun tajam. Bahkan di tahun 2017 volatilitas rupiah mencapai titik terendah selama 17 tahun terakhir,” ujar Adrian.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus