Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

5 Ciri Compulsive Shopping atau Belanja Kompulsif

Compulsive Shopping perilaku belanja yang hampir sama seperti kecanduan pesta makan dan perjudian

4 Agustus 2022 | 20.04 WIB

Ilustrasi belanja / masyarakat kelas menengah.  ANTARA/Puspa Perwitasari
Perbesar
Ilustrasi belanja / masyarakat kelas menengah. ANTARA/Puspa Perwitasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Compulsive shopping atau belanja kompulsif jenis gangguan kontrol  perilaku untuk berbelanja terus-menerus. Mengutip American Psychiatric Association menjelaskan, seseorang yang mengalami belanja kompulsif tak menganggap perilakunya sebagai masalah. Para peneliti pun masih memperdebatkan belanja kompulsif tergolong gangguan adiktif, obsesif kompulsif, kesulitan mengendalikan suasana hati, atau kontrol impuls.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Belanja kompulsif juga tidak tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Sebagian besar orang yang berbelanja secara memaksakan diri melakukan itu untuk menutupi emosi yang sulit, seperti stres, kecemasan, dan harga diri yang rendah. Namun berbelanja hanya memberikan kelegaan sementara. Ketakmampuan untuk mengendalikan belanja rentan menimbulkan rasa bersalah dan malu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengutip publikasi ilmiah Psychiatry Res Neuroimaging, belanja kompulsif hampir sama dengan perilaku kecanduan pesta makan dan perjudian. Perilaku ini sering terjadi bersamaan dengan masalah depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Biasanya belanja kompulsif banyak dialami oleh kelompok usia 30 tahun ketika seseorang sudah mencapai kemandirian finansial.

Ciri compulsive shopping 

1. Membeli karena dorongan keinginan semata

Mengutip Psychology Today, pembeli yang berbelanja secara kompulsif kerap kali membeli suatu barang secara cepat menuruti dorongan keinginan. Biasanya, sering mencoba menyembunyikan kebiasaan belanja kompulsif kepada orang lain. Pembeli yang kompulsif berkembang menjadi penimbun pada kemudian hari setelah barang belanjaan terus terkumpul sepanjang waktu.

2. Kalap

Pembeli kompulsif mengalami gelombang kegembiraan ketika membeli suatu barang. Pengalaman gembira berlebihan bukan karena memiliki suatu barang, melainkan dari tindakan membeli. Gelombang kegembiraan ini sering dialami ketika mereka melihat barang yang diinginkan tanpa mempertimbangkan untuk membelinya. Kegembiraan ini bersifat candu.

3. Belanja untuk meredam emosi

Belanja kompulsif upaya untuk mengisi kekosongan emosional, seperti kesepian, kurang kontrol, atau merasa rendah harga diri. Suasana hati yang negatif, seperti pertengkaran atau frustrasi mendorong keinginan untuk berbelanja. Merujuk Buying to Blunt Negative Feelings: Materialistic Escape From the Self, penurunan emosi negatif bersifat sementara. Nanti perasaan ini digantikan peningkatan kecemasan atau rasa bersalah.

4. Rasa bersalah dan penyesalan

Belanja kompulsif diikuti perasaan menyesal. Seseorang merasa bersalah dan tidak bertanggung jawab atas pembelian yang dianggap memanjakan diri. 

5. Sebal ketika membayar menggunakan uang tunai

Belanja kompulsif ditandai munculnya rasa sebal ketika membayar langsung menggunakan uang tunai. Itu jika dibandingkan membayar dengan kartu kredit atau tanpa uang tunai. Kekuatan psikologis utama dari kartu kredit memisahkan kesenangan membeli dari kejengkelan membayar. Sebab, kartu kredit merayu untuk berpikir tentang aspek positif dari pembelian. 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus