Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wihaji, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sekaligus Kepala BKKBN RI, mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen anak di Indonesia mengalami kehilangan figur ayah dalam keluarganya. Bahkan, sekitar 20 persen di antaranya tumbuh tanpa keterlibatan ayah secara aktif dalam kehidupan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya kalau dihitung satu jam saja nggak ada, ngobrol sama ayah. Hari ini anak-anak kehilangan (figur) ayah karena 80 persen cenderung sama ibunya. Ayah hanya hadir ketika bayar SPP, bayar uang saku, uang kos, di luar itu tidak ada," kata Wihaji di acara detikSore, di Jakarta Pusat, Senin 5 Mei 2025.
Kondisi ini dinilai tidak ideal untuk perkembangan anak, karena kurangnya kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua dapat menimbulkan dampak negatif dalam proses tumbuh kembang mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh dari orang tua biasanya lebih banyak menghabiskan waktu bermain gadget atau menjelajahi media sosial. Padahal, konten yang tersedia di media sosial tidak semuanya bersifat positif atau sesuai untuk perkembangan usia mereka.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahmat Hidayat, menegaskan bahwa peran ayah sangat penting dalam kehidupan anak sehari-hari. Namun, kehadiran tersebut tidak selalu harus bersifat fisik. Hubungan emosional dan komunikasi yang intensif melalui perangkat digital juga bisa menjadi bentuk kehadiran yang bermakna.
Dijutip dari laman UGM, hal ini karena banyak ayah yang tidak dapat hadir secara langsung dalam kehidupan anaknya lantaran harus mencari nafkah di luar kota, luar pulau, bahkan menjadi pekerja migran di luar negeri demi memenuhi kebutuhan keluarga.
“Sebenarnya dalam lingkungan kehidupan sekarang di mana teknologi sudah sangat membantu ini, banyak memudahkan orang tua untuk tetap hadir di dalam kehidupan anak-anaknya,” katanya, Kamis, 15 Mei di Kampus UGM.
Rahmat menyampaikan bahwa para ayah dari generasi muda masa kini sebenarnya memiliki peluang besar untuk membangun pola asuh yang berkualitas serta mempererat ikatan emosional dengan anak-anak mereka. Sehingga figur ayah tetap melekat pada diri anak-anak.
Karena itu, pemenuhan kebutuhan anak tidak cukup hanya dalam bentuk materi atau fisik semata, melainkan juga harus mencakup interaksi yang sehat serta pemenuhan aspek psikologis, mental, dan emosional secara seimbang. “Interaksi dan kedekatan emosional yang erat dengan anak akan meningkatkan kesehatan mental mereka,” ujarnya.
Sebagai contoh, kehadiran orang tua dalam momen penting seperti acara kelulusan anak dapat menjadi kenangan yang sangat berarti, begitu juga saat-saat sederhana seperti menemani anak menjelang ujian, yang bisa memperkuat hubungan emosional mereka.
“Kesempatan anak merayakan kelulusan itu kan hanya sekali seumur hidup. Kesempatan anak-anak merayakan, wah besok pagi ada ulangan yang bikin cemas, dan ini kan hanya sekali dalam seumur hidup, dan ulangan berikutnya sudah hal yang lain lagi. Tetapi ketika kita sharing dengan anak-anak kita, ketika berada dengan anak-anak kita menghadapi situasi seperti itu, ini menjadi satu momen kebersamaan dalam seluruh perjalanan hidup kita yang sangat penting,” ujarnya.
Lebih lanjut, Rahmat menjelaskan bahwa alasan dari minimnya peran ayah dalam kehidupan anak bukan hanya karena faktor geografis atau pekerjaan yang mengharuskan ayah jauh dari rumah, tetapi juga disebabkan oleh tantangan ekonomi keluarga.
Beban kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang, serta tidak efisiennya sistem transportasi di kota besar menjadi faktor yang turut membatasi waktu ayah bersama anak-anak mereka.
“Saya kira ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua untuk mengubah mindset-nya dan juga barangkali bagi ibu untuk juga mengubah mindset bahwa orang tua atau ayah tetap perlu hadir dalam kehidupan anak-anak,” katanya.