Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bila kanker diobati ke dukun

Chairunnissah, 2, di tebingtinggi menderita kanker mata sebelah kiri, terserang retino blastoma. dioperasi & sukses. karena lalai tak patuh saran dokter, malah ke dukun, mata kanannya terserang lagi.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB keluarga Zubair, 35 tahun, tak berbeda jauh dari keluarga kelas bawah di negeri ini: miskin dan serba kekurangan. Tanpa penghasilan tetap, Zubair bersama istrinya, Butet, 27 tahun, dan keempat anaknya, tinggal menumpang di rumah Nenek Dewi Zahara Nasution, 6$ tahun. Sang nenek adalah ibu kandung Zubair sendiri, yang kebetulan punya rumah tak seberapa besar di Kampung Rao, Kecamatan Padang Hulu, Tebingtinggi. Malang tak dapat ditolak, hidup prihatin anak beranak itu masih digayuti duka cerita lain. Adalah si bungsu Chairunnissah yang tertimpa bencana. Karena sejak kecil berbadan gembur dan lucu, anak ini lebih dikenal dengan panggilan kesayangan Membot. Memang, mata kirinya juling sedari usia tiga bulan, tapi cacat ini tidak menimbulkan kecurigaan apa-apa. Dari Membot pun tidak ada keluhan. Ia tidak rewel. "Mata juling itu biasa, bukan?" kata Zubair. Tetapi cacat mata Membot kemudian ternyata menjadi tidak biasa. Pada saat-saat bermain, berlarian, Membot tiba-tiba menabrak tembok -- hal yang sering terjadi. Neneknya, Dewi Zahara, mulai curiga hingga terdorong untuk mengamati lebih teliti. Nenek yang hampir tak melepaskan suntil dari sela bibirnya itu memang sayang pada cucu-cucunya, terutama Membot. Ketika sang cucu memasuki usia dua tahun, pupil hitam di mata kirinya perlahan-lahan menjadi putih. Dalam kesempatan bercanda dengan Membot, Nek Suntil, demikian panggilan akrabnya, sering mengetes daya pandang anak itu. Misalnya dengan memperlihatkan buah-buahan atau mainan melalui sisi kiri mata sang cucu. Akhirnya, Nek Suntil berkesimpulan, "Jelas sudah. Mata kiri Membot tak bisa melihat lagi." Keadaannya semakin parah karena mata kiri itu membengkak dan seperti mendelik saja. Akhir tahun lalu keluarga itu mendatangi puskesmas Tebingtinggi. Dokter Johan Zain, yang bukan spesialis mata, menuliskan surat pengantar agar Membot dibawa ke dr. Bachtiar. Setelah melakukan diagnosa, dr. Bachtiar menyimpulkan, "Gawat. Mata itu sudah dicengkeram kanker ganas retino blastoma. Sudah memasuki stadium dua." Tak ada jalan lain, kecuali membuang kanker, alias mengoperasinya. Satu hal, supaya akarnya tidak segera menjalar, mematuk mata anak yang malang itu. Dan, "Saya juga ingin menyelamatkan jiwa Membot," kata Bachtiar. Menurut alumnus Fakultas Kedokteran USU ini, kanker tersebut potensial menyerang bagian tubuh yang lain, terutama otak. Kalau itu terjadi, akibatnya fatal: si pasien bisa meninggal. Bachtiar bersedia melakukan operasi tanpa dipungut biaya. Persoalannya tidak sampai di situ. Zubair bingung, bagaimana membayar ongkos rumah sakit. Tapi Nek Suntil tidak kehabisan akal. Sebagai kepala lorong (wakil lurah) di lingkungannya, ia mendatangi camat dan Dinas Sosial setempat. Bantuan datang juga dari Johan Zain, dokter puskesmas itu, yang mengontak sejawatnya, Dokter Haji Hasan Mustafa, dalam kedudukannya sebagai pimpinan RS Sri Pamela di Tebingtinggi Deli. Kedua dokter ini kebetulan anggota Lions Club setempat. Maka, tercapai kesepakatan, biaya rumah sakit ditanggung Lions Club. Operasi dilakukan Januari lalu dan sukses. Demi penyembuhannya, Membot harus rutin dibawa ke RS Elizabeth Medan -- jaraknya 82 km. dari Tebingtinggi -- untuk mendapatkan perawatan radioterapi melalui sinar X. Setelah berjalan tujuh bulan, muncul derita baru. Anak yang semula lincah ini menangis kesakitan tiap hari. Mata kanannya membengkak sebesar telur angsa. Pada waktu siang, mata itu membesar, malamnya mengecil. Masyarakat Tebingtinggi geger. Zubair, yang kurang pengetahuan itu, panik. Entah bagaimana ia menuduh ibunya, dan bahkan dr. Bachtiar, sebagai pembawa mala petaka. Pertolongan mereka dinilai Zubair tak lebih dari siasat komplotan, yang cuma menambah penderitaannya saja. Nek Suntil naik pitam. "Degil," kata Nek Suntil. "Sudah ditolong Pak Dokter, mestinya mengucap syukur alhamdulillah. Eh, main tuduh." Keputusannya: Zubair harus pergi, cari rumah sewaan sendiri. Ternyata, bencana yang menimpa Membot timbul karena kelalaian Zubair. Ia tak patuh pada petunjuk dokter. Seharusnya penyinaran di RS Elizabeth dilakukan tiap hari, berturut-turut 20 kali -- kecuali Sabtu dan Minggu. Zubair membawa Membot 11 kali saja, lalu berhenti. Tak jelas apa alasannya, ia justru membawa anak malang itu ke dukun. "Surat pengantar dr. Bachtiar untuk dr. Tan Qu Yu, ahli sinar di Medan, dihilangkan pula oleh menantuku," ujar Nek Suntil berang. Padahal, biaya sudah tak jadi masalah. Maka, ketika ditemui TEMPO, pasangan Zubair-Butet kini hanya termangu. Mohamad Cholid, Laporan Makmun Al Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus