Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Lahirnya makanan khas Bandung batagor alias bakso tahu goreng berawal dari kisah Isan, sang penjual bakso tahu pada 1969. Ia memodifikasi dagangan bakso tahunya yang habis dijual dengan cara digoreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hal itu dilakukannya agar bakso tahu tak mubazir. Isan kemudian membagikan kepada tetangga di sekeliling kontrakan. Ternyata mereka menyukainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setelah itu seperti menagih, tetangga selalu menanyakan sisa bakso tahu
hampir saban sore setibanya ia di rumah. Merasa tak enak karena memberikan olahan dagangannya yang tak laku, Isan memutuskan untuk memilah adonan. Sebagian untuk bakso tahu yang dikukus, lainnya disisihkan untuk digoreng.
Sejak itu, Isan tak perlu lagi berkeliling kampung karena
pikulannya di sisi Jalan Kopo sudah ramai disambangi pembeli. Harga
batagor saat itu Rp 35 atau Rp 100 per 3 buah.
Sebelum berdagang sendiri, perantau asal desa Kalisari, Purwokerto
Jawa Tengah itu bekerja di warung bakso tahu milik seorang keturunan
Cina. Dari situlah resep pembuatan bakso tahu dipelajarinya.
Pada masa awal berdagang pikulan, Isan sempat berurusan dengan tentara. "Pak
Haji masuk berjualan ke komplek tentara Kodam di Jalan Aceh," kata
Nano Ardianto, keponakan Isan yang mengelola pusat warung batagornya
di Jalan Bojongloa 38, Bandung.
Setelah Isan, Kamul saudaranya dari kampung ikut pula berjualan
batagor. Menyusul kemudian Yunus, pedagang mie bakso asal Tasikmalaya
yang beralih ke batagor pada 1971.
Awalnya menurut Yunus, ia mengambil
beberapa batagor dari Isan untuk dijual. Lama-lama ia mengolahnya
sendiri. "Bumbu dan bahan mungkin sama, tapi tiap tangan pasti
hasilnya berbeda," kata Yunus di warungnya Jalan Kopo 68.
Warung batagor Yunus dan Kamul berada di jalan yang sama. Hanya warung
batagor Isan saja yang agak masuk ke dalam dari jalan besar itu.
Ketiga orang yang masih berkawan sampai sekarang itu kini sama-sama
telah bergelar haji. "Haji dari batagor, memang dari mana lagi," ujar
Yunus.
Pertemanan itu juga menjalin ketiganya untuk kompak dalam menetapkan
harga jual batagor. Setiap kali harga-harga naik, kata kakek berusia 60
tahun itu, mereka berkumpul merundingkan kenaikan harga yang pantas.
Sejak dua tahun lalu, harga sepotong batagor ditetapkan Rp 1.500.
Harga ini lebih murah 3-4 kali lipat dibanding batagor 'baru' yang tak
kalah enak untuk disantap.
Kesamaan lainnya adalah bentuk batagor yang mereka buat. Memakai tahu
Cibuntu yang dibelah dua menjadi bentuk segitiga, adonan bakso
diselipkan di tengahnya. Campuran tepung terigu, kanji, bawang putih
dan merah, juga rajangan daun bawang itu tetap menonjolkan rasa daging
ikan tenggiri. Disajikan panas dari wajan, kepulan asap putih tipis
menguarkan wangi ikan.
Di tempat lain atau pedagang keliling, biasanya selalu ada bakwan malang atau bakso ikan besar yang digoreng gurih, tidak hanya tahu berisi bakso. "Aslinya
batagor ya cuma itu," kata Yunus.
Semangkuk sambal kacang yang
disiram sedikit kecap di atasnya siap menanti untuk dicocol ditambah dengan
jeruk nipis yang sudah dibelah dua.
Kini selain batagor, di warung trio perintis batagor itu terhidang menu lain. Umumnya seperti mie bakso dengan campuran batagor. Khusus di warung Yunus, pembeli bisa memesan bakso goreng tanpa tahu. Bentuknya memanjang seperti otak-otak goreng. Sedangkan untuk minumannya tersedia teh dingin atau jus.
Soal tempat, warung mereka terlihat sederhana. Meja-meja panjang
dengan kursi plastik berjejer memenuhi ruang makan. Daya tampungnya
beragam dari 20-80 orang.
Kesederhanaan itu, kata Nano, sengaja
dipertahankan Isan agar pelanggan tidak beralih. Membangun tempat bagus dikhawatirkan akan memunculkan kesan harga batagor di warung yang tutup setiap Jumat itu jadi mahal. "Pangsa kami kan kelas menengah ke bawah," ujarnya.
Dalam sehari, 4 ribu batagor di warungnya dan sebuah cabang di Jalan Cikawao, Bandung, bisa ludes. Sedangkan produksi di warung Yunus
mencapai 5 ribu batagor. Setiap akhir pekan dan hari libur nasional, pembuatan batagor bertambah 2-3 ribu buah.
Saat itu, selain warung dipenuhi pembeli yang datang bersama keluarganya, pemesanan untuk oleh-oleh biasanya berlipat ganda, khususnya dari wisatawan asal Jakarta. Masa puncak itu terjadi menjelang hari raya Idul Fitri. Produksi batagor harus dikalikan angka 2-3 dari hari biasa.
Sejak krisis moneter 1997, kata Yunus, permintaan batagor di tempatnya
dirasakan berangsur turun. Maraknya warung batagor lain juga menjadi
sebab lainnya. Tapi ia mengaku tak mengganggap pengusaha lain sebagai
saingan. "Masing-masing punya pelanggannya sendiri," ujarnya.
Selain ke Jakarta, batagor klasik itu sampai ke Palembang hingga Kalimantan. Batagor mereka pun kerap dihidangkan di acara pertemuan keluarga atau pesta perkawinan.
Untuk tujuan jauh, batagor yang dikemas dalam wadah besek bambu itu digoreng setengah matang agar tak basi hingga 3 hari. Kotak besek yang dipesan khusus dari pengrajin di Garut, kata Yunus, berfungsi untuk mengeluarkan uap panas makanan dan batagor tidak rusak jika ditumpuk. Anda sudah pernah coba kuliner khas itu?