Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dari Haru, Lucu, hingga Cemburu

18 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP mendengar nama pesulap Demian, Deni Indrawan, 30 tahun, merasakan dadanya berdesir. Dia ingat pernah memanggil pesulap itu untuk acara ulang tahun seorang anak. Bukan acara biasa, sulap itu permintaan terakhir seorang anak yang merupakan pasien kanker. ”Si anak tampak senang,” kata Deni.

Anak kecil itu memang bukan saudara. Deni adalah relawan Yayasan Pita Kuning, sebuah yayasan yang bergerak dalam pendampingan anak-anak pengidap kanker tahap terminal. Dan permintaan terakhir selalu mendapat prioritas bagi Deni dan pendamping lain yang bertugas dalam perawatan paliatif.

Deni menjadi relawan pendampingan sejak 2006. Awalnya dia hanya diajak temannya mengunjungi seorang pasien anak pengidap kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Hatinya tersentuh, dan ia memutuskan menjadi relawan untuk pendampingan anak-anak pengidap kanker stadium terminal.

Hingga kini, setidaknya Deni sudah mendampingi sekitar 30 anak berusia di kisaran dua sampai delapan tahun. Umumnya adalah pasien kanker stadium lanjut yang sudah mendekati kematian. ”Rata-rata dua bulan sebelum meninggal,” katanya.

Perawatan dilakukan bersama tim medis juga untuk mengurangi penderitaan pasien, seperti nyeri atau luka yang muncul akibat penyakit utama. Mereka berbagi tugas. Deni kebagian peran sebagai konselor untuk penderita dan keluarganya agar ikhlas dan siap menerima kenyataan. ”Biasanya penderita sudah ikhlas dan siap, justru keluarga yang berat.”

Untuk perawatan itu, kunjungan dilakukan setiap pekan. Bimbingan kepada keluarga disampaikan melalui diskusi bersama, sedangkan terhadap anak-anak biasanya dilakukan dengan bermain atau menonton film bersama.

Mengetahui tahap demi tahap perkembangan penderita sebelum ”saatnya” itu cukup menguras emosi. Sebab, si pendamping makin lama akan makin dekat dengan penderita karena hubungan yang intensif, sekaligus harus menjadi saksi kemunduran fisik si sakit. Ketika anak yang didampingi Deni meninggal, Deni turut merasa lemas. Baru sembuh setelah Deni menghibur diri sendiri, dengan meyakinkan sudah melakukan yang terbaik untuk melepas kepergian penderita.

”Harus kuat, karena kita jadi tumpuan penderita dan keluarganya,” kata dokter Utari Diat Siwi dari Yayasan Kanker Indonesia. Dokter Utari sudah bergiat di perawatan paliatif sejak 1995. Yayasannya juga menyediakan layanan ini. Dari pengalamannya, pihak keluarga seakan bergantung secara emosional pada tim pendamping. ”Saya pernah sampai disuruh ngurus warisan,” katanya.

Sudah mendampingi ratusan penderita kanker stadium lanjut, Utari mencatat banyak sisi lain dari pendampingan. Tidak hanya haru, tapi juga ada yang lucu, atau malah mendapat perlakuan negatif dari keluarga penderita.

Satu saat, ketika Utari merawat pasien paliatif, dia meraba kepala si pasien karena mendapat laporan ada benjolan di kepala pasien. Namun dia malah mendengar teguran dari istri si pasien bahwa Utari dituduh berbuat tak senonoh dengan mengelus-elus kepala suaminya.

Utari pun pernah mendapat hardikan dari anak pasien. ”Apa urusan dokter merawat ayah saya.” Ternyata belum ada kesepakatan semua anggota keluarga untuk memberikan perawatan paliatif terhadap sang ayah. Urusan tidak berlanjut karena sang ayah, yang sebelumnya diam membisu, akhirnya buka suara menengahi.

Merawat pasien paliatif memang tak akan kekurangan cerita. Utari pernah merawat pasien kanker dengan borok berbau busuk di beberapa bagian tubuh. Nah, setelah semua luka dibersihkan, si pasien yang merasa lebih nyaman mengajak Utari dan pendamping paliatif lainnya makan gado-gado bersama. Ups..., Utari dan rekan sesama pendamping berpandangan; bagaimana mungkin menelan makanan setelah merawat luka yang bau. Utari pun berkilah, ”Kami sedang puasa.”

Harun Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus