Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menyelami Cabang Rasa Bir Kriya

Hadir sejak sepuluh tahun lalu, craft beer mulai mendapat tempat di hati warga Jakarta. Keluar dari rasa yang itu-itu saja.

18 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Craft beer populer di Jakarta setidaknya sejak dua tahun lalu.

  • Craft beer merupakan bir yang diracik langsung oleh brewer dengan berbagai varian rasa.

  • Penggemar craft beer di Jakarta kesulitan mendapatkan produk kesukaan mereka dan mengeluhkan harganya yang jauh di atas bir konvesional.

Di sudut Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tiga anak muda asyik menenggak bir dari gelas kaca. Beberapa kaleng bir berjejer di meja di Coffeebeerian, nama bar itu. Tak seperti bir biasa, minuman beralkohol itu merupakan craft beer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gagarin Nathaniel, penikmat bir itu, kesengsem craft beer sejak dua tahun lalu, setelah dikenalkan oleh temannya. "Kalau ke luar negeri, saya juga suka mencoba craft beer," kata perenang yang mempersembahkan medali emas bagi Indonesia dalam SEA Games 2017 itu kepada Tempo di lokasi, Rabu, 16 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gagarin, 27 tahun, lebih menyukai craft beer dibanding bir konvensional karena rasanya yang kaya. "Hop-nya juga lebih terasa," ujarnya.

Berbeda dengan bir konvensional yang merupakan hasil produksi massal di pabrik, craft beer diracik khusus oleh brewer (peramu bir). Dimulai dari skala kecil dengan mengutamakan rasa khas ala peramunya.

Gagarin Nathaniel bersama rekannya menikmati craft beer di Coffeebeerian, Jakarta Selatan, 16 Agustus 2023. TEMPO/Ilona Esterina

Bir konvensional muncul mengikuti selera pasar, sementara craft beer bergantung pada ide dan kreativitas peraciknya. "Sederhananya, ini merupakan karya seni berbentuk bir. Sebab, tiap racikan seniman craft beer rasanya berbeda-beda," ujar Laki Gushary, head brewer merek Kulturale, kepada Tempo, Kamis, 17 Agustus 2023. Tak mengherankan padanan craft beer dalam bahasa Indonesia adalah bir kriya.

Di Indonesia, craft beer pertama kali berkembang di Bali. Setelah itu, barulah menular ke Jakarta. Para penikmat minuman beralkohol di Ibu Kota mengasosiasikan bir dengan merek populer, seperti Bintang, Heineken, dan Anker. Ada juga merek lain, seperti Proost dan Bali Hai.

Laki mengatakan bir konvensional di Asia umumnya memiliki rasa yang ringan, tak pahit, dan cenderung banyak soda. "Berbeda dengan yang dipasarkan di Amerika dan Eropa yang lebih pahit," kata pemilik Coffeebeerian itu. Rasa tersebut cenderung sama meski bir dibuat dengan cara berbeda, dari pilsener, lager, hingga India pale ale (IPA).

Di semesta craft beer, soal rasa murni menjadi hak prerogatif brewer. Laki mengatakan hampir semua craft beer memiliki bir berjenis IPA. "Tapi rasanya biasanya berbeda jauh. Produksi bir IPA merek Kura Kura dan Kulturale akan berbeda jauh," ujarnya.

Kemunculan craft beer di Indonesia memang sudah lebih dari sepuluh tahun. Dimulai dengan Stark, jenama minuman fermentasi asal Bali. Mereka beroperasi sejak 2010 dengan membangun pabrik di Singaraja, Bali bagian utara. Selain di pasar retail, kini Stark merambah Jakarta lewat Stark Taproom di gedung Elysee, SCBD, Jakarta Selatan.

Saban waktu pulang kerja, para penikmat bir mulai ramai mendatangi bar yang menjual aneka merek craft beer ini. Ada Kura Kura dari Bali, Kulturale bikinan Jakarta, dan lainnya. Ada juga bir kriya impor, seperti Lion Brewery dari Singapura, Brewdog asal Skotlandia, dan Duvel dari Belgia.

Ang Joshua, Manajer Marketing Stark Taproom bersama beberapa merek craft beer di SCBD, Jakarta, 17 Agustus 2023. TEMPO/Ilona Esterina

Ang Joshua, Manajer Pemasaran Stark Taproom, mengatakan penggemar craft beer mulai banyak di Jakarta. "Namun segmennya masih terbatas di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat," ujarnya. Dia mengatakan penggemarnya terbagi dua. Pertama, mereka yang memang menyukai keberagaman rasa craft brewery. "Kedua, merasa keren dengan minum craft beer merek tertentu."

Pria berusia 26 tahun ini menuturkan pengunjung Stark Taproom terbagi rata antara warga lokal dan orang asing. Ang mengklaim banyak ekspatriat yang kaget saat merasakan kenikmatan bir kriya lokal.

Craft beer lokal, seperti Kulturale, memproduksi beberapa jenis bir. Laki Gushary mengatakan umumnya bir kriya mengimpor bahan utama, seperti hop, tanaman yang biasa dipakai untuk menciptakan rasa pahit dalam bir, dan malt atau biji dari barley, sejenis gandum atau padi, karena bahan tersebut tidak tumbuh di Indonesia. Namun, untuk menciptakan cita rasa yang berbeda, para peracik craft beer menggunakan bahan tambahan lokal, seperti buah naga dan madu.

Perbedaan rasa menjadi hal yang diperhatikan para brewer. Misalnya Pilsener 1945 dari Stark Beer yang menambahkan sedikit beras pada racikannya. "Sehingga after taste-nya seperti sake," ujar Ang.

Memperluas Kultur Bir Kriya

Genta Tenri Mawangi, penikmat bir asal Depok, mendapati banyak temannya lebih memilih craft beer ketimbang bir konvensional setidaknya sejak dua tahun lalu. Alasannya, rasa yang lebih bervariasi.

Genta, 29 tahun, mengatakan penggemar craft beer masih sangat terbatas karena ketersediaannya belum meluas. "Saya, misalnya, suka craft beer, tapi lebih sering beli yang konvensional karena lebih mudah ditemukan," ujarnya.

Alasan kedua, bir konvensional lebih murah. Contohnya, lager Stark dengan alkohol 5 persen berukuran 330 mililiter dihargai Rp 85 ribu di kafe, sementara lager Heineken dengan volume dan kadar alkohol kurang-lebih sama dibanderol Rp 25-30 ribu di supermarket.

Laki Gushary mengakui segmen bir kriya memang belum begitu luas. Pria yang sudah meracik bir sejak 2012 ini mengatakan kultur craft beer baru mulai tampak dalam dua tahun belakangan. Penyebabnya adalah sosialisasi, misalnya dengan menjadi sponsor pergelaran musik, meski lingkupnya masih tingkat komunitas.

Ada juga kesulitan akibat regulasi. Menurut Laki, sulit untuk mengurus izin usaha minuman beralkohol. Pilihan yang tersisa adalah membeli izin dari pabrik yang tidak lagi beroperasi dan menjual izinnya atau menggandeng partner yang kuat. Ada pula halangan distribusi. "Kami tak bisa distribusi tanpa izin jual dan BPOM," kata dia.

Meski demikian, Laki cukup optimistis memandang masa depan craft beer di Indonesia. Keyakinan itu didasarkan pada pengalaman pribadinya mendirikan Coffeebeerian. Ketika awal dibuka pada 2012, pengunjung bar itu sebatas kaum ekspatriat serta sejumlah wisatawan asal Eropa yang memang doyan craft beer. Kini pengunjung terus berdatangan untuk menyesap berbagai bir kriya lokal. "Pasar craft beer di Jakarta bisa menyamai Singapura yang sudah lebih dulu tenar," ujarnya.

ILONA ESTERINA 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus