Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menerima segala emosi, termasuk yang negatif, perlu dilakukan karena akan membantu orang belajar mengelola perasaan. Begitu kata M. Ari Wibowo dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Saya mau pakai judul seri workshop saya, namanya memikirkan pikiran, memikirkan perasaan, merasakan pikiran, dan merasakan perasaan. Jadi saya pengin teman-teman mengizinkan untuk merasakan perasaannya," kata Ari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurutnya, saat ini banyak cara mengelola stres yang sebenarnya hanya berusaha membuat orang kabur dari perasaannya. Padahal, hal tersebut akan membuat orang menjadi tidak pandai dalam mengelola perasaan. Saat berusaha merasakan perasaannya terhadap kondisi tertentu, wajar jika dia merasa sakit. Rasa sakit ini akan menjadi bagian dari proses agar mampu mengelola perasaannya dengan sebaik mungkin.
"Yang saya temukan, ketika saya meminta klien saya untuk merasakan perasaan, dia kaget. Merasa kesakitan, lalu panik. Padahal, wajar ketika merasakan perasaan akan muncul perasaan lain dan reaksi fisik," katanya. "Jadi kalau tidak biasa mengelola rasa dan senang kabur-kaburan, senang have fun doang, jalan-jalan yang dibilang healing padahal cuma refreshing, maka ketika merasakan perasaan, Anda akan kaget. Tapi saya akan bilang itu sangat normal."
Pola asuh salah
Anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia lainnya, Feka Angge Pramita, menambahkan mengizinkan kehadiran emosi negatif memang hal yang cukup sulit. Salah satu penyebabnya adalah pola pengasuhan yang selalu melarang anak untuk menangis.
"Misalnya anaknya nangis, disuruh jangan nangis. Jadi perasaan negatif itu tidak diizinkan untuk ada. Jadi pada saat dewasa, kita jadi kesulitan untuk mengelola regulasi diri, kesulitan mengelola stres," ujar Feka. "Jadi, akhirnya kalau sudah bertumpuk-tumpuk (stresnya) tentu akan kesulitan banget."
Feka juga mengatakan tak ada salahnya para orang tua mengakui perasaan negatifnya jika hal tersebut dilihat oleh anak. Hal ini akan membuat anak belajar menghadapi konflik.
"Menurut saya enggak apa-apa, cuma memang perlu berhati-hati saat menyampaikan ada apa. Misalnya saat berantem sama papanya, hati-hati menggunakan kata berantem atau menceritakan keseluruhan tanpa difilter karena dia tentu tidak paham konteksnya," kata Feka. "Jadi kita sedih di depan anak itu enggak apa-apa karena nanti mereka akan melihat bahwa masalah itu bisa diatasi. Mereka sangat butuh proses itu."