Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Kisah Rujak, Makanan yang Naik Peringkat di Meja Diplomasi

Kisah rujak sampai kini masih simpang-siur. Katanya dari Arab karena konon penemu makanan dari berbagai jenis buah itu adalah Abdul Rojak. Benarkah?

27 September 2018 | 14.51 WIB

rujak (pixabay.com)
Perbesar
rujak (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Asal-usul rujak sampai saat ini masih simpang-siur. Ada yang bilang dari Arab karena konon penemu makanan yang tersaji dari berbagai jenis buah dan sayur itu bernama Abdul Rozak.

Baca juga: Anthony Ginting Suka Unggah Makanan di Instagram, Apa Maknanya?

Namun tidak ada fakta sejarah dari negara mana makanan tersebut berasal karena tidak hanya di Indonesia, di Malaysia dan Singapura pun makanan tradisional yang disebut "rojak" itu juga ada.

Berbeda dengan salad yang juga sama-sama terdiri dari irisan buah-buahan dan sayur yang tercatat dalam berbagai literatur sejarah sebagai hidangan para bangsawan pada sekitar 1903.

Irisan buah-buahan dan sayur-sayuran yang dipadu bumbu ulegan saus tiram atau kerang yang disebut dengan petis, gula merah, terasi atau belacan, garam, dan kacang lazim disebut rujak.

Masyarakat Surabaya mencampurinya dengan irisan moncong sapi yang direbus atau cingur untuk menambah kelezatan rujak sekaligus menjadi ikon kuliner Kota Pahlawan itu.
ilustrasi rujak (pixabay.com)
Rujak tidak mengenal mayones yang terbuat dari kuning telur, garam, merica, cuka, dan minyak untuk membedakannya dengan salad yang populer di Eropa.

Tidak salah kalau sebagian masyarakat Surabaya menyebut salad dengan "rujak prancis" karena sama-sama berbahan dasar buah dan sayur, hanya bumbu yang membedakannya.

Meskipun tidak sama persis dengan umumnya di Indonesia, rujak yang disajikan kepada para tamu Resepsi Diplomatik Peringatan Hari Kemerdekaan RI di Beijing, Rabu, 26 September 2018, cukuplah untuk mewakili kekhasan kuliner Nusantara.

Hal itu perlu dimaklumi karena di Ibu Kota Cina tidak ada petis dan terasi sebagai elemen penentu rasa rujak.

Namun apa pun bentuknya, derajat rujak pada malam itu langsung naik. Jika biasanya di Indonesia dijual di warung-warung kecil pinggir jalan, di Beijing tiba-tiba naik ke meja diplomatik.

Mungkin di Jawa rujak bisa menjadi penawar rasa lapar, tapi bisa saja di Beijing rujak menjadi alat tawar diplomasi karena pada malam itu tiba-tiba rujak menyita perhatian Wakil Menteri Luar Negeri China Kong Xuanyou di sela perberbincangnya dengan Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun.
nasi goreng1 (pixabay.com).jpg
Rujak dan gorengan yang disajikan Sih Elsiwi Oratmangun yang mendampingi sang suami, Djauhari Oratmangun, tandas di piring Wamenlu Cina.

Memang lidah tak bertulang, tapi urusan selera, lidah tidak akan bohong. Sang wakil menteri mengambilnya lagi dari piring besar ke piring yang lebih kecil di tangannya sambil berbisik kepada asisten perempuannya untuk mencicipi makanan khas Nusantara itu.

Sebagian besar dari ratusan hadirin di acara yang digelar KBRI Beijing di Hotel Four Seasons itu adalah para diplomat dan atase dari negara-negara sahabat.

Hidangan yang tersajikan pun hampir seluruhnya jajanan khas Nusantara. "Cocok kanggo ilat ndeso (Jawa: sesuai dengan lidah orang kampung)," komentar seorang istri staf KBRI Beijing saat mengambil makanan pencuci mulut yang terbuat dari tepung sagu dicampur santan dan gula merah di meja saji.

Selain rujak, nasi goreng turut menjadi primadona karena pada malam itu mampu memenuhi piring di tangan para diplomat dari benua Eropa dan Amerika.

Baca juga: Makna 8 Warna yang Membungkus Makanan dan Minuman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus