DI Medan tersiar berita seorang bayi lahir dengan leher terputus. Benarkah? "Kepalanya memar kehitam-hitaman, dan ada guratan di lehernya," ujar Ma Hon Sen, ayah bayi itu. "Kulit perutnya terkelupas, dan buah zakarnya bengkak." Benarkah? Leher bayi tak sepenuhnya terputus. Sekalipun begitu, Hon Sen tak bisa menerima kematian anaknya di RS Permata Bunda, Medan, 28 Juli lalu. Dibantu Pengacara Nikolas Simanjuntak, S.H., ia mengadukan dokter dan bidan yang membantu persalinan istrinya, ke Polsekta Teladan, Medan. Pemeriksaan polisi masih berlangsung hingga kini, sementara sas-sus tentang itu menjadi-jadi. Awalnya Jully, istri Hon Sen, 27 Juli berselang masuk RS Permata Bunda untuk melahirkan. Keluara yang tinggal di Tanjung Morawa, daerah pinggiran Medan, iti rupanya tertarik pada RS Permata Bunda, yang baru diresmikan Gubernur Radja Inal Siregar 9 Juli lalu. "Rumah sakit itu layak untuk istri saya," ujar Hon Sen seperti menilai sebuah hotel. "Kamarnya cukup mewah dan peralatannya canggih." Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada 28 Juli menandakan, ada kelainan pada kandungan Jully. Kata Hon Sen, dari ruang USG, Jully segera didorong ke ruang operasi. "Mungkin harus dioperasi, mungkin juga tidak," jawab dr. Rustam, yang menangani Jully saat itu. Pukul 10.45, dr. Rustam keluar dari ruang operasi dan mengabarkan kepada Hon Sen, anaknya tak tertolong karena sudah meninggal dalam kandungan -- tapi istrinya selamat. Hon Sen masuk ke ruang operasi, menyaksikan keadaan anaknya. Ia kecewa, lalu marah. Nikolas Simanjuntak, yang mewakili Hon Sen, tampaknya tak percaya sama sekali pada keterangan dokter. Ia malah begitu yakin pada kesimpulannya sendiri. Kata Nikolas, bayi Hon Sen masih hidup ketika lahir, dan meninggal karena salah operasi. "Dasar tuntutan kami adalah hilangnya nyawa yang sebelumnya masih ada," kata pengacara itu. Dalam pemeriksaan Poltabes Medan, dr. Rustam menerangkan bahwa janin dalam kandungan Jully sudah meninggal ketika pemeriksaan USG dilakukan. Seharusnya Jully menjalani operasi, tapi batal karena janin yang sudah mati itu masih bisa dikeluarkan dengan cara ditarik. "Ini usaha untuk menyelamatkan nyawa ibu dengan risiko sekecil-kecilnya" ujar Rustam. Hon Sen dan Nikolas tak percaya. Dr. Rustam, menurut Nikolas, bertindak di luar wewenangnya. "Kalau mau menyelamatkan ibu, mengapa tidak meminta persetujuan keluarga dulu," ujar pengacara itu. "Kasus ini menunjukkan, tuntutan kepada dokter sudah mulai berlebihan," kata dr. Kartono Mohamad, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kartono berpendapat gejala ini menarik. Mengapa? Pasien dan pengacaranya sudah mulai tahu bagaimana mendramatisasi suatu kejadian, semata-mata untuk membangun pendapat umum lewat media massa. "Coba saja renungkan kalimat, 'bayi lahir dengan leher terputus'," katanya. Di samping itu, ada keberanian berlebihan di kalangan pengacara untuk menafsirkan kasus-kasus medis. Dan itu bisa dilakukan karena, menurut Kartono, masyarakat yang memang tidak mengerti akan mudah dikelabui. "Buat yang mengerti, penafsiran itu terasa konyol sekali," kata Kartono lebih lanjut. Gejala penafsiran bebas seperti itu terjadi pula di Manado. Kali ini kasus meninggalnya seorang anak berusia 32 hari. Perkara perdata yang sedang disidangkan Pengadilan Negeri Manado ini menyangkut tuntutan ganti rugi Rp 50 juta. Apa cerita di baliknya? Mariska, bayi mungil berusia tiga minggu, 27 Juli tahun lalu dibawa kedua orangtuanya ke dr. Jenny Rempengan-Pangemanan. Ada infeksi kulit diikuti infeksi sekunder di bagian luar lehernya. Jenny memberikan racikan antibiotik, obat gosok, dan juga obat penurun panas. Mariska, menurut Jenny, harus dikontrol setelah tiga hari. Orangtua Mariska, Hendrikus Ferdinand Palendeng dan Nurhayati Nompo, tak mematuhi nasihat Jenny. Mariska baru dibawa kembali sebulan kemudian, 27 Agustus. Jenny menyesalkan kecerobohan mereka, mengingat usia bayi baru sebulan. Kini Mariska kena infeksi perut -- gastroenteritis. Bayi itu kembali mendapat racikan antibiotik dan penurun panas. Jenny minta agar Mariska segera dibawa kembali, bila tidak terjadi perubahan keesokan harinya. Kondisi Mariska memang menggawat. Namun, baru 29 Agustus -- dua hari kemudian -- Mariska dibawa ke dokter. Bukan ke Jenny, tapi ke dokter lain, H. Mawengkang. Dokter ini memberikan antibiotik yang lebih keras, obat pencegah muntah, dan sedikit obat penenang. Juga diberikan pesan bahwa Mariska sudah gawat, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit bila kondisinya merosot. Benar, malamnya kondisi Mariska memburuk. Bayi itu segera dilarikan ke RS Umum Gunung Wenang, Manado. Terlambat. Malam itu juga Mariska meninggal pada usia 32 hari. Ferdinand Palendeng dan Nurhayati Nompo tak bisa menerima kenyataan itu. Mereka menuntut ke Pengadilan Negeri Manado. Dasar tuntutannya: Mariska mengalami keracunan obat. Kata mereka, obat yang diberikan Jenny dalam dua kali pemeriksaan ternyata sama. Padahal, pada kunjungan pertama, Mariska mengalami infeksi kulit, sementara pada yang kedua, infeksi perut. Mereka kian meyakini kebenaran dugaan ini, karena obat dr. Mawengkang berbeda. Kelalaian mereka sendiri -- untuk berulang memeriksakan Mariska seperti yang diharuskan oleh dr. Jenny -- sama sekali tidak dipertimbangkan. Juga kenyataan bahwa obat untuk bayi bisa sama, kendati penyakit yang dideritanya berbeda. Lewat satu tahun, perkara Mariska baru disidangkan. Pada sidang pertama awal Juli lalu, bukan hanya dr. Jenny yang duduk di tempat tergugat, tapi juga Mawengkang, bahkan RS Umum Gunung Wenang. "Banyak yang menyangka dokter itu kaya, apalagi di daerah," ujar Kartono mengemukakan salah satu aspek, mengapa dokter kini digugat. Di sisi lain, banyak pasien cepat kecewa karena persepsinya sendiri. Mereka beranggapan, dokter tidak boleh salah. "Apa bisa," tanya Kartono tidak bertanya. Muchsin Lubis (Jakarta), Makmun Al Mujahid (Medan), Phill M. Sulu (Manado)