Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menjadi Mirip karena Penyakit

Skleroderma membuat kulit penderitanya mengeras. Penanganan sejak dini dan kedisiplinan akan memulihkan kondisi.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN perempuan berseliweran mengambil makanan di ruang pertemuan sebuah gedung di bilangan Kramat, Jakarta Pusat, pertengahan Juli lalu. Beberapa di antara mereka saling melempar senyum dan menyapa. Sepintas, mereka terlihat memiliki karakter tubuh serupa: kurus, berkulit gelap, kulit di sekitar muka dan tangan terlalu kencang seperti ditarik, berhidung kecil, berbibir tipis, dan bergigi tonggos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Wajah kami dulu berbeda, tapi kami lama-lama jadi mirip karena skleroderma," kata Patrisia Ayuningtyas, 28 tahun, salah seorang perempuan peserta pertemuan dalam rangka Hari Skeloderma Dunia, yang diperingati setiap 29 Juni, di Kramat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Skleroderma alias sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat kronis akibat gangguan autoimun. Sistem imun yang semestinya melindungi tubuh dari serangan virus dan bakteri malah menyerang organ tubuh.

Penyakit ini pelan-pelan mengubah wajah penderitanya. Kulit Ayupanggilan Patrisia Ayuningtyasyang semula kuning langsat lama-lama menghitam. Hidungnya yang semula lebar pun jadi mengecil dan mancung. Bibirnya yang awalnya penuh lama-lama tertarik dan menipis. "Cuma penyakit skleroderma ini yang membuat penderitanya jadi mirip," ucap Ketua Yayasan Scleroderma Indonesia tersebut.

Skleroderma termasuk penyakit langka. Dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, Sumariyono, mengatakan 100-300 dari 1 juta orang di Eropa menderita penyakit ini. Setiap tahun, jumlah penderita baru mencapai 18-20 per 1 juta orang. Penyakit ini lebih sering menyerang perempuan. Rasionya 4-6 perempuan berbanding 1 laki-laki, yang umumnya berusia 20-50 tahun. "Tapi belum jelas penyebabnya apa," katanya.

Skleroderma berasal dari bahasa Yunani, yakni sclero yang berarti keras dan derma yang berarti kulit. Secara kasatmata, gejala skleroderma bisa dilihat dari kulit yang mengeras. Saking kerasnya, kulit penderita penyakit itu tak bisa dicubit. Selain keras, kulit tersebut seperti tertarik, yang membuat bibir lama-lama menipis dan hidung mengecil. Gejala lain adalah muncul bintik-bintik putih di beberapa bagian kulit, biasanya di leher, lengan, atau muka.

Tak hanya menyerang kulit, sistem imun tubuh yang salah sasaran ini juga menyerbu pembuluh darah kecil. Akibatnya, pembuluh darah yang antara lain terdapat di jari kaki dan tangan itu menyempit atau terjadi vaskulopati. Lantaran jalurnya mengecil, volume darah yang mengalir ke bagian tubuh tersebut berkurang sehingga oksigen dan nutrisi yang diantarkan darah tak cukup.

Karena kurangnya aliran darah tersebut, jemari memucat atau membiru. Kondisinya akan makin parah kalau udara sedang dingin atau penderita merasa tertekan. "Ketika udara dingin atau stres, pembuluh darah makin ciut," ujar Sumariyono, yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Vaskulopati tersebut lambat-laun menyebabkan ukuran jari makin langsing. Darah yang tak mengalir sampai ujung jari lama-lama menyebabkan pembuluh darah mati. Jaringan pun ikut mati. Akibatnya, jari akan menghitam dan mesti diamputasi.

Gangguan autoimun ini juga menyerang organ dalam tubuh, seperti saluran cerna, ginjal, jaringan paru, dan jantung. Pada saluran cerna, katup yang semestinya menutup saat makanan sudah turun dari kerongkongan ke lambung jadi tak berfungsi normal. Akibatnya, asam lambung gampang naik ke kerongkongan atau terjadi refluks sehingga menimbulkan rasa terbakar di dada.

Serangan sistem imun itu menyebabkan kinerja ginjal merosot sehingga pasien mesti menjalani cuci darah. Efek pada paru-paru membuat organ tubuh ini mengempis sehingga penderita sering ngos-ngosan. Serangan pada jantung membuat irama detak bermasalah hingga gagal jantung. Dua masalah terakhir tersebut bisa menyebabkan kematian. "Tapi pengerasan organ dalam seperti ini tak terjadi pada semua pasien," kata Sumariyono.

Pengerasan organ dalam lebih sering terjadi pada pasien dengan skleroderma yang menyebar. Penebalan kulit mereka juga terjadi lebih singkatdalam hitungan minggu hingga bulandan lebih luas. Sedangkan pada pasien dengan skleroderma terbatas, gejala yang muncul lebih ringan, perkembangan lebih lambat, dan organ dalam yang terkena lebih sedikit. Gejalanya biasanya muncul di kulit ujung tangan dan kaki serta wajah. "Bisa, misalnya, hanya di tangan," tutur Sumariyono.

Belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Obat-obatan yang diberikan digunakan untuk mengurangi serangan sistem imun dan mengurangi gejala yang terjadi, misalnya obat antinyeri, penghambat asam lambung, dan obat lain sesuai dengan organ tubuh yang terkena.

Menurut dokter spesialis penyakit dalam Suryo Anggoro Kusumo Wibowo, di negara lain, misalnya Belanda, pengobatan skleroderma sudah menggunakan sel punca dan agen biologi. Adapun di Indonesia obat yang digunakan masih terbatas.

Namun dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, Sumartini Dewi, menemukan manfaat ciplukan untuk mengobati penyakit ini. Tahun lalu, ia mempresentasikan hasil risetnya tersebut dalam disertasi doktoralnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasil penelitiannya membuktikan kondisi penderita yang mengkonsumsi obat skleroderma dan kapsul ciplukan lebih cepat membaik ketimbang mereka yang hanya mengkonsumsi obat skleroderma.

Setelah tiga bulan obat skleroderma dan kapsul ciplukan dikonsumsi, kulit mereka menjadi lentur sehingga lapisan bawah kulit bisa terisi lemak. "Pasien pertama saya yang mencoba berat badannya naik 5 kilogram dalam tiga bulan," ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ini.

Padahal, dengan obat saja, perbaikan baru bisa terasa dalam waktu enam bulan sampai dua tahun. Itu pun biasanya hanya perbaikan kecil. Dari penelitian itu, Dewi kini menganjurkan semua pasiennya yang menderita skleroderma juga mengkonsumsi ciplukan. "Obatnya tak boleh ditinggal," katanya.

Selain rutin mengkonsumsi obat, menurut dokter spesialis penyakit dalam Rakhma Yanti Hellmi, pasien memerlukan terapi lain. Misalnya gejala fenomena Raynaud dapat diatasi dengan selalu menghangatkan ujung jari menggunakan kaus tangan atau kaus kaki, tidak merokok, dan mencegah stres.

Untuk mengatasi gangguan proses menelan karena komplikasi skleroderma di kerongkongan, pasien dianjurkan makan dengan porsi sedikit tapi sering. Setelah makan, pasien tak boleh langsung berbaring untuk mencegah refluks atau makanan kembali ke saluran cerna atas. "Untuk gangguan kekakuan kulit, dapat diatasi dengan penggunaan pelembap yang tepat," tutur dokter yang berpraktik di Rumah Sakit dr Kariadi, Semarang, ini.

Nur Alfiyah


Obati Sejak Dini

Skeloderma memang belum bisa diobati. Namun makin dini penyakit ini ditangani, kondisi tubuh makin berpeluang kembali normal. "Kalau ketahuannya masih dalam hitungan bulan, pengerasan organ dalam belum terjadi, kulit yang mengeras bisa normal kembali," kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, Sumariyono.

Beberapa gejala skleroderma yang mesti Anda waspadai:
- Warna ujung jari tangan berubah menjadi pucat atau kebiruan
- Jari tangan membengkak
- Kulit menebal atau mengeras
- Muncul rasa panas di dada, sulit menelan, dan sesak napas

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus