Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tahun berlalu, peristiwa itu masih membekas dalam benak empat anak Meliana. Mereka akan menjauh tiap kali menjumpai kerumunan. Saking takutnya, mereka tak pernah lagi mengaku sebagai anak Meliana. "Mereka menutup identitasnya," kata Ranto Sibarani, penasihat hukum Meliana, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah rumahnya di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dirusak massa pada 29 Juli dua tahun lalu, Meliana sekeluarga pindah ke Medan, yang jaraknya terpaut 171 kilometer. Meski keluarga itu sudah pindah ke tempat baru, ketakutan membayangi mereka. Meliana sampai harus menemui psikolog untuk meredakan trauma dan depresi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari terakhir keluarga Meliana tinggal di rumah lama, puluhan orang mengepung rumah mereka dan menghujaninya dengan batu. Penuh amarah, orang-orang itu menuding Meliana menodai Islam karena memprotes suara azan. Malam itu juga kerusuhan menjalar di Tanjung Balai. Sejumlah vihara dan kelenteng serta beberapa bangunan hangus terbakar.
Pada Selasa pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan memvonis Meliana bersalah karena dianggap terbukti melakukan perbuatan yang menebarkan permusuhan atau menodai agama sesuai dengan Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara sesuai dengan tuntutan jaksa.
Mendengar vonis hakim, Meliana tertunduk lesu. Perempuan 44 tahun itu tampak berusaha membendung air matanya. Tapi air mata menerobos jemarinya. Ia buru-buru menyekanya sebelum bulir-bulir itu jatuh melewati pipi.
Ranto Sibarani mengatakan kliennya akan mengajukan permohonan banding. Menurut dia, hakim memaksakan vonis meski buktinya minim. Jaksa bahkan tak bisa menunjukkan bukti Meliana mengucapkan kalimat yang menodai agama.
Di persidangan, jaksa menyatakan barang bukti kasus itu adalah pengeras suara dan amplifier dari Masjid Al-Makhsum yang mengumandangkan azan, yang volumenya dikeluhkan Meliana. Tapi, kata Ranto, kedua benda itu tak membuktikan apa-apa. "Jikapun Meliana benar melakukan penodaan agama, dia tak melakukannya dengan menggunakan pengeras suara," ujarnya.
Menurut Ranto, Meliana tak berniat menodai Islam. Pada 22 Juli 2016, ia mengeluhkan volume pengeras suara di Masjid Al-Makhsum, yang berada di dekat rumahnya, di Jalan Karya, Kelurahan Tanjung Balai Kota I. Itu pun hanya disampaikan kepada tetangganya, yang disebut Ranto sebagai Kak Uwo, seorang pedagang. "Kak, dulu suara di masjid kita tidak begitu keras, ya. Sekarang agak keras," kata Ranto menirukan Meliana.
Keluhan ini diteruskan Kak Uwo kepada adik dan bapaknya. "Dari bapaknya menyebar ke mana-mana," ujar Ranto. Sepekan kemudian, pada 29 Juli 2016, pengurus Masjid Al-Makhsum mendatangi rumah Meliana dan menanyakan pernyataannya. Pertemuan sempat memanas karena orang-orang yang datang tak terima terhadap ucapan Meliana yang mempersoalkan volume pengeras suara.
Suami Meliana, Lian Tui, menengahi percekcokan. Ia bahkan menyusul ke masjid untuk meminta maaf. Tapi kabar bohong, yang salah satunya menyebut Meliana melarang azan, telanjur menyebar. Massa yang terhasut mendatangi rumah Meliana dan merusaknya. Setelah itu, kerusuhan meluas di Tanjung Balai.
Polisi menggulung pelaku kerusuhan. Delapan di antaranya dibawa ke pengadilan, lalu dijatuhi hukuman penjara rata-rata 1 bulan pada 23 Januari 2017. Hukuman paling tinggi diterima Zakaria Siregar, yakni 2 bulan 18 hari bui.
Pada Maret 2018, hampir dua tahun setelah kerusuhan berlalu, polisi menetapkan Meliana sebagai tersangka. Dua bulan kemudian, dia ditahan. Menurut Ranto, jauhnya rentang waktu dari peristiwa kerusuhan sampai penetapan tersangka menunjukkan penyidik kesulitan mendapatkan alat bukti.
Kejanggalan lain, dalam dakwaan jaksa dan putusan hakim, Meliana disebut memprotes suara azan dari Masjid Al-Makhsum pada 29 Juli 2016pada hari terjadi kerusuhan. "Padahal Meliana mengeluhkan volume pengeras suara pada 22 Juli kepada tetangganya," kata Ranto. Kalaupun Meliana pada 29 Juli menyoal kembali hal tersebut, itu lantaran dia menjawab pertanyaan pengurus masjid yang mendatangi rumahnya.
Iil Askar Mondza (Medan)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo