Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDUDUK pedalaman Irian Jaya tidak kenal kondom, mereka cuma
punya koteka, tapi KB berjalan rapi. Mereka menjarangkan
kelahiran secara alamiah termasuk juga membunuh seketika kalau
anak yang lahir ternyata cacad.
Kalau seorang ibu yang sedang hamil sudah merasakan anaknya
menggeliat di dalam kandungan, ia segera berangkat ke dalam
hutan. Di situ dia menyambut kedatangan anaknya itu sendirian
atau terkadang dengan bantuan "bidan".
Kalau ibu modern melahirkan sambil menelentang (posisi yang
hanya menguntungkan bidan dan dokter yang menolong) orang Irian
melahirkan dalam posisi vertikal. Duduk atau malahan berdiri.
Mereka membuat rupa-rupa gerakan. Seperti berdiri sambil
mengangkang atau mengangkat tinggi sebelah kakinya untuk
mempercepat kelahiran dan melawan sakit.
Jika lahir cacad, si ibu segera menyudahi penderitaan anaknya
itu. Bayi yang merah itu lantas dibungkus dengan dedaunan dan
dibiarkan tinggal sendirian di hutan. Kedengarannya begitu buas,
tapi sulit juga dibayangkan bagaimana seorang yang cacad bisa
bertahan hidup dalam alam yang terpencil dan keras.
Untuk mengetahui tindak-tanduk penduduk pedalaman Irian Jaya,
seorang dokter dan sarjana ilmu tentang tingkah-laku manusia,
Wulf Schiefenhovel dari Republik Federasi Jerman sudah 2 tahun
berada di Irian Jaya. Sarjana berusia 36 itu tinggal bersama
penduduk di daerah Yali, di Pegunungan Jayawijaya.
Wulf yang mahir berbahasa Indonesia dan dialek bahasa Mek yang
digunakan penduduk Eipomek di Irian, pekan kemarin memberikan
ceramah kepada para dokter di Museum Kesehatan Nasional,
Jakarta. "Penduduk di sana semuanya mengetahui metode-metode
keluarga berencana," katanya.
Di Hutan
Suku Eipomek yang ia selidiki menjalankan praktek kontrasepsi
antara lain dengan mematuhi larangan nenek moyang untuk tidak
melakukan hubungan dengan istri yang melahirkan anak pertama
sampai 2 setengah tahun. Pada suku Dani, katanya, malahan sang
suami harus "berpuasa" sampai 5 tahun. Keadaan ini mengakibatkan
jarangnya anak yang dimiliki seorang ibu di sana. Sebuah
keluarga paling banyak memiliki 4 anak.
Pertambahan penduduk di daerah yang diselidiki Wulf juga
terhambat karena orang kawin di sana agak terlambat. Anak
perempuan mendapat haidnya yang pertama pada usia 17 tahun.
"Namun itu tidak berarti bahwa mereka baru melakukan hubungan
seks setelah usia itu. Mereka sudah berhubungan dengan laki-laki
sebelum usia 17. Untungnya hubungan semacam ini tidak akan
mengakibatkan kehamilan," cerita Wulf Schiefenhovel.
Keterlambatan haid ini diperkirakan karena miskinnya gizi.
Lantas ada faktor lain yang juga menyebabkan angka kelahiran
yang rendah. Pemuda juga terlambat tumbuh menjadi dewasa. "Pada
usia 20 tahun baru mereka berkumis. Mereka umumnya baru kawin
pada umur antara 23 sampai 25 tahun," kata sarjana Jerman itu.
Pemuda Eipomek berkenalan dengan seks melalui wanita-wanita yang
berusia antara 30 dan 40 tahun. Para wanita ini karena
ditinggalkan suami mencari pasangan di antara anak-anak muda.
"Mereka menciptakan lagu-lagu yang merdu untuk memikat para
pemuda. Dan kalau pun terjadi hubungan seks antara mereka,
kemungkinan kehamilan tipis. Karena tambah tua tingkat kesuburan
wanita menurun," urai Wulf.
Suku Eipomek, -- begitu pun suku-suku lain di Irian -- miskin
dalam obat-obatan yang berasal dari tanaman. Di sana orang
memakan daun yang katanya bisa mengakibatkan tertutupnya rahim.
"Tapi menurut penelitian di laboratorium, tanaman itu ternyata
tak berfaedah untuk mencegah kehamilan. Namun penelitian
mengenai obat-obatan tanaman dari Irian masih perlu
dilanjutkan," kata Wulf.
Di pedalaman Irian, Wulf dan istrinya hidup sebagaimana penduduk
asli. Termasuk makan ubi dan sayur-sayuran yang jadi bahan
makanan pokok penduduk. Ia sempat menjadi bahan tertawaan
penduduk. Mereka bertanya kepadanya, apakah ia tidak pernah
menggauli istrinya. "Pernah," tukas Wulf. Orang Irian itu heran
dan bertanya di mana ia berhubungan dengan istrinya. "Ya di
rumah ini," jawab Wulf seraya menunjukkan rumahnya yang sama
primitifnya dengan penduduk asli. Mendengar jawaban itu mereka
tertawa setengah mati. Karena penduduk asli di sana melaksanakan
hajat itu di dalam hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo