Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Orang Jerman itu makan ubi

Seorang dokter dan sarjana ilmu tentang tingkah laku manusia dari jerman menyelidiki praktek kontrasepsi suku eipomek di irian jaya. (ksh)

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK pedalaman Irian Jaya tidak kenal kondom, mereka cuma punya koteka, tapi KB berjalan rapi. Mereka menjarangkan kelahiran secara alamiah termasuk juga membunuh seketika kalau anak yang lahir ternyata cacad. Kalau seorang ibu yang sedang hamil sudah merasakan anaknya menggeliat di dalam kandungan, ia segera berangkat ke dalam hutan. Di situ dia menyambut kedatangan anaknya itu sendirian atau terkadang dengan bantuan "bidan". Kalau ibu modern melahirkan sambil menelentang (posisi yang hanya menguntungkan bidan dan dokter yang menolong) orang Irian melahirkan dalam posisi vertikal. Duduk atau malahan berdiri. Mereka membuat rupa-rupa gerakan. Seperti berdiri sambil mengangkang atau mengangkat tinggi sebelah kakinya untuk mempercepat kelahiran dan melawan sakit. Jika lahir cacad, si ibu segera menyudahi penderitaan anaknya itu. Bayi yang merah itu lantas dibungkus dengan dedaunan dan dibiarkan tinggal sendirian di hutan. Kedengarannya begitu buas, tapi sulit juga dibayangkan bagaimana seorang yang cacad bisa bertahan hidup dalam alam yang terpencil dan keras. Untuk mengetahui tindak-tanduk penduduk pedalaman Irian Jaya, seorang dokter dan sarjana ilmu tentang tingkah-laku manusia, Wulf Schiefenhovel dari Republik Federasi Jerman sudah 2 tahun berada di Irian Jaya. Sarjana berusia 36 itu tinggal bersama penduduk di daerah Yali, di Pegunungan Jayawijaya. Wulf yang mahir berbahasa Indonesia dan dialek bahasa Mek yang digunakan penduduk Eipomek di Irian, pekan kemarin memberikan ceramah kepada para dokter di Museum Kesehatan Nasional, Jakarta. "Penduduk di sana semuanya mengetahui metode-metode keluarga berencana," katanya. Di Hutan Suku Eipomek yang ia selidiki menjalankan praktek kontrasepsi antara lain dengan mematuhi larangan nenek moyang untuk tidak melakukan hubungan dengan istri yang melahirkan anak pertama sampai 2 setengah tahun. Pada suku Dani, katanya, malahan sang suami harus "berpuasa" sampai 5 tahun. Keadaan ini mengakibatkan jarangnya anak yang dimiliki seorang ibu di sana. Sebuah keluarga paling banyak memiliki 4 anak. Pertambahan penduduk di daerah yang diselidiki Wulf juga terhambat karena orang kawin di sana agak terlambat. Anak perempuan mendapat haidnya yang pertama pada usia 17 tahun. "Namun itu tidak berarti bahwa mereka baru melakukan hubungan seks setelah usia itu. Mereka sudah berhubungan dengan laki-laki sebelum usia 17. Untungnya hubungan semacam ini tidak akan mengakibatkan kehamilan," cerita Wulf Schiefenhovel. Keterlambatan haid ini diperkirakan karena miskinnya gizi. Lantas ada faktor lain yang juga menyebabkan angka kelahiran yang rendah. Pemuda juga terlambat tumbuh menjadi dewasa. "Pada usia 20 tahun baru mereka berkumis. Mereka umumnya baru kawin pada umur antara 23 sampai 25 tahun," kata sarjana Jerman itu. Pemuda Eipomek berkenalan dengan seks melalui wanita-wanita yang berusia antara 30 dan 40 tahun. Para wanita ini karena ditinggalkan suami mencari pasangan di antara anak-anak muda. "Mereka menciptakan lagu-lagu yang merdu untuk memikat para pemuda. Dan kalau pun terjadi hubungan seks antara mereka, kemungkinan kehamilan tipis. Karena tambah tua tingkat kesuburan wanita menurun," urai Wulf. Suku Eipomek, -- begitu pun suku-suku lain di Irian -- miskin dalam obat-obatan yang berasal dari tanaman. Di sana orang memakan daun yang katanya bisa mengakibatkan tertutupnya rahim. "Tapi menurut penelitian di laboratorium, tanaman itu ternyata tak berfaedah untuk mencegah kehamilan. Namun penelitian mengenai obat-obatan tanaman dari Irian masih perlu dilanjutkan," kata Wulf. Di pedalaman Irian, Wulf dan istrinya hidup sebagaimana penduduk asli. Termasuk makan ubi dan sayur-sayuran yang jadi bahan makanan pokok penduduk. Ia sempat menjadi bahan tertawaan penduduk. Mereka bertanya kepadanya, apakah ia tidak pernah menggauli istrinya. "Pernah," tukas Wulf. Orang Irian itu heran dan bertanya di mana ia berhubungan dengan istrinya. "Ya di rumah ini," jawab Wulf seraya menunjukkan rumahnya yang sama primitifnya dengan penduduk asli. Mendengar jawaban itu mereka tertawa setengah mati. Karena penduduk asli di sana melaksanakan hajat itu di dalam hutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus