Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Studi Lanjutan: 3 Penyebab Utama Anak Tantrum

Anak tantrum dapat dipicu oleh berbagai hal, mulai dari kelelahan, rasa lapar, hingga ketidaknyamanan.

5 April 2024 | 22.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Anak tantrum, yang mencakup rentang perilaku mulai dari merengek hingga berteriak, menendang, bahkan menahan napas, merupakan kejadian umum pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, terutama antara usia 1 hingga 3 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari Kids Health, setiap anak memiliki pola tantrum yang berbeda. Beberapa mungkin sering mengalami tantrum, sementara yang lain mungkin jarang. Ini adalah bagian normal dari proses perkembangan anak. Tantrum merupakan cara anak kecil mengekspresikan ketidakpuasan atau frustrasi mereka terhadap suatu situasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak tantrum dapat dipicu oleh berbagai hal, mulai dari kelelahan, rasa lapar, hingga ketidaknyamanan. Anak-anak dapat merasa frustrasi ketika mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, seperti mainan atau permen, atau ketika mereka tidak dapat memaksa orang lain untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Ini adalah momen penting bagi anak untuk belajar mengatasi rasa frustrasi.

Tantrum sering terjadi pada tahap kedua perkembangan anak, terutama ketika kemampuan berbahasa mereka mulai berkembang. Pada masa ini, anak-anak mungkin merasa sulit untuk mengkomunikasikan keinginan atau kebutuhan mereka karena kata-kata yang mereka miliki untuk menggambarkan perasaan mereka masih terbatas. Karena itu, situasi yang membuat frustrasi dapat memicu tantrum.

Anak-anak pada usia ini juga mencari kemandirian dan kontrol atas lingkungan sekitar mereka, kadang melebihi kemampuan yang mereka miliki. Ini dapat menyebabkan pertarungan kekuasaan ketika mereka merasa bahwa mereka bisa melakukan sesuatu sendiri atau merasa mereka berhak mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Ketika mereka menyadari bahwa kemandirian dan keinginan mereka terbatas, tantrum mungkin menjadi respons yang muncul.

Dilansir dari Psychology Today, berikut 3 penyebab utama anak tantrum:

1. Stres dan kewalahan

Anak-anak mungkin merasa stres dan kewalahan karena terlalu banyak beban. Hal ini bisa terjadi pada anak-anak dari berbagai usia, mulai dari balita hingga remaja. Mereka mungkin menunjukkan stres dengan cara yang berbeda dari orang dewasa. Tuntutan sekolah yang tinggi, interaksi sosial yang rumit, dan media digital yang banyak dapat menyebabkan mereka merasa kewalahan. 

Perasaan kewalahan ini bisa membuat mereka sulit berkonsentrasi dan mendengarkan, yang kemudian mengganggu komunikasi. Contohnya, penelitian tentang dampak media sosial pada anak-anak dan remaja menemukan bahwa hal tersebut dapat mengganggu tidur, membuat kecanduan, dan meningkatkan kecemasan. Selain itu, media sosial juga bisa memicu masalah perilaku dan membuat remaja merasa tidak percaya diri.

2. Koneksi antara anak dan orang tua kurang

Anak-anak lebih suka berinteraksi dan bekerja sama dengan orang-orang yang terhubung secara emosional terhadap mereka. Jika anak tampak sering mengabaikan orang tua, itu bisa menjadi pertanda bahwa hubungan orang tua dengan anak mereka kurang baik. Ini bisa disebabkan oleh jadwal yang sibuk, prioritas yang berbeda, masalah di rumah, atau ketidaksepakatan yang belum terselesaikan.

Penelitian menunjukkan bahwa cara mendidik anak memiliki dampak besar pada kesejahteraan mental mereka. Cara mendidik yang keras dan kasar, seperti memberi hukuman dan tidak menunjukkan empati, berkaitan dengan masalah internal (seperti kecemasan dan depresi) dan eksternal (seperti perilaku agresif) pada anak-anak.

3. Anak menginginkan perhatian dari orang tuanya

Anak-anak sering melakukan hal-hal yang mengganggu untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang tua. Anak tantrum, membangkang, atau mencari cara lain untuk mendapatkan perhatian, karena mereka merasa butuh perhatian emosional yang belum terpenuhi, bukan sekadar ingin melawan. 

Penelitian yang dipublikasikan dalam The Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology menunjukkan bahwa orang tua anak yang sering melakukan perilaku melawan cenderung melaporkan kurangnya keterlibatan hangat. Selain itu, cara mendidik yang keras secara fisik lebih mungkin berkaitan dengan perilaku agresif anak.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus