Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Karya-karya puisi dari Sapardi Djoko Damono atau yang akrab disapa SDD, begitu tertanam di pikiran masyarakat Indonesia. Bahkan banyak puisinya yang dialih wahanakan menjadi lagu.
SDD lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940. Ia tumbuh besar di kota tersebut mulai SD hingga SMA dan pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di UGM.
SDD sudah memiliki kebiasaan menulis sejak usianya masih remaja dan sudah mengirimkan tulisannya ke berbagai macam majalah. Bahkan kebiasannya ini semakin berkembang ketika ia memasuki jurusan Sastra Barat di bidang Bahasa Inggris. Dengan proses tersebut tidak perlu diragukan bahwa karya-karyanya abadi dan membuatnya menjadi salah satu pujangga terkemuka.
Sebelum besar sebagai Penyair, Sapardi pernah mengajar di IKIP Malang dalam kurun waktu 1964 hingga 1968. Ia juga pernah menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah Horison pada 1974. Setelah itu Sapardi kembali ke dunia pendidikan dan mengajar di UI. Ia juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999.
Puisinya yang berjudul Aku Ingin menjadi salah satu puisi yang paling tertancap di pikiran pembaca-pembacanya. Ia mengatakan bahwa puisi ini ditulis dalam kurun waktu lima belas menit. Puisi SDD yang memilliki diksi romantis, tidak diragukan banyak yang mengaguminya terkhusus kawula muda.
Baca: Sapardi Djoko Damono Berpulang Dan Festival Hujan Bulan Juni 2021
Puisi Aku Ingin merupakan puisi yang tertuang di dalam buku Hujan Bulan Juni, buku ini sudah terbit sejak 1994. Bahkan buku ini juga sudah difilm kan pada 2017 lalu dengan judul yang sama pula. Tidak hanya bukunya, puisi Aku Ingin juga dialih wahanakan menjadi lagu, yang menyanyikannya duet alm. Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Bahkan lagu Jason Ranti dengan judul Lagunya Begini Nadanya Begitu terinspirasi dari puisi ini.
Hal ini membuat penyair Joko Pinurbo mengatakan, “Dia (Sapardi Djoko Damono) adalah salah satu rasul utama dalam kesusasteraan Indonesia.”
Adapun karya puisi-puisi Sapardi yang dibukukan adalah, Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), dan lainnya. Selain itu Sapardi juga mengeluarkan trilogi Hujan Bulan Juni, yang terdiri dari Pinkan Melipat Jarak, Yang Fana Adalah Waktu, dan Hujan Bulan Juni.
Dengan banyaknya tulisan yang telah dibukukan membuat Sapardi meraih beragam penghargaan yaitu anugerah SEA Write Award pada 1986 dan penghargaan dari Achmad Bakrie pada 2003.
Karya Sapardi terbaru adalah Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang, dalam buku ini ia berkolaborasi dengan penulis muda Nadhifa Allya Tsana atau yang dikenal Rintik Sendu.
Pada 19 Juli 2020 lalu. dunia Kesusasteraan Indonesia kembali berduka ketika sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal. Sapardi mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang. Puisinya dengan kata sederhana namun sarat makna akan selalu terngiang di pikiran masyarakat Indonesia. Sapardi abadi beserta karya-karyanya, yang fana adalah waktu.
GERIN RIO PRANATA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini