Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Logo PT Freeport masih terpasang di area bursa pasar seni rupa terbesar di Indonesia, Art Jog. Pameran ini akan berakhir pada 27 Juni dan telah berlangsung sejak 27 Mei 2016 lalu, di Jogja National Museum. Logo inilah yang mengundang kontroversi.
Ada sejumlah pernyataan sikap menolak sponsor Freeport, demonstrasi, aksi vandalisme menutup logo secara sementara, hingga saweran untuk mengembalikan duit Rp 100 juta ke perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
Sengkarut Art Jog yang menggandeng Freeport menjadikan isu pendanaan seni menjadi penting. Sejumlah seniman yang tergabung dalam Forum Solidaritas Yogyakarta damai tergerak menyelenggarakan diskusi bertema Eksplorasi Etnohistoris Filantropi Seni di Indonesia di Ruang Mes 56 Jalan Mangkuyudan No 53A Yogyakarta, Kamis sore, 23 Juni 2016.
Diskusi itu menghadirkan pembicara Sigit Budhi Setiawan. Sigit merupakan penulis buku tidak terpublikasi berjudul Filantropi dan Mobilisasi Sumber Daya untuk Keberlanjutan Seni Budaya. Ia menulis buku itu bersama Hamid Abidin. Diskusi itu menyinggung Art Jog yang menerima pendanaan dari Freeport. “Saya melihat teman-teman seniman dilukai. Mereka tidak tahu sumber dana dari mana dan berapa jumlah uangnya,” kata Sigit menjawab pertanyaan peserta diskusi tentang Art Jog dan Freeport.
Menurut Sigit, etika dalam pendanaan muncul dalam kesepakatan bersama. Prinsipnya adalah transparan dan akuntabel. Pemberi dana, penerima dana, dan penerima manfaat harus mengetahui uang berasal dari mana, jumlahnya berapa, dan digunakan untuk apa saja. Transparansi dan akuntabilitas, kata Sigit tidak sekadar bicara soal kuitansi.
Orang-orang yang terlibat seharusnya dilibatkan dalam perencanaan, tidak hanya saat acara berlangsung.Menurut dia, filantropi dalam seni tidak sebatas pada uang, melainkan dukungan fasilitas. Untuk kasus Art Jog, batas etika sponsor adalah sejauh mana perusahaan itu tidak mempengaruhi independensi seniman.
Selain itu, penyelenggara juga perlu melihat pendanaan Freeport itu menghancurkan visi misi penyelenggara atau tidak. Sigit berpandangan Art Jog elitis atau ia mengumpamakan seperti bisnis real estate. “Nalar yang dipakai jualan, pariwisata, dan hanya orang kaya yang menikmatinya,” kata Sigit.
Sejumlah seniman street art, aktivis, dan seniman yang ikut berpameran di Art Jog datang dalam diskusi itu. Seniman Jim Allen Abel atau akrab dipanggil Jimbo dan Titarubi merupakan seniman yang karyanya dipajang di ruang pamer Art Jog.
Jimbo mengatakan seni perlu bersiasat dengan pasar, tidak harus berjarak. Siasat itu kemudian mendorong seniman untuk membuat karya yang lebih bagus. Di penghujung diskusi, Titarubi mengatakan Art Jog merupakan acara yang digelar oleh kalangan swasta dan tidak bertanggung jawab ke pemerintah. Art Jog berbeda dengan acara seni yang menggerakkan rakyat. “Seniman dalam seni rupa lebih banyak bekerja secara individu dan profesional, bukan komunitas,” kata Titarubi.
Titarubi merupakan satu di antara penggagas saweran yang berniat mengembalikan sebagian dana sponsor dari Freeport untuk Art Jog. Titarubi, Agung Kurniawan, Lashita Situmorang, Yustina Neni, dan Uji Handoko menggagas pengembalian uang tersebut dengan saweran di antara mereka. “Kami masih terus mengumpulkan duit saweran. Sekarang terkumpul kurang lebih belasan juta,” kata seniman Agung Kurniawan.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini