Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bukit Turgo di Sleman menjadi tempat terbaik untuk melihat Merapi.
Bukit Turgo menjadi lokasi favorit wisata ziarah ke makam Syekh Jumadil Kubro.
Permukiman Turgo pernah porak-poranda akibat keganasan Merapi.
SUNYI menyergap puncak Bukit Turgo. Dari atasnya tampak kabut tebal menyelimuti Gunung Merapi pada Ramadan pekan pertama lalu. Tubuh gunung api teraktif di Indonesia itu hanya terlihat sebagian di tengah gerimis yang membasahi puncak. Berjarak 5 kilometer dari puncak Merapi, udara dingin dan kabut menghantam sekujur tubuh saya pada sore itu. Pepohonan berkeriut dan menyebarkan aroma segar dedaunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukit Turgo di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terletak di selatan Merapi. Ini tempat terbaik untuk melihat keindahan Merapi. Bila tak tertutup kabut, keelokan gunung yang utuh bisa disaksikan pengunjung saat berada di puncak atau dari petilasan Syekh Jumadil Kubro, yang dianggap sebagai nenek moyang Wali Songo. Jadi Bukit Turgo juga menjadi destinasi wisata minat khusus favorit para peziarah Syekh Kubro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelawat yang datang dari berbagai daerah itu mendaraskan doa di petilasan berlantai keramik berkelir hitam pada pucuk bukit. Anda juga bisa menyusuri tiga gua di sekitar tempat istirahat pengunjung menuju puncak. Gua-gua ini kerap disinggahi peziarah. Di sana terlihat jejak berupa bunga-bunga yang mengering sebagai sajen. Ada juga botol-botol plastik minuman yang menjadi sampah pengunjung.
Tapi petang itu Bukit Turgo sepi pengunjung. Peziarah tak terlihat di puncak. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi saat ini menetapkan status siaga atau level tiga pada Merapi. Level tiga berarti peningkatan aktivitas gunung berapi membawa potensi bahaya guguran lava dan awan panas pada radius tertentu. Bukit Turgo tergolong zona merah rawan bencana erupsi Merapi.
Pengelola Bukit Turgo kini menerapkan sistem buka-tutup untuk wisata religi. Mereka memasang papan bertulisan pembatasan kunjungan. Pengunjung hanya boleh berada di sana pada pukul 5 pagi hingga 5 sore dan dilarang menginap di puncak bukit. "Berisiko dan kami pantau selama 24 jam," kata pengelola desa wisata Gunung Merapi, Wasi, kepada Tempo, Jumat, 19 April 2024.
Suasana Bukit Turgo di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 19 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Bukit ini berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Untuk menjangkau bagian paling atas bukit, setiap pengunjung harus menaiki 1.747 anak tangga. Makin menanjak anak tangga, jalanan yang harus dilalui makin curam dengan kemiringan tebing hingga 60 derajat.
Setiap pengunjung harus memastikan kondisi tubuhnya sehat dan fit sebelum berjalan menuju puncak. Peregangan otot sebagai pemanasan akan membantu supaya kuat berjalan. Sebelum berjalan ke puncak, saya menyempatkan diri berjalan selama 15 menit di sekitar hutan pada kaki bukit sebagai pemanasan.
Guna memudahkan akses peziarah, pemerintah DI Yogyakarta membangun anak tangga berbahan semen dari kaki hingga puncak bukit pada empat tahun lalu. Sebelum dibangun anak tangga, orang harus melewati jalan setapak bebatuan dan tanah. Dulu pengunjung harus menggunakan tali tambang karena tebing sangat curam.
Bukit Turgo masuk kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang kaya habitat aneka satwa dan tanaman spesies langka. Pohon sarangan atau saninten (Castanopsis argentea) merupakan satu dari flora yang tergolong dilindungi dan terancam punah.
Saya melihat pohon itu tumbuh menjulang dan berbuah di sejumlah titik. Buah saninten mirip rambutan. Bedanya, kulit buah ini menyerupai duri landak yang tajam pada bagian ujung. Buah saninten berjatuhan, berserakan, pecah, dan terlihat biji-bijinya. Terdengar suara monyet sedang melahap buah itu.
Spesies tanaman khas hutan ini berdiameter 1 meter dengan ketinggian hingga 30 meter. Balai Taman Nasional Gunung Merapi menyebutkan banyak orang menginginkan batang-batang pohon itu untuk bahan baku mebel karena kualitasnya bagus. Di kawasan Eropa, biji buah saninten dikenal sebagai sweet chestnut atau kacang keju yang mahal. Buah saninten menjadi kegemaran berbagai satwa, seperti monyet ekor panjang dan tupai.
Suasana Bukit Turgo di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 19 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Berbagai jenis burung yang dilindungi pun menghuni bukit itu. Ada elang Jawa (Nisaetus bartelsi), cucak hijau (Chloropsis sonnerati), kepodang (Oriolus chinensis), madu sriganti (Cinnyris jugularis), madu gunung (Aethopyga eximia), dan madu Jawa (Aethopyga mystacalis).
Selain untuk melihat Merapi dan berziarah, Bukit Turgo cocok bagi pengunjung yang suka naik gunung dengan jalur lebih gampang. Hanya butuh waktu satu jam untuk rute hiking yang pendek. Papan petunjuk arah memudahkan pengunjung supaya tidak tersesat.
Tapi tak banyak pendaki yang datang ke sana. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman Ishadi Zayid menyebutkan jumlah pengunjung Bukit Turgo tergolong sedikit ketimbang kawasan wisata lain, seperti Kaliurang. "Peziarah mendominasi kunjungan," ujarnya.
Bukit Turgo, yang terletak di Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, ini berjarak 27 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Lokasi ini bisa ditempuh selama satu jam dengan kendaraan bermotor. Jalur bukit bisa dijangkau dari dua arah, yakni Dusun Pulowatu dan kawasan wisata Kaliurang. Dari Pulowatu menuju Turgo berjarak 7 kilometer melalui jalan beraspal.
Pengunjung yang datang ke sana tak perlu membayar tiket masuk, tapi hanya membayar biaya parkir. Bukit Turgo dikelola berbasis komunitas untuk pemberdayaan masyarakat. Turgo dihuni 550 jiwa. Di sekitar bukit berdiri rumah-rumah penduduk yang sebagian dindingnya menggunakan batu kali yang didapatkan dari Sungai Boyong. Sungai ini berada di sebelah timur desa yang memisahkan Turgo dan Kaliurang.
Halaman rumah mereka luas, ditumbuhi rerumputan. Sapi-sapi perah menghuni kandang di bagian belakang rumah. Sebagian perempuan mengolah kopi dan teh dari kebun di sekitar rumah yang dijual kepada pengunjung. Teh Turgo beraroma harum dengan cita rasa segar ketika diseduh. Sayangnya di kawasan ini belum banyak warung makanan dan penginapan. Hanya ada satu warung makanan di dekat tempat parkir.
Wasi menyatakan sedikitnya jumlah pengunjung dipengaruhi oleh fasilitas wisata yang belum lengkap. Selain itu, belum banyak orang yang mengenal Bukit Turgo sebagai lokasi hiking. Keterbatasan fasilitas itu, misalnya, terlihat dari toilet yang hanya tersedia di sekitar tempat parkir.
Di sepanjang anak tangga menuju puncak tidak terdapat kamar mandi. Saya harus menahan diri ketika kebelet buang air kecil di tengah pendakian. Selain itu, tak ada tempat sampah dan lampu untuk penerangan saat gelap malam menyergap.
Pengelola wisata kini sedang mengusulkan alat pengeras suara yang dipasang di puncak sebagai bagian dari kewaspadaan. Dari pengeras suara tersebut, pengunjung bisa memperoleh berbagai informasi tentang Merapi.
Pengelola juga sedang menyiapkan paket-paket wisata untuk menarik minat pengunjung. Contohnya, paket wisata melihat keindahan hamparan kota dari puncak bukit selain keindahan Merapi. "Bagian dari inovasi wisata," ujar Wasi.
Saksi Erupsi Merapi
Bukit dan permukiman Targo menjadi saksi bencana letusan Merapi pada 22 November 1994. Erupsi menerjang permukiman yang berjarak 7 kilometer dari puncak Merapi itu. Sebanyak 68 orang tewas, puluhan warga luka-luka, puluhan sapi mati, dan rumah-rumah penduduk hancur. Puing-puing bangunan berlumut dan ditumbuhi tanaman paku-pakuan menjadi saksi keganasan awan panas.
Marjo Utomo, 90 tahun, mengenang perihnya letusan yang merenggut nyawa satu anaknya, seorang cucu, dan saudara kandungnya itu di rumahnya. Duduk di kursi roda, luka bakar karena awan panas membekas di sekujur tubuhnya. Kuping kirinya mengecil karena terbakar, yang membuat pendengarannya menurun drastis.
Ia satu di antara 20 orang yang selamat dari amukan Merapi. Pagi sebelum kejadian tersebut, Marjo sedang berada di rumah Sudirejo, kakaknya yang menghelat hajatan pernikahan anaknya. Puluhan orang berkumpul di rumah yang hanya berjarak selemparan batu dari rumah Marjo itu. Dari rumah Sudirejo, Marjo teringat pada sapi-sapinya yang belum makan. Mengenakan jas untuk persiapan pernikahan anak Sudirejo, Marjo, yang kala itu berusia 60 tahun, berjalan menuju rumahnya untuk bersiap memberi makan sapi.
Lalu Marjo mendengar gemuruh suara Merapi dan melihat kilatan di langit. Awan panas, atau orang Jawa menyebutnya wedus gembel, mengempaskan tubuhnya sejauh 100 meter di jalan. "Semua gelap. Saya tak sadarkan diri," ujar Marjo saat ditemui di rumahnya, Jumat, 19 April lalu.
Marjo Utomo dan Wagirah, korban selamat dari erupsi Gunung Merapi Tahun 1994 di rumahnya di Bukit Turgo di Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 19 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Rumah Marjo yang berdinding bambu hancur tak bersisa apa pun. Saat sadar, dia sudah di rumah tetangga yang menolongnya. Ia merasa tenggorokannya kering. Pasir material awan panas masuk ke mulutnya. Tetangganya kemudian memberikan seteguk teh tanpa gula.
Marjo kemudian diangkut ke Rumah Sakit Panti Rapih Kota Yogyakarta menggunakan truk pengungsi yang terkena dampak erupsi. Luka bakar di tubuh Marjo serius hingga dia harus mendapat penanganan intensif di Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito. Dia menjalani tujuh kali operasi kulit dan dirawat di rumah sakit selama hampir empat bulan.
Setelah selesai menjalani perawatan, Marjo menghuni tempat relokasi dari pemerintah. Tapi Marjo tak betah tinggal di sana. Dia kembali ke tempat tinggalnya karena harus mengurus istri dan anaknya yang masih bersekolah. Istri Marjo, Wagirah, selamat dari terjangan awan panas karena saat erupsi dia sedang berada di Pasar Pakem. Anaknya, Minah, juga selamat karena saat itu tengah berada di sekolah menengah pertama di Kabupaten Bantul. Dua anak Marjo lainnya selamat karena bekerja di luar Yogyakarta.
Marjo lalu membangun kembali rumahnya. Dia juga mendapat bantuan beras dan uang dari sejumlah kalangan untuk bertahan hidup. Marjo merasa harus kembali karena bagi dia tanah itu adalah warisan nenek moyangnya.
Kini Marjo tinggal bersama istri dan Minah beserta suaminya, Indra Baskoro Adi. Indra, yang juga peneliti bencana, mendampingi warga Turgo mengelola risiko bencana berbasis komunitas bersama Paguyuban Siaga Merapi setelah erupsi pada 1994. Contoh pengelolaan risiko itu adalah bagaimana warga harus mengevakuasi diri saat terjadi letusan, mengetahui jalur evakuasi, menuju titik kumpul, mengaktifkan sirene peringatan, dan menuju barak pengungsian.
Kisah para penyintas yang menghadapi awan panas, bertahan, dan melanjutkan hidup serta cara warga beradaptasi itu terdokumentasikan dalam buku berjudul Merapi Bertutur, yang ditulis Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, dan sejumlah peneliti lain. Eko banyak meneliti erupsi Merapi.
Dalam sejarah, letusan Merapi juga pernah terjadi di Turgo pada 1954 dan 1961. Kali Boyong menerima aliran lahar dan hujan abu dengan ketebalan 25 sentimeter. Pada tahun itu dibangun tempat pengungsian di Purwobinangun. Tak ada korban jiwa dalam dua kali erupsi tersebut.
Buku setebal 230 halaman itu diterbitkan Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan Indonesia pada 1999. Buku itu ditulis sebagai bagian dari kewaspadaan warga sehingga mereka bisa belajar dan tahu apa yang harus dilakukan saat Merapi kembali meletus. "Menjadikan kisah mereka sebagai pembelajaran," kata Eko.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Rubrik Perjalanan terbit setiap dua pekan. Kirim tulisan perjalanan Anda tiga bulan terakhir ke surat-e [email protected] dan cc ke [email protected]. Tulisan memakai teknik bertutur yang mengeksplorasi pengalaman personal dilengkapi data pendukung dan foto. Artikel setidaknya terbagi dua: satu tulisan utama dengan panjang maksimal 13.000 karakter dengan spasi dan satu tulisan pendukung maksimal 2.000 karakter dengan spasi. Jika masih ada tema unik terkait perjalanan bisa juga dipisah menjadi tulisan ketiga sepanjang maksimal 5.000 karakter dengan spasi. Lampirkan foto penulis, alamat, dan kontak.