Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Humor tidak mengamai devaluasi

Humor nampaknya semakin berkembang. pemerintah ikut turun tangan dengan mengadakan festival lawak nasional. hadir pula di bidang seni rupa dan film.

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUMOR nampaknya sedang disibukkan dengan serius. Coba saja lihat Setengah tahun terakhir ini saja di Jakarta ada empat kali lomba lawak, dan satu sayembara penulisan naskah lawak. Akhir Juli lalu Radio Universitas Kristen Indonesia menyelenggarakan lomba lawak, yang diikuti 72 peserta kelompok maupun perorangan. Lalu, untuk menyambut peringatan hari proklamasi nasional, Pasar Seni Ancol membuka lomba lawak Remaja. Lomba yang diadakan pada 17 dan 18 Agustus 1978 itu diikuti 34 peserta. Tak cukup dengan itu, pemerintah sendiri turun tangan untuk "meningkatkan pembinaan dan pengembangan" lawak. Direktorat Kesenian P&K merencanakan festival lawak nasional. Untuk itu DKI Jakarta terlebih dahulu memeloporinya. Festival Lawak DKI Jakarta Oktober yang lalu diikuti 60 peserta. Dan pertengahan Desember ini, salah satu acara dalam Pekan Humor ialah Lomba Lawak Mahasiswa. Yang mendapat peminat tak kurang seriusnya ialah Sayembara penulisan Naskah Lawak oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dibuka 23 Oktober dan ditutup 13 Nopember lalu, waktu yang tak ada sebulan itu memasukkan 122 naskah, yang akan diputuskan pemenangnya pekan ini. Ada apa ini? Tak seorang pun tahu. Humor pokoknya tak mengalami devaluasi. Ia tiba-tiba menyelip dalam beberapa kegiatan atau hasil karya, yang sebelumnya susah dibayangkan mengandung humor. Misalnya dalam sastra. Memang dulu ada hasil sastra yang sengaja menyuguhkan humor. Ingat saja yang disebut pantun jenaka, atau Hikayat Lebai Malang atau Si Kabayan. Atau kumpulan cerita pendek Teman Duduk atau Kawan Bergelut. Tapi karya sastra yang dianggap utama, misalnya Layar Terkembang atau Jalan Tak Ada Ujung, praktis tak mengandung humor. Berbeda dengan itu, karya yang terbit tahun 70-an tak sedikit penceritaan adegan atau beberapa percakapan yang disengaja mengundang tawa. Hasil pemenang sayembara naskah drama DKJ di antaranya ada yang berjudul Jaka Tarub, Ben Go Tun. Dua naskah yang menyediakan peluang cukup untuk ha, ha, ha, ha, hi, hi, hi, hi. Dalam Jaka Tarub, Nawangwulan si bidadari tidak kabur ke langit tapi pernah kabur ke Jakarta bersama seorang sutradara filem. Lakon Akhudiat ini memang sebuah parodi. Dalam Ben Go Tun diceritakan beberapa orang yang tunduk dan patuh pada perintah seorang jenderal yang kemudian baru ternyata hanya oknum dari rumah sakit jiwa. PERSEGI Bukan PERSAGI Tak cukup begitu, tampil pula novel-novel Putu Wijaya atau Yudhistira Ardi Noegraha. Juga beberapa cerita pendek yang ada di majalah-majalah. Dan puisi, terutama yang disebut "Puisi Mbeling" -- rubrik puisi dalam majalah Aktuil dulu -- agaknya memang disengaja main-main nakal. Jangan pula dilupakan bahan grrr-grrr dalam pementasan Rendra -- meski lebih diingat orang karena kritik-kritiknya. Juga pementasan-pementasan Teater Kecil-nya Arifin C. Noer. Dan mungkin yang paling tak diduga adalah hadirnya humor dalam karya seni rupa Pameran Seni Rupa Baru tahun 1975, kecuali menonjolkan kritik sosial, Juga humor. Ada patung Ken Dedes yang separuh tubuhnya seperti patung yang ada di candi dan separuh lagi bercelana jean. Kemudian Pameran PERSEGl, Persekutuan Seniman Gambar Indonesia (bukan PERSAGI yang Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Pameran ini mengetengahkan sejumlah gambar-gambar yang sebagian besar -- disengaja atau tidak -- memang lucu. Dalam Pameran PERSEGI akhir Maret 1978 yang lalu itu, ada gambar penampang ikan yang bagian-bagiannya antara lain bernama "kamar tunggu", "pengocok perut" dan di bawah gambar penampang ikan itu ada keterangan. "Isi di Luar Tanggung Jawab Ikan." Dalam pameran itu pula dibagi surat kabar yang bernama Surat Kabar. Rubriknya seperti juga koran-koran biasa Surat Kabar sempat terbit nomor berikutnya, sekitar Agustus lalu. Isinya: komentar atas komentar terhadap Pameran PERSEGI. Aneh-aneh. Misalnya ada kartun yang merekonstruksi kenapa salah sebuah resensi tentang Pameran PERSEGI di salah sebuah harian Jakarta bisa salah nama pengarangnya. Dunia filem pun tak ketinggalan berhumor. Salah satu filem terlaris tiga tahun terakhir ini ialah Inem Pelayan Seksi, Bahkan DKJ menyelenggarakan satu ceramah tentang filem-filem Nya' Abbas (sutradara Inem) yang judul ceramah itu Nya' Abbas Acub Tukang Ejek Nomor Wahid." Majalah sementara itu hampir semua menyediakan ruang untuk kartun dan artikel, lagu, puisi, kartun dan lain-lain. Tapi isinya "ngawur". Artikel tentang kewibawaan misalnya, dibuka demikian: "Kewibawaan dari kata wibawa ditambah awalan ke dan akhiran an. Jadi kewibawaan adalah kata benda abstrak." tulisan humor pendek-pendek. Surat kabar pun mempunyai ruang pojok yang isinya komentar peristiwa aktuil dengan gaya humor. Bahkan di tahun 1971 terbit majalah yang mengkhususkan diri berhumor. Dan Stop, majalah itu, masih bertahan sampai sekarang. Tahun 1974 terbit pula Astaga. Namun Astaga ini tak sampai lima nomor hidup -- mungkin karena humornya terlalu khusus, berbicara seputar seniman melulu. Tahun 1975 kembali Astaga terbit -- dengan pengasuh-pengasuh baru, antara lain Arwah Setiawan. Pun Astaga yang kemudian ini tak bertahan lama: bernafas (sambil geli) selama satu setengah tahun. Kok ternyata Arwah belum kapok atawa bosan. Orang ini yang masih sanak sama Bung Karno, adalah penulis rubrik "Komedi Masyarakat" dalam harian Sinar Harapan yang isinya satire politik (1968 - 1969). Ia lalu nekad, menjadi pemimpin redaksi majalah Astaga yang telah disebutkan terdahulu (1975-1976), untuk menyatakan bahwa "humor itu serius." Dalam ceramahnya tentang humor, Juli 1977, antara lain dikatakannya: "Ibarat masakan, humor baru dianggap bumbu penyedap. Kurang dipikirkan humor sebagai hidangan pokok penuh gizi." Dan kelanjutan dari ceramahnya soal gizi itu, empat bulan kemudian Arwah memprakarsai pertemuan untuk menjajagi kemungkinan adanya Lembaga Humor Indonesia. 11 Nopember siang, 15 orang dari berbagai profesi yang sebetulnya tak berhubungan langsung dengan humor, bertukar pendapat tentang sinyalemen Arwah bahwa ada semacam sistim kasta dalam kebudayaan kita, ialah yang ilmiah dianggap lebih terhormat daripada yang indah, dan yang indah lebih dihargai daripada yang lucu. Jelasnya ilmu lebih disanjung daripada seni, dan seni lebih diperhatikan daripada humor. Maka kata sepakat mereka ialah perlu dilancarkan upaya yang disengaja dan terkoordinasi guna meningkatkan humor. Artinya, Lembaga Humor Indonesia memang perlu ada. Dan setahun kemudian, 29 Nopember yang lalu, LHI di resmikan adanya. Tak tanggung-tanggung, LHI merasa perlu juga menemui Wakil Presiden Adam Malik untuk memperoleh bantuan bila memang diperlukan. Diwakili oleh para pengurusnya-Arwah sendiri, Krisbiantoro, S. Bagyo pelawak, GM Sudarta kartunis dan Bambang Utomo -- 5 Desember yang lalu mereka berbincang-bincang dengan Wapres. Lucu juga. Apa sih, tujuah LHI itu? Dalam konsep LHI yang diketik tak kurang 9 halaman folio dalam bab "Tujuan" yang dikatakan dalam satu kalimat saja -- dan karena itu merupakan kalimat panjang --singkatnya ialah, untuk "mengembangkan, meningkatkan, dan memperdalam humor, sehingga akan banyak membantu manusia Indonesia ke arah mencapai sikap budaya yang lebih paripurna." Kalimat ini tentu saja jelasnya begini: "Kita ingin melihat film, buku lebih berkembang, lebih bermutu. Demikian pun terhadap humor. Orang tentu sudah mempunyai kriteria sendiri, sehingga bisa membedakan mana humor yang baik, mana yang tidak. Kita bisa merasakan itu. Tapi kalau kegiatan bidang lain, seni dan ilmu pengetahuan, kegiatan apresiasinya sudah melembaga, humor belum." Jadi perlu ada kritik. Perlu ada pembahasan humor yang mendalam, agar "perkembangan humor tak terhambat." Ini untuk menjawab keluhan masyarakat: bahwa humor Indonesia kok itu-itu saja, yang menurut konsep LHI bukan salah para humoris saja. Para humoris tak pernah mendapatkan informasi atau pegangan bagaimana mengembangkan humornya, begitu pleidooinya. Bahwa orang memerlukan kritik, atau diskusi tentang humor, bisa dilihat dari gelisahnya para humoris sendiri: mereka rata-rata tak puas dengan lelucon yang selama ini berjumpalitan di Republik. Dengar misalnya suara Dwi Koendoro, 37 tahun, yang gagal membuat film kartun karena pemesan tak kunjung muncul, kemudian menggantungkan hidupnya dari membuat kartun. Kini ia sudah nongkrong di Gramedia Film. Ini kritiknya: "Saya kurang senang kartun yang Isinya sindiran saja. Itu cuma lelucon. Saya senang kartun yang mengajak tertawa dan berpikir." Ia menyayangkan kartunis Johny Hidayat yang coretannya seenaknya saja. "Tapi dia saya anggap sudah menyatu dengan masyarakat. Atau mungkin kartunis macam Johny itulah yang tepat untuk masyarakat kita kini." Pendapatnya disetujui oleh "bapak"nya "Oom Pasikom" dari Kompas, ialah GM Sudarta, 30-an. Oom ini jebolan "Asri" Yogyakarta. Ia sekarang bekerja sebagai illustrator harian apalagi kalau bukan Kompas. Ia melihat bahwa kartun-kartun yang bertebaran di majalah-majalah kita kurang bermutu. Tapi dengan sopan ia tambahkan itu tergantung bobot majalahnya juga. Apa kata Johny Hidayat, 36 tahun, yang hidup dari mencipta kartun dan berpenghasilan rata-rata Rp 400 ribu sebulannya "Humor kartun yang baik nemang tak usah pakai teks. Tapi itu sulit." Tentu saja. Apalagi bagi si John yang harus melahirkan 30 kartun rata-rata sehari. Dan menurut penilaian dia, "kartun sekarang yang itu-itu juga." Tapi ia senang perhatian masyarakat meningkat. Buktinya? "Sekarang ini ada iklan humor, ada permintaan brosur humor." Yang tak disebutnya: ada juga penghasilan humor. Seorang kartunis muda misalnya bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 50 ribu sebulannya. Namanya Iskandar Buchori, yang berpendapat: "Sekarang semua kartunis mikirin duit melulu." "Mikirin duit" mungkin kuat tendensinya di dunia lawak. Tapi di sini pun kegelisahan mencari terdengar pula. Budi SR jebolan Srimulat yang sekarang membentuk kelompok ludruk di Pasar Seni Ancol juga ikut menilai lawak sekarang. "Memang banyak pelawak baru muncul. Tapi lawakannya kasar-kasar. Banyak sekali unsur seksnya ditonjolkan." Tapi ia pun menambahkan: "Tapi barangkali sekarang ini memang yang diinginkan orang begitu." Tapi (sekali lagi tapi) menurut penilaian seorang anggota kelompok ludruk di Surabaya, Markaban, "Kemampuan melawak kita ini belum ada yang benar-benar hebat. Jadi harus punya partner dalam melawak, agar kekurangan yang satu bisa ditambal yang lain." S. Bagyo, lahir di Purwokerto 1933, yang agaknya bisa disebut pelawak yang tahan zaman, rupanya juga tak puas. Mungkin karena itu ia bilang: "Jangankan mengritik masyarakt, pelawaknya sendiri perlu dikritik." Cup, cup, cup. Syahdan, menurut Krisbiantoro, di luar negeri (tentunya negara-negara tertentu, seperti misalnya Amerika Serikat) "sejak gelandangan sampai presiden bisa dijadikan bulan-bulanan untuk humor." Agaknya ia mensinyalir sebab-sebab keterbatasan fundamental dari humor kita situasi dan kondisi yang tak begitu longgar. "Di Indonesia ini mana ada surat kabar yang melukiskan kepala negaranya dengan aneh-aneh."Tapi selain itu ia menganggap kemampuan publik menangkap humor masih terbatas. Seperti dikatakan Bagyo juga: "Dikasih sedikit satire saja sudah jarang yang mau ketawa." Memang tak bisa disalahkan kalau kemudian bahan humor terbatas. Dan lalu bisa disaksikan kalau larinya ke seks dan sadis. Itu diakui oleh Bagyo. Kalau sudah kepepet, ceritanya, yah keluarlah seks, keluarlah pukul-memukul rekan dan sejenisnya. Mungkin soalnya bukan seks atau non-seks. Seperti kata Markaban: "Sekarang ini bicara soal kondom dan spiral 'kan tidak cabul lagi." Masalahnya ialah bagaimana cara membicarakannya itu. Bagaimana caranya, yah kita sendiri tidak tahu. Maka baik juga kalau kita menjenguk ke Galeri Baru TIM, dalam rangka Pekan Humor ini, 5 - 18 Desember 1978. Misalnya kartun dinding mahasiswa Seni Rupa ITB. Banyak yang lucu, tapi jika anda mahasiswa ITB dari generasi tertentu. Sifatnya agak kurang umum. Salahkah cara humor ini? Belum tentu. Humor sering berhasil justru karena tidak "universil", untuk semua masa dan semua tempat. Bagyo misalnya, tak jarang kalau hendak melawak di suatu tempat menyelidiki dulu apa yang terjadi akhir-akhir itu di tempat penontonnya. Humor seks yang tidak lucu untuk anda mungkin lucu untuk mertua anda. Itu tidak berarti kita tak perlu "pembahasan humor" -- antar para humoris, sekurang-kurangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus