Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Busan jadi perbincangan para traveler sejak ditayangkan film horor Train to Busan pada 2016 silam. Kini, Busan nyaris sama populernya dengan Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Busan meraih popularitasnya saat Perang Korea. Kota di pantai tenggara Semenanjung Korea yang menghadap Jepang itu, adalah satu dari dua kota di Korea Selatan yang tidak direbut oleh Korea Utara selama Perang Korea 1950-53. Akibatnya, kota itu menjadi tempat berlindung bagi pengungsi dan pintu gerbang bagi pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertempur di Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Pertempuran sebenarnya tidak pernah berhasil sampai ke Busan,” kata John Bocskay, penulis buku CultureShock! Korea sekaligus Direktur Urusan Internasional PBB. Busan dalam keadaan terkepung, aliansi Korea Utara dan Cina telah menduduki wilayah sekitar 30 mil di luar Busan. Kota itu menjadi benteng terakhir Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta pasukan PBB.
Lebih dari 60 tahun setelah Perang Korea, Busan telah tumbuh menjadi kota terbesar kedua di Korea Selatan, dengan populasi 3,7 juta orang, menurut Organisasi Pariwisata Busan.
Busan kini menjadi kota bisnis sekaligus pariwisata. Ia tumbuh sebagai kota dengan pelabuhan kontainer tersibuk keenam di dunia dan pelabuhan transshipment terbesar ketiga di dunia. Di sektor MICE, (Meeting, Insentif, Konferensi, Pameran), Busan berada pada peringkat ketujuh secara global. Hal itu dihitung dari jumlah pertemuan atau konferensi yang diadakan di kota itu. Bahkan dalam dunia MICE, Busan merupakan satu-satunya non-ibu kota dalam daftar 10 besar kota MICE.
Di Asia, Busan menempati urutan keempat di samping Singapura, Seoul, dan Tokyo sebagai destinasi MICE. Menurut Bocskay, sebagaiman adinukil dari Business Traveller USA, Busan merupakan kota terencana dan ditata dengan baik, sesuai masterplan.
"Meskipun tumbuh menjadi metropolitan, Busan masih memiliki sedikit karakter desa pegunungan dengan jalan berliku, sudut, dan celah di mana-mana tempat orang menetap setelah perang," ujar Bocskay.
Kota ini memberi kebebasan visa kepada warga dari 117 negara. Lalu ada 12 penerbangan (durasi 50 menit) per hari dari Bandara Internasional Incheon dan 60 penerbangan jarak serupa dari Bandara Internasional Gimpo. Jika Anda lebih suka naik kereta, ada sekitar 58 kereta SRT berkecepatan tinggi harian dari Stasiun Suseo dan 120 kereta KTX berkecepatan tinggi harian dari Stasiun Seoul.
Singapore Airlines Silkair meluncurkan penerbangan nonstop ke Busan, memberikan kota itu koneksi udara langsung pertamanya ke Singapura. Layanan empat kali seminggu beroperasi pada hari Senin, Rabu, Jumat dan Sabtu menggunakan pesawat Boeing 737-800.
Menemukan akomodasi yang cocok juga jauh lebih mudah akhir-akhir ini, dengan lebih dari 53.000 kamar tersedia. Harga hotel bintang lima biasanya berkisar antara US$140- US$300 per malam, bintang empat seharga US$100- US$140 dan bintang tiga hanya seharga US$60- US$100.
Pada tahun-tahun mendatang, Busan akan mendapatkan beberapa fitur ikonik baru. Pada tahun 2021, Pusat Seni Internasional Busan dengan 2.000 kursi akan dibuka. Lalu pada tahun 2022 akan dibuka Gedung Opera Busan yang berkapasitas 2.100 kursi. Pada tahun yang sama juga akan ada peluncuran Busan Lotte Town senilai US$385 juta, yang menampilkan skywalk, dinding panjat tebing, dan taman hiburan anak-anak.