Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Mencari badut nasional

Pada malam festival lawak nasional i, yang diselenggarakan oleh direktorat pengembangan kesenian p & k di tmii terlihat bahwa dalam dunia lawak selama ini unsur pantomim tidak berkembang. (hb)

3 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang tidak berkembang dalam dunia lawak kita selama ini. 20 Januai lalu, pada malam final Festival Lawak Nasional I (diselenggarakan Direktorat Pengembangan Kesenian P & K, di Taman Mini Indonesia Indah), terlihat satu hal yang mengingatkan orang pada kemungkinan yang selama ini terlupa masuknya unsur pantomim. Ini memang sangat jarang atau hampir tak pernah dilaksanakan para badut Indonesia -- kecuali pelawak seperti misalnya Gino dari Yogya. Malam itu sebuah grup yang juga dari Yogya, tampil meraih kejuaraan dengan menggali kelucuan yang tak habis-habis darl gubahan yang memang asli. Mereka bikin adegan "mengetik". Satu per satu ketiga orang itu menjepit tutup gelas dengan dua jari kaki (dijepit pada tomioi tutup yang kecil itu), diketuk-ketukkan ke lantai untuk suara mesin. Mesin itu sendiri tak ada, hanya diwakili gerakan -- tapi gelas yang ditarok di meja, pada saat-saat yang tepat dipukul dengan sendok untuk mendapat bunyi "ting! " Pekerjaan itu, yang dilakukan dengan berbagai variasi --misalnya sampai tubuh terputar-putar dan mesin tiba-tiba menjadi " besar" -- dicampur pula dengan omongan. Mengingatkan pada pantomim Eropa, bukan? Tapi baiklah Mereka terhitung membawa "pola baru", seperti juga dikatakan Arwah Setiawan, seorang juri, meskipun belum begitu bersih. Belum efisien dan terfokus, sedang ulah tubuh maupun mimik kelihatan helum dianggap penting. Meski begitu cukup menarik bahwa mereka, yang kemudian menjadi juara I untuk kelompok (terdiri dari Tri Sudarsono dari IKIP Sastra Inggeris, Eko Sutrisno dari Teknik Sipil UGM dan Teguh Constantinus dari F.konomi IKIP Sanata Dharma), mengaku punya pengalaman main drama. Juga mereka datang ke Jakarta siap dengan empat naskah lawak -- yang sudah pula dicoba di depan beberapa pelawak Yogya. Singkatnya, mereka kira-kira "pelawak kontemporer" -- yang diidamkan oleh para penggerak lawak sebangsa Arwah Setiawan atau kalangan DKJ atau P & K. Sebab memang, dunia lawak selama ini seperti hanya diisi dengan permainan putar balik kata-kata, di samping faktor sosok yang aneh (dan lucu) dari sang badut. Tak jarang sosok tubuh itu sediri digunakan sebagai obyek "ejekan" dalam badutan. Grup Prambors kemudian mencoba membaharui dengan unsur cerita yang lebih baik, yang mengandung kritik bahkan pornografi. Sedang DKJ membuka lomba naskah lawak -- yang di dunia Barat misalnya merupakan bahan sangat pokok bagi badutan yang segar. Charlia Chaplin Dengan naskah, beberapa keuntungan terlihat. Jalan cerita maupun kalimatkalimat yang kocak namun arif misalnya, bisa diberi ancar-ancar lebih dulu Juga satu hal negatif terhindar jatuhnya lawakan (yang berbahasa Indonesia) ke dalam dialek dan bahkan bahasa daerah -- dalam kadar yang keterlaluan, seperti banyak terjadi selama ini. Itu pula barangkali sebabnya mengapa final festival nasional ini juga menilai unsur 'penggunaan Bahasa Indonesia yang baik'. Terasa tidak relevan, bukan? Tapi Lukman Ali, dari Lembaga Bahasa Nasional yang ditugasi mujurii bidang ini, menerangkan yang dimaksud ialah balasa Indonesia yang tidak mengobrak abrik tata bahasa, tapi dikaitkan dengan humor, dan bukan bahasa buku. Dengan kata lain bahasa sehari-hari yang akrab dan lucu, boleh juga memasukkan aksen daerah, tapi kelihatan bahwa yang mmakainya tahu berbahasa Indonesia dengan bagus. Di sini kelihatan bahwa badut seperti Joni Gudel misalnya, tak akan masuk. Apa boleh buat. Sebab, "selama ini ada anggapan, lawakan hanya bisa lucu kalau memakai bahasa atau logat daerah. Maka ini merupakan eksperimen menarik, yang akan terlihat keperluannya nanti," kata Arwah. Tapi bagaimana dengan Joni Gudel tadi, atau pelawak sebangsanya yang masih aktif? Ternyatalah, festival ini jadinya bertujuan untuk mengurangi tendensi bahasa daerah yang belebihan, dan bukan menyeragamkan jenis seluruh badut. Meskipun orang masih bisa berkata: melihat saratnya bahasa Jawa dalam lawakan kita (lihat misalnya di TVRI), soalnya sebenarnya ialah tambahlah lawakan dengan bahasa daerah yang lain. Tapi kegiatan ini diikuti 17 propinsi -- dengan 7 perseorangan dan 15 kelompok. Tentulah tidak harus dicari juri dari daerah masing-masin g-- agar bisa menangkap nilai humornya berdasar "citarasa daerah." Jadi, sadar atau tak sadar, "standar nasional" untuk tujuan seperti itu diperlukan. Dan faktor bahasa selalu menimbulkan problim memang, di mana-mana. Tapi di sinilah tiba-tiba kita teringat kembali keampuhan pantomim -- yang jangkauannya tidak hanya nasional. Bukankah Charlie Chaplin itu cukup universil?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus