Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Sejarah Tumbuhnya Kampung Ketandan Menjadi Pecinan di Yogyakarta

Kampung Ketandan di Kota Yogyakarta berkembang menjadi pecinan (Chinatown) bermula dari hijrahnya Kapiten Tan Djin Sing dari Kedu ke Yogya.

22 Februari 2018 | 13.43 WIB

Pelangi Nusantara di Pekan Budaya Tionghoa
Perbesar
Pelangi Nusantara di Pekan Budaya Tionghoa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Ketandan di Kota Yogyakarta berkembang menjadi pecinan (Chinatown) bermula dari hijrahnya Kapiten Tan Djin Sing dari Kedu ke Yogya. Menurut Gotama Fantoni, salah satu tokoh Tionghoa setempat, kepindahan itu terjadi pada 1803.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tan Djin Sing adalah sosok yang disegani kala itu,” ujar Fantoni, Rabu, 21 Februari 2018. Karena itu, oleh Sultan Hamengku Buwono III, dia dipercaya dan diangkat sebagai Bupati Nayoko pada 18 September 1813.

Keraton pun memberikan gelar khusus kepada Tan Djin Sing, yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Setjadiningrat. “Tan Djin Sing juga menikahi kerabat keraton Yogya dan menjadi salah satu keturunan Tionghoa yang mulai masuk Islam,” katanya.

Dengan pernikahan itu, Tan Djin Sing merupakan salah satu dari tiga keturunan Tionghoa yang masuk lingkungan keluarga keraton dengan nama trah Setjadiningrat. Dua warga Tionghoa lain yang juga masuk lingkaran keluarga keraton adalah trah Honggodrono dan trah Kartodirjo.

Kiprah kesejarahan Tan Djin Sing ini menjadikan Kampung Ketandan populer. Ketandan dalam bahasa Jawa memiliki arti “tanda” atau “simbol”.

Hingga kini, Ketandan, yang tak jauh dari kawasan Malioboro, populer dan menjadi salah satu tanda adanya akulturasi di Yogyakarta. Rumah-rumah dengan arsitektur khas Tionghoa yang berpadu dengan kebudayaan Jawa juga masih terdapat di kampung ini.

Di Ketandan inilah saban tahun digelar Pekan Budaya Tionghoa, dan tahun ini memasuki periode yang ke-13. Gotama Fantoni selalu aktif dalam kepanitiaan pekan budaya ini.

Namun perhelatan itu lahir berkat jasa seorang dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada bernama Moerdijati Gardjito. Pada 2005, Moerdijati, yang tengah menggarap tesisnya, memiliki ide membuat sebuah buku resep masakan khas Tionghoa.

Banyak diskusi yang diadakan dan akhirnya usaha itu mendapat dukungan penuh dari Raja Keraton, yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Kebetulan, saat itu Sultan sedang menggagas sebuah konsep City of Tolerance ke publik, namun masuknya dengan mengusung keberagaman budaya, termasuk kuliner,” katanya.

Ide Moerdijati itu pun didukung Sultan HB X dan warga Ketandan, yang diwujudkan dengan Pekan Budaya Tionghoa Yogya (PBTY), yang pertama kali diadakan tahun 2006.

Pada awalnya ini hanya berupa festival kuliner dan menu khas Tionghoa. Namun, atas inisiatif Sultan dan para panitia yang tergabung dalam Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC), PBTY tak lagi hanya soal kuliner, tapi juga meluas ke bidang budaya.

Selain itu, kegiatan ini menjadi rangkaian perayaan Imlek dan menyambut Cap Go Meh. Acara selalu berlangsung meriah dan menyedot perhatian warga.

Gelaran ini akhirnya ditetapkan menjadi event resmi pariwisata tahunan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pekan Budaya Tionghoa Yogya tahun 2018 digelar pada 24 Februari-2 Maret 2018 dengan mengusung tema “Harmoni Budaya Nusantara”.

Tulus Wijanarko

Tulus Wijanarko

Wartawan senior dan penyair.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus