Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Belakangan ramai pro kontra soal pembangunan perumahan buruh melalui program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera. Salah satunya tentang potongan sebesar 2,5 hinga 3 persen gaji bulanan pekerja dengan hasil akhir simulasi program yang dinilai tak relevan atau menutupi harga rumah atau tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY sendiri, ada sebagian tanah yang berstatus tanah kasultanan atau biasa disebut Sultan Ground, yang dimiliki dan dikelola Keraton Yogyakarta. Lantas, apakah tanah Sultan Ground bisa digunakan untuk Tapera itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Tanah Sultan Ground kan tidak bisa diperjualbelikan, kecuali kalau sewa, itu masalah lain," ujar Raja Keraton yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Senin 10 Juni 2024.
Kepemilikan dan pengelolaan tanah Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebutkan dalam pasal 32, bahwa Tanah kasultanan atau Sultan Ground terdiri dua jenis, yaitu tanah keprabon dan bukan keprabon yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY.
Tanah keprabon merujuk tanah yang di atasnya telah digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya. Seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, makam Raja di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo hingga alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan.
Sedangkan Tanah Kasultanan yang termasuk jenis tanah bukan keprabon terbagi lagi menjadi dua bagian. Pertama tanah yang digunakan lembaga dengan hak adat/hak pakai seperti untuk membangun kampus, rumah sakit, dan lembaga publik. Kedua tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak.
Terkait kemungkinan Sultan Ground atau tanah Kasultanan digunakan untuk program Tapera itu, Sultan mengisyaratkan butuh pembahasan tersendiri. Karena status tanah Kasultanan yang oleh undang-undang nomor 13 tahun 2012 tidak diperkenankan diperjualbelikan. "Soal bisa tidaknya (tanah Kasultanan untuk Tapera) perlu dibicarakan," ujar Sultan.
Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia atau MPBI DIY, Irsad Ade Irawan sebelumnya menilai jika Tapera diterapkan di Yogyakarta akan sulit mencapai harapan yang diinginkan alias rumah layak bagi buruh.
Hal ini karena program itu membebankan potongan gaji buruh yang dinilai masih sangat rendah di Yogyakarta dan harga tanah yang melambung naik dari tahun ke tahun.
"Dari perhitungan kami setiap tahun dari potongan (gaji untuk Tapera) itu hanya dapat sekitar Rp 700 ribu atau Rp 15 juta setelah 20 tahun (program Tapera), kalau dipaksakan (bangun rumah) hanya seperti pos ronda dengan uang itu," kata dia.
Pilihan editor: Alasan Sultan HB X Ingin Penanaman Kopi Gencar di Lereng Merapi