Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya, pertemuan ahli hukum dari enam negara itu bersifat kolokiumsebuah kelas atau grup diskusi. Tema yang diangkat juga kontekstual, From Insult to Slander: Defamation and the Freedom of the Press. Inilah wacana yang dibicarakan sejumlah praktisi dan ahli hukum pers dalam acara yang digelar Yayasan Aksara dan Dewan Pers, 28-29 Juli lalu di Jakarta.
Wacana ini tak cuma pas dengan kondisi lokal akibat adanya sejumlah persidangan terhadap media massa dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lebih dari itu, topik ini juga sedang menjadi perdebatan hangat di Belanda, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat.
Sebagai ilustrasi, defamation (secara harfiah: proses penurunan reputasi seseorang), yang lebih populer dengan sebutan "pencemaran nama baik", sebetulnya masih tergolong konsep baru di sejumlah negara. Di Jepang, misalnya, kasus pertama yang mendapat perhatian publik mengenai pencemaran nama baik oleh pers baru muncul di tahun 1961. Saat itu seorang politisi terkemuka, Hachiro Arita, menuntut novelis pemenang Nobel, Yukio Mishima, atas novelnya yang berjudul Utage No Ato (versi Inggris, After the Banquet).
Arita menggugat karena sangat yakin plot cerita di novel itu bersumber dari kehidupan perkawinannya. Dalam kultur Jepang, kehidupan perkawinan seseorang sangatlah puraibashii (dari bahasa Inggris, privacy)hal yang sangat tabu dipublikasikan. "Meskipun konsep puraibashii sebenarnya mulai dikenal masyarakat Jepang sejak tahun 1920-an," ucap Masao Horibe, pembicara di hari kedua seminar. Horibe adalah profesor hukum di Chuo University, yang mengajar hukum komparasi, hukum media, dan hukum informasi selama lebih dari 30 tahun di Universitas Hitotsubashi, salah satu perguruan tinggi tertua di Jepang.
Sedangkan Jan Marinus De Meij, profesor hukum di Universitas Amsterdam dan pakar hukum media, mencoba menarik kaitan antara konsep defamation dan sejarah pergerakan nasional Indonesia. Dia memberi contoh peristiwa munculnya majalah Indonesia Merdeka!, yang diterbitkan oleh proklamator Mohamad Hatta dan kawan-kawan. Di mata pemerintah kolonial ketika itu, gerakan Hatta ini digolongkan dalam kategori defamation. Akibatnya, pemerintah kolonial menyidangkan Hatta di pengadilan Den Haag pada tahun 1928. Untung saja, Hatta dibebaskan karena tak terbukti melakukan aktivitas yang "merusak nama baik" pemerintah kolonial.
Cukup menarik, ketika para pembicara seminar mulai menyentuh kasus-kasus pers di Indonesia, topik ini mengerucut menjadi semacam telaah ringkas atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang-Undang Pers). Di antara para pembicara, muncul polarisasi pendapat soal keabsahan klaim bahwa Undang-Undang Pers itu bersifat lex specialis, yakni seperangkat aturan hukum yang eksklusif, menyeluruh, dan diterapkan untuk seluruh aktivitas media cetak dengan mengesampingkan perangkat hukum lainnya.
Inti Undang-Undang Pers sendiri sebenarnya tak lain adalah bahwa negara tak bisa lagi memasung dan mematikan perusahaan pers. Lantas, pihak yang merasa tak puas dengan liputan media berhak memberikan hak jawab, dan media terikat kewajiban untuk memenuhi hak itu. Undang-undang ini juga menjadi fondasi bagi terbentuknya Dewan Pers, lembaga yang berperan sebagai pengontrol etika profesional kalangan jurnalis.
Namun, Ketua Dewan Eksekutif Aksara, Nono Anwar Makarim, termasuk yang tidak setuju dengan sebutan itu. "Undang-Undang Pers bukan lex specialis," ujarnya tegas. Ia berpendapat Undang-Undang Pers masih merujuk pada undang-undang lain yang masih bisa diterapkan untuk media. Alasannya, Pasal 19 tentang ketentuan peralihan di Undang-Undang Pers sendiri menyebutkan bahwa "segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini."
Alasan kedua adalah bahwa fenomena yang disebut sebagai "serangan pers" (press offences) yang dinisbatkan pada sekelompok orang seperti penulis, penyunting, pihak percetakan, sampai penerbit sesungguhnya tak pernah eksis sebagai sebuah konsep hukum. Istilah itu digunakan secara longgar untuk penulisan yang mungkin saja dilakukan pihak lain dengan menggunakan media cetak. Dalam hal ini, media cetak bukan menjadi prasyarat, melainkan hanya bersifat insidental untuk munculnya "serangan" itu.
Namun, yang lebih fatal, kata Nono, bentuk Undang-Undang Pers sekarang yang mencakup semua hal keliru yang mungkin dilakukan pers merupakan diskriminasi terhadap kepentingan publik. "Itu menyalahi prinsip kesetaraan di depan hukum," kata dia.
Doktor lulusan Sekolah Hukum Harvard ini menilai Undang-Undang Pers tidak memenuhi syarat untuk bisa disebut dengan apa yang dikenal hukum internasional sebagai self-contained regimes. Sebaliknya, Undang-Undang Pers memiliki kesamaan dengan perangkat hukum abad ke-19, Reglement op de Drukwerken, yang secara sederhana dikenal dalam teks-teks hukum sebagai droit de réponse (hak jawab).
Penilaian seperti ini jelas ditampik Hinca Panjaitan, Direktur Eksekutif Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (B2HA) Kemerdekaan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), serta Amir Effendi Siregar, Sekretaris Jenderal SPS. Hinca dan Amir dikenal sebagai dua tokoh terdepan dalam mengkampanyekan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis. Mereka gigih memperjuangkan penggunaan undang-undang ini dalam setiap kasus yang melibatkan insan dan organisasi pers. "Justru karena undang-undang ini dibuat secara khusus untuk menjamin kemerdekaan pers, sifatnya menjadi lex specialis," ujar Hinca.
Mengutip teori Bill Kovach dan Tom Rossentiel tentang fondasi jurnalistik dalam buku terkenal mereka, Nine Elements of Journalism, Hinca mengingatkan bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah mengungkap kebenaran. Praktisi media pun, kata dia, harus merasa bebas dalam mengikuti nurani mereka. "Itu berarti secara teoretis dan yuridis Undang-Undang Pers ini adalah lex specialis."
Argumen lain Hinca adalah, dari sisi kesejarahan dan politis, Undang-Undang Pers ini lahir sebagai produk hukum setelah tumbangnya era Orde Baru yang otoriter. Dengan asumsi itu, Hinca melihat penggunaan KUHP untuk menghadapi aktivitas jurnalistik merupakan sikap a-historis.
Sementara itu, Amir dengan lebih tandas menyatakan cuma melihat dua jenis pengacara dan hamba hukum, yaitu mereka yang melihat Undang-Undang Pers sebagai lex specialis dan yang tidak menganggap undang-undang itu sebagai lex specialis. "Untuk jenis yang pertama, saya menyebut mereka sebagai progresif. Untuk yang kedua adalah kalangan konvensional dan ortodoks," tuturnya.
Pendapat yang lebih moderat disampaikan oleh Morris Lipson, wakil dari Article 19, sebuah organisasi non-pemerintah yang bermarkas di London, Inggris, yang dikenal sebagai salah satu bidan kelahiran Undang-Undang Pers. "Undang-Undang Pers itu baik, tapi agak sulit disebut lex specialis. Untuk penerapan dalam kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sekarang ini, kami merekomendasikan perubahan yang lebih menyeluruh pada KUHP," kata Lipson.
Perubahan KUHP itu pula yang ditawarkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan saat berbicara di hari pertama. Ia memberi contoh masalah pidana yang tidak terkandung dalam Undang-Undang Pers. Menurut Bagir, bila pers merasa perlu mendapat pelayanan khusus dalam masalah pidana, bisa diadakan perubahan pasal-pasal dalam KUH Pidana atau, sebaliknya, dimasukkan dalam Undang-Undang Pers. "Sekarang ini kita sedang menyiapkan KUH Pidana yang baru. Mengapa di sana tidak kita perjuangkan agar hal itu dapat dimasukkan?" kata Bagir.
Akmal Nasery Basral, Khairunnisa (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo