Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar, dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dijemput paksa Polda Metro Jaya pada 18 Januari 2022 lalu. Kepolisian menyatakan penjemputan paksa keduanya telah memenuhi prosedur yang berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Untuk kepentingan penyidikan, saksi HA dan FA dua kali tidak hadir dengan alasan yang tidak patut dan wajar, dan sesuai mekanisme pada KUHAP," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Auliansyah Lubis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Meskipun demikian, istilah penjemputan atau pemanggilan paksa sebenarnya tidak tertera di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dilansir dari peradi-dpcsurabaya.or.id, istilah yang ada di KUHAP adalah “dihadirkan dengan paksa”. Penjemputan paksa pun juga perlu dimaknai secara berbeda dengan penangkapan. Penjemputan paksa dilakukan setelah pemanggilan yang dilakukan sebanyak dua kali tidak terpenuhi. Sementara itu, penangkapan dapat dilakukan tanpa melakukan pemanggilan terlebih dahulu.
Pasal 112 ayat 2 KUHAP mengatur bahwa orang yang dapat dijemput secara paksa adalah tersangka atau saksi. Pasal tersebut berbunyi: “Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”. Karena itu, tersangka maupun saksi yang tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali akan dijemput secara paksa.
Indikator lain yang perlu mendapat perhatian adalah unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk menjemput paksa seseorang. Dalam Pasal 17 KUHAP, penjemputan paksa seseorang harus diawali dengan bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana.
Adapun perihal bukti permulaan yang cukup diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa hakim tidak boleh “... menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
BANGKIT ADHI WIGUNA