Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIAN Susanti (bukan nama sebenarnya) sungguh menggemaskan. Terbaring di sebuah kamar Yayasan Pelita Ilmu di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ia tampak sehat dan montok. Saat TEMPO menjenguknya Rabu pekan lalu, bola matanya yang jernih bergerak-gerak. Alisnya yang tebal ikut turun-naik. Baru berusia tiga bulan, Dian berpipi tembem, membuat orang ingin mencubitnya.
Melihat kelucuannya, orang tak akan menyangka bahwa Dian mengidap HIV (human immunodeficiency virus), virus yang mematikan dan belum ada penawarnya. Yang lebih mengenaskan lagi, ia juga menjadi korban praktek perdagangan bayi yang belakangan terbongkar. Dian sempat dijual ke Singapura sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke Jakarta karena terinfeksi HIV.
Pembelinya? Seorang wanita bernama Brenda, 37 tahun, yang tinggal di Singapura. Ia mendapat kiriman bayi dari Nyonya Aiwah di Jakarta dengan harga sekitar Rp 30 juta, lewat Nyonya Tan yang menjadi perantara di negara itu. Duit tersebut baru dibayar jika Dian bisa diadopsi. Hanya, rencana Brenda untuk mengadopsinya kandas gara-gara Dian terkena HIV. Ini terungkap setelah si bayi menjalani tes kesehatan di Singapura. Di Singapura memang berlaku aturan, setiap bayi yang akan diadopsi harus bersih dari penyakit berbahaya.
Demi menyelamatkan Dian, Nyonya Brenda akhirnya memutuskan mencari yayasan di Jakarta yang bersedia menampungnya. Setelah menghubungi banyak pihak, akhirnya ia menemukan Yayasan Pelita Ilmu, yang sanggup merawatnya. Tapi rencana ini didengar oleh aparat Departemen Sosial dan juga kepolisian. Karena mencium adanya praktek perdagangan bayi, mereka pun sepakat menjebak Nyonya Aiwah dan Nyonya Tan.
Kebetulan, Brenda akan bertemu lagi dengan Nyonya Tan dan Aiwah untuk pembatalan transaksi tersebut. Sebagai ganti rugi, Tan meminta uang Rp 22,5 juta. Menurut Agus Sulaeman dari Yayasan Pelita Ilmu, uang itu sebagai pengganti pengiriman dan perawatan bayi. Brenda pun sepakat. Maka, diaturlah pertemuan di Hotel Mulia, Kamis beberapa pekan silam. Rencananya, dalam pertemuan itu Nyonya Brenda akan menyerahkan bayi kepada Yayasan Pelita Ilmu sekaligus memberikan uang kepada Nyonya Tan dan Aiwah. Itu sebabnya Agus Sulaeman juga hadir saat itu.
Penjebakan berjalan mulus. Seregu reserse dari Satuan Remaja, Anak, dan Wanita Kepolisian Daerah Metro Jaya langsung menangkap Nyonya Aiwah dan Tan saat bernegosiasi dengan Brenda. Mungkin kurang paham skenario yang tengah dirancang polisi, Nyonya Brenda sempat kaget dan bergegas menuju lantai 20 Hotel Mulia, tempat ia menginap. "Di bawah telah terjadi penangkapan," kata Brenda seperti ditirukan Agus Sulaeman.
Dari hasil pemeriksaan, polisi menyatakan Aiwah dan Tan merupakan bagian dari jaringan sindikat perdagangan bayi ilegal ke Singapura. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Irjen Makbul Padmanagara, Tan bertugas mendistribusikan atau menjual bayi-bayi dari Indonesia ke negeri tetangga. Untuk mendapatkan bayi-bayi yang masih berusia bulanan, para peminat mesti merogoh kocek dari Rp 30 juta sampai Rp 35 juta. Pembayaran dilakukan setelah terbit administrasi adopsi yang sah.
Sebelum diperdagangkan oleh Aiwah, rupanya Dian sudah melewati banyak tangan. Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Mathius Salempang, awalnya ada seorang wanita yang menyerahkan bayi ini kepada Nyonya Lily, 48 tahun. Dian lalu dibeli Lily dengan harga amat murah, Rp 5 juta. Si bayi kemudian jatuh ke tangan Nyonya Aiwah dan diteruskan kepada koleganya, Nyonya Tan, di Singapura. Dari tangan Ny. Tan inilah Brenda mendapatkan Dian.
Tak cuma sekali sindikat Nyonya Aiwah menjual bayi. Salempang mengungkapkan, sejauh ini mereka sudah lima kali menjual bayi. "Tiga kali berhasil, sedangkan dua kali gagal," ujarnya. Selain Dian yang gagal diadopsi, ada juga seorang bayi, sebut saja bernama Tono, yang gagal dikirim ke Singapura. Itu karena petugas imigrasi Jakarta Pusat mencurigai seorang ibu yang mengurus paspor dengan menggendong Tono. Lalu, si petugas melaporkannya ke polisi. "Petugas curiga karena si ibu hanya pakai sandal jepit," kata Salempang.
Boleh dibilang, Nyonya Aiwah dan kawan-kawan hanya salah satu mata rantai perdagangan bayi. Di kawasan Sumatera, praktek semacam itu malah sudah lama berkembang. Sepanjang tahun 2002, misalnya, tercatat 39 bayi dari Sumatera Utara dijual ke Singapura. Daerah Riau, yang berbatasan langsung dengan Singapura, lebih rawan lagi. Perdagangan bayi cukup marak di sana. Dari puluhan bayi yang diduga telah dijual, tahun ini sembilan bayi bisa diselamatkan sebelum telanjur dikirim ke negeri tetangga tersebut. Bahkan, "Jika dirunut sejak tahun 1998, kasus semacam ini bisa mencapai 1.400-an lebih," kata Ajun Komisaris Besar Pandiangan, juru bicara Polda Riau.
Perdagangan bayi di Riau memiliki modus yang mirip dengan di Jakarta. Di sana seorang pembawa bayi yang disebut "tekong" biasanya mencari bayi dari seorang pengumpul bayi yang disebut "kaki". Dari para pengumpul inilah bayi-bayi ini dijual ke para cukong di negeri seberang. "Jaringan mereka kuat," ujar Pandiangan.
Praktek semacam itu sungguh merisaukan Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Tak hanya lewat pengiriman, perdagangan bayi juga bisa terjadi dengan cara lain. Ini bersamaan dengan meningkatnya perdagangan wanita ke luar negeri. Mereka biasanya dijadikan pekerja seks. Jika hamil, mereka akan dikumpulkan di sebuah tempat hingga jabang bayinya lahir, dan kemudian si orok dijual.
Masih ingat kisah beberapa wanita yang disekap di rumah seorang bernama Auntie Bong di daerah Sekama, Kuching, Malaysia, tahun lalu? Di sana, tak kurang dari puluhan orang yang sedang hamil disekap, menunggu bayinya lahir, dan kemudian bayi-bayi itu dijual.
Seto juga mengungkapkan, Indonesia masuk dalam kelompok negara yang pemerintah dan warganya dianggap memiliki kesadaran rendah atas bahaya perdagangan manusia antarnegara. "Indonesia memang menjadi surga penjualan bayi," tuturnya.
Padahal penjualan bayi ditengarai tak hanya untuk memenuhi kebutuhan orang tua yang ingin mengadopsi anak. Sebagian orang diduga membeli bayi untuk kemudian menjual organ tubuhnya.
Jangan heran jika Polda Metro Jaya cukup serius menangani kasus Nyonya Aiwah dan kawan-kawan. Mereka akan dijerat dengan pasal berlapis. Selain dijaring dengan Pasal 330 KUHP tentang pencabutan hak orang di bawah umur, mereka juga dijepret dengan Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya, sesuai dengan undang-undang tersebut, cukup berat, maksimal 15 tahun penjara.
Kepala Unit Remaja, Anak, dan Wanita Polda Metro Jaya, Komisaris Aris Munandar, mengungkapkan bahwa polisi saat ini juga sudah menahan Susi Sudarmo, 54 tahun. Dia merupakan pemilik sebuah klinik kebidanan di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang diduga menjadi tempat penampungan sementara bayi-bayi yang akan dijual itu. "Kami masih terus mengejar anggota sindikat lainnya," ujarnya.
Kini, bayi-bayi yang menjadi korban, Dian dan Tono, telah terselamatkan dari praktek perdagangan bayi. Keduanya dirawat oleh yayasan yang peduli pada mereka. Tapi nasib mereka tetap malang. Soalnya, sejauh ini belum jelas siapa ibu mereka.
Juli Hantoro, Eni Saeni, Jupernalis (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo