Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
P~ABRIK gula tak selamanya memanen hasil dari ladang tebu. Paling tidak yang dialami Pabrik Gula Semboro, Jember, Jawa Timur. Berdasarkan keputusan pengadilan 4 Juni lalu, pabrik itu menang dan berhak menerima Rp 17 juta. Pertimbangannya, si pabrik rugi karena rencana penanaman Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dihalang-halangi penggugat. Kemenangan pabrik berarti kemalangan lawannya, 31 petani desa Mlokorejo, Kecamatan Puger, Jember, yang menolak pelaksanaan TRI di atas tanah mereka. Namun, Hakim M. Soehoedi, ketua majelis, menolak gugatan petani dan menerima gugatan balik (rekonvensi) PG Semboro sebesar Rp 17 juta lebih. Mendengar putusan itu kontan para petani dan pcngacaranya protes. "Putusan itu tak rasional. Masa rakyat miskin dimintai ganti rugi Rp 17 juta," kata pengacara petani, I Wayan Konten Widjaya. Bahwa pihaknya akan dikalahkan, menurut Wayan, itu sudah bisa diduga sebelumnya. Tapi keharusan membayar Rp 17 juta, bagi petani yang rata-rata cuma punya sawah kurang dari 0,5 ha dan sudah setahun tak bisa ditanami, itu hal yang mustahil. Waktu itu, antara bulan Juli dan Agustus 1987, ada petani dari empat kecamatan di Jember yang menolak TRI: Puger, Gumukmas, Kencong, dan Umbulsari. Mereka nekat menanami lahannya dengan kedelai. Pabrik gula tidak kalah garang menghadapi petani yang membandel itu. Lima traktor dikerahkan untuk mengobrak-abrik tanaman kedelai dan meratakan tanah seluas 60 ha di Desa Menampu, Kecamatan Gumukmas. Desa sekitar yang ikut membandel dan menolak menanam tebu juga dilahap gajah besi itu (TEMPO, 15 Agustus 1987). Semula petani takut, diam, mengalah, walau menderita kerugian jutaan rupiah. Tapi 31 pctani dari Mlokorejo tak berpangku tangan. Tiga buah traktor yang menggilas tanaman kedelai berumur dua bulan di atas areal 10,488 ha (dari luas lahan TRI di Mlokorejo yang 31,791 ha) itu dianggap lancang dan menyalahi kesepakatan. Sebab, pada pertemuan pertama yang dilakukan cuma penyuluhan. Pertemuan berikutnya, mereka diharuskan mendaftar. "Tahu-tahu tanah dibuldozer," kata seorang petani. Padahal, menurut para petani, pihaknya sudah minta tenggang waktu sebulan sampai kedelai bisa dipanen. "Caranya itu tak kami senangi," kata Kadir, 23 tahun, petani jebolan SMA yang punya tanah 1 ha. Dari sawahnya yang setahun dipanen empat kali itu, Kadir menghidupi 10 saudaranya. Setelah kejadian itu, terpaksa ia bekerja seadanya, antara lain menganyam tikar. "Kami bekerja apa saja, sekadar menyambung hidup," keluh Suriptohadi, 30 tahun, pemilik areal 0,195 ha. Maka, lewat Pengacara I Wayan Konten Widjaya dan Achmad Lathief Amiruddin, mereka menggugat Bupati Jember (tergugat 1) sebagai Ketua Satpel Bimas, KUD Aneka Harapan di Desa Kasiyan (tergugat II) sebagai pemasok dana, dan PG Semboro (tergugat III) sebagai pelaksana teknis. Pada sidang gugatan yang dimulai akhir Maret lalu, para petani menuntut ganti rugi Rp 155 juta. Alasannya, tanaman kedelai seluas 10,488 ha rusak digilas buldozer dan hilan~nya pen~hasilan enam kali tanam selama 18 bulan. Bupati Jember, yang diwakili kabag hukumnya, Andjar Sofwan, mempertahankan pendapatnya bahwa langkah membuldozer kedelai itu tak bertentangan. "Lha, yang meminta ketua kelompok tani sendiri, kok," katanya. Imam Mujari, ketua kelompok tani yang disebut-sebut, memang membenarkan telah meminta pembuldozeran itu. "Ini atas persetujuan bersama," katanya kepada TEMPO. Kebetulan, katanya, kesepakatan itu dicapai di antara wakil-wakll petani dan tidak di depan semua petani. Lagi pula, menurut Bupati dan PG Semboro, TRI adalah program pemerintah yang diatur dalam Inpres No. 9 tahun 1975. Petani perlu mendukung program nasional itu. Hal yang sama juga disampaikan kuasa hukum PG Semboro, Mashudi Slamet Prajitno. Penetapan lokasi TRI juga merupakan usulan Desa Mojokorejo yang diketahui camat setempat. Dari kesepakatan itu hasilnya dituangkan dalam surat keputusan desa tentang geblakan (lahan yang direncanakan) untuk TRI musim tanam 87/88 tertnnggal 30 Oktober 1986. Musyawarah yang teknisnya dilaksanakan Lembaga Musyawarah Desa itu ada sanksinya. Yaitu desa tak melayani permintaan surat-surat bagi yang membandel dan sawah yang menolak TRI tidak dialiri air irigasi. Sidang gugatan petani penolak TRI itu putus setelah 15 kali persidangan. "Kalau kami diminta membayar Rp 17 juta, ya, ambil saja sawah kami. Kalau perlu, orangnya sekaligus," kata Kadir, salah seorang petani. Tapi agaknya tidak segampang itu menyerah kepada sang pemenang di sidang. Penasihat hukum penggugat akan mengupayakan banding. Ini berarti penderitaan petani cuma diperpanjang. W.Y. ~& Herry Mohammad (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo