Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Sinthya Roesly, Kamis, 15 Mei 2025. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa pemeriksaan tersebut terkait dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPEI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)," kata dia dalam keterangan resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi menyampaikan bahwa pemeriksaan dijadwalkan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Selain Sinthya Roesly, KPK juga memeriksa sejumlah saksi lainnya, yakni mantan pegawai LPEI Sunu Widi Purwoko dan Wahyu Priyo Rahmanto, pihak swasta Supiyanto, serta staf keuangan Ayu Andriani.
Kasus yang melibatkan LPEI ini bermula dari laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Kejaksaaan Agung pada Senin, 18 Maret 2024. Berdasarkan laporan tersebut, LPEI diketahui membentuk tim terpadu bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jamdatun Kejaksaan Agung, dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Dari hasil pengamatan, muncul indikasi adanya kecurangan atas dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh empat debitur.
“Jadi untuk tahap pertama Rp 2,5 triliun dengan nama debiturnya (perusahaan) RII sekitar Rp 1,8 triliun, PT SMR Rp 216 miliar, PT SRI Rp 1,44 miliar, PT BRS Rp 300,5 miliar. Jumlah keseluruhannya total Rp 2,505 triliun,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin setelah menerima kunjungan Sri Mulyani menurut Antara pada Senin, 18 Maret 2024.
Pada 1 Februari 2024, dugaan korupsi LPEI juga dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejaksaan Agung RI. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan investigatif, ditemukan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana oleh pihak-pihak terkait pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada debitur yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp 81 miliar.
Dalam kasus ini, KPK menilai bahwa terjadi benturan kepentingan antara Direktur LPEI dengan Debitur PT Petro Energy (PE) karena membuat kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit. PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan involve yang menjadi underlying atas pencairan fasilitas yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Fasilitas kredit yang diberikan LPEI kepada PT PE telah merugikan negara dengan outstanding pokok KMKE 1 PT PE senilai UD 18.070.000. Sementara itu, kerugian negara untuk outstanding pokok KMKE 2 PT PE mencapai Rp 549.144.535.027. Bila dijumlahkan dalam mata uang rupiah, maka nilai tersebut mencapai sekitar Rp 891,305 miliar.
KPK sebelumnya telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus tersebut dari pihak swasta dan penyelenggara negara. Keputusan tersebut dijatuhkan setelah KPK menggelar rapat ekspose pada 26 Juli 2024. Kini, jumlah tersangka telah mencapai 12 orang setelah KPK menetapkan lima orang tersangka lainnya, termasuk Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.