SUHADI, 32 tahun, dipaksa mengaku punya istri simpanan. "Ayo, ngaku saja," sergah Satriyah, istrinya, sambil menggendong bayi 7 bulan. Satriyah bahkan menyebutkan perempuan itu tinggal di Desa Gurah, 3 km dari rumah mereka. Suhadi berusaha tahan diri. Tapi ketika dia dimaki, meluaplah darah lelaki itu. Dengan parang terhunus, ia memburu wanita 27 tahun dan ibu dua anak yang sudah 15 tahun jadi istrinya itu. Satriyah, yang berlangkah seribu: tertangkap di halaman rumah -- tiga depa dari pokok kelapa gading. Lalu kakinya dibabat suaminya: cres. Darah menggenang bumi. Bersama bayinya ia roboh memeluk batang nyiur. "Tolong, tolong. Embuk dicarok," pekik Holiyah. Ia menangis dan panik. Bocah kelas III SD itu adalah anak Suhadi-Satriyah. Hadiyah, 60 tahun, yang pagi itu sedang menanak nasi, tersentak mendengar suara Holiyah. Di luar ia melihat cucunya yang mungil terguling menangis. Juga ada gelimang darah di tanah. Nenek itu roboh. Pingsan. Tetangga bengong, dan ngeri mau menolong. Mereka takut dicarok Suhadi, yang masih menggenggam parang di dalam rumah. Kemudian Suhadi keluar. Ia menyerah pada polisi sambil menjinjing parang berdarah. Setelah itu, Satriyah, yang kakinya giwil-giwil, nyaris buntung, barulah ditolong. Ia diangkut ke puskesmas -- tapi mengembuskan napas penghabisan ketika sudah di Rumah Sakit Bangkalan. Darah terlalu banyak mengucur di luka bacokan itu. Hadiyah, mertua Suhadi, kini merawat kedua cucunya. Dari sepetak tegalan milik Suhadi, mereka menyambung hidup. Dan sebelum perbuatan Suhadi mendapat keputusan vonis hakim, Hadiyah menghadangnya. Pada 23 November lalu ia mengirim surat kepada Kepala Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya -- dan tembusannya ditujukan kepada Hakim Ismed Ilahoede dan Jaksa Srimurti di Pengadilan Negeri Bangkalan. Inti surat yang bercap jempol itu: kalau Suhadi dihukum ringan dan ia tak bayar kerugian karena membunuh Satriyah, anak-anaknya akan mencarok Suhadi -- setelah keluar dari bui. "Ia harus membayar ganti rugi Rp 100 juta." Jumlah itu, katanya, untuk menghidupi dua anak Suhadi yang kini jadi beban janda itu. Juga untuk biaya tahlil dan mengubur Satriyah. Lagi pula, selama 15 tahun berumah tangga, katanya, Suhadi tak memberi nafkah untuk keluarganya. Selama ini penghasilannya, menurut Hadiyah, untuk biaya istri mudanya. Tapi bila Suhadi memenuhinya, kata Hadiyah, dijamin tak akan terjadi carok balas dendam. Hakim dan jaksa belum menerima surat tersebut. Mereka juga tak tahu-menahu mengenai tuntutan ganti rugi itu. Tapi Sahetapy, guru besar hukum pidana FH Unair, Surabaya, mendukung upaya Hadiyah. "Dukungan saya itu tidak didasari pikiran yang legalistis, tapi untuk terselenggaranya hukum dan keadilan," katanya. "Saya pasrah. Ketika mencarok kaki Satriyah, saya kalap karena malu," kata Suhadi. "Saya disuruh mengaku punya istri simpanan. Saya seperti maling yang diadili dan dipaksa mengaku. Tentu saya naik pitam." Itu Agustus lalu. Pertengahan Desember barusan Jaksa Srimurti menuntut Suhadi 6 tahun penjara. "Dia tak sengaja membunuh. Tapi kejadian itu penganiayaan berat," katanya. Tuntutan itu dipenuhi Hakim Ismed Ilahoede. "Enam tahun penjara langsung masuk," katanya, sambil mengetukkan palu. Dan Suhadi menerimanya. Hadiyah dan penduduk Desa Lembung Paseser yang hadir di persidangan terdiam mendengar putusan itu. Tak jelas apa vonis tersebut memenuhi hasrat Hadiyah. Dan mengenai tuntutannya yang Rp 100 juta itu? "Mana mungkin saya punya uang sebanyak itu ?" kata Suhadi. Sebelumnya ia sopir. Dengan dikawal polisi, ia beranjak meninggalkan ruang sidang. Ke penjara. Widi Yarmanto (Jakarta) dan Saiff Bakham (Surabaya)