Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Listyo Sigit Prabowo pernah bertemu Abu Bakar Basyir saat menjabat Kepala Polres Solo.
Ia pernah meredam massa dari Banten yang hendak mengikuti aksi menolak Ahok.
Kariernya melesat setelah menjadi ajudan Presiden Jokowi.
KASAK-kusuk di antara ulama merebak setelah rencana pergantian Kepala Kepolisian Daerah Banten mencuat pada Oktober 2016. Para kiai Banten mendengar Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menunjuk Komisaris Besar Listyo Sigit Prabowo untuk memimpin Korps Bhayangkara di sana.
Mereka menolak Sigit karena lulusan Akademi Kepolisian pada 1991 itu seorang penganut Nasrani. Lantaran mayoritas penduduk Banten beragama Islam, ulama meminta Jenderal Tito memilih perwira muslim. “Awalnya memang ada kontradiksi dari sebagian ulama Banten,” ujar Khozinul Asror, pemimpin Pondok Pesantren Al-Khoziny, Pandeglang, Sabtu, 16 Januari lalu.
Khozinul termasuk ulama di barisan penolak. Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Banten itu akhirnya menerima Sigit setelah bertemu bekas ajudan Presiden Joko Widodo itu dan ulama Banten lain.
Untuk “menaklukkan” hati para ulama di Banten, Sigit meminta bantuan Wakil Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama Hery Heryanto Azumi. Ia berulang kali sowan ke para kiai bersama Hery. Ia memaparkan komitmennya menjaga persatuan dan berjanji merangkul semua kelompok. “Cara Pak Sigit itu akhirnya mengubah persepsi orang-orang,” ujar Hery.
Sigit juga menggunakan kemampuan lobinya untuk meredam gejolak protes warga Banten terhadap Gubernur Jakarta kala itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang dituduh melecehkan Surat Al-Maidah. Para ulama yang semula berniat mengerahkan massa ke Jakarta mengurungkan niat setelah ditemui Sigit. Sigit menawari ulama bertemu Presiden Joko Widodo untuk mengetahui komitmen pemerintah terhadap penyelesaian masalah tersebut.
Pertemuan itu menjadi kenyataan pada 10 November 2016. Khozinul termasuk salah satu kiai yang ikut menemui Jokowi di Istana Negara. “Pak Sigit mampu menciptakan sinergi antara kepentingan ulama dan umara,” ucapnya. Banten yang semula keras menolak Sigit berangsur-angsur menerima keberadaannya. “Itu terlihat dari sikap Kiai Hariman, Kiai Dimyati, dan pimpinan Pesantren Syekh An-Nawawi Al-Bantani, Kiai Ma’ruf Amin,” kata Khozinul lagi, menyebut nama ulama Banten yang juga semula menolak Sigit.
Sigit mengatakan penolakan para ulama terjadi karena banyak di antara mereka yang belum mengenal dirinya. “Saya bilang, saya ini datang hanya untuk melaksanakan tugas keamanan. Dan saya siap menjadi pelayan Bapak-bapak,” ucapnya kepada Tempo pada Desember 2019. Kala itu, nama Sigit mencuat karena diangkat menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dengan “melompati” angkatan di atasnya.
Menurut Sigit, persinggungannya dengan banyak ulama mulai terjadi ketika ia menjabat Kepala Kepolisian Resor Pati pada 2009. Di sana, ia mengenal Kiai Sahal Mahfudz, Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kala itu. Ia juga tak segan menyambangi kediaman pemimpin Pesantren Ngruki, Abu Bakar Ba'asyir, ketika bertugas sebagai Kepala Polres Solo. Di Solo pula Sigit mulai mengenal Jokowi yang ketika itu menjabat wali kota.
Karier Sigit melesat setelah menjabat Kepala Polda Banten. Bintang di pundaknya menjadi dua setelah dia dipromosikan menjadi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan. Sejak Desember 2019, pria kelahiran Solo pada 1969 ini menerima pangkat komisaris jenderal setelah dilantik sebagai Kepala Bareskrim, menggantikan Idham Azis yang diangkat menjadi Kepala Polri. Peralihan tongkat komando antara Sigit dan Idham akan kembali terjadi setelah Jokowi menunjuknya sebagai calon tunggal Kepala Polri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo