Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Richard Joost Lino diperiksa Bareskrim Mabes Polri hari ini, Rabu, 6 Januari 2016. Ditemui wartawan setelah pemeriksaan, Lino tak menjelaskan soal pemeriksaannya, tapi soal rencana praperadilan atas statusnya sebagai tersangka korupsi pengadaan quay container crane (QCC) di Pelindo II pada 2010. "Ya, rencananya Senin nanti akan disidangkan (praperadilan)," tutur RJ Lino sesaat setelah diperiksa Bareskrim Mabes Polri, Rabu, 6 Januari 2016.
Lino mengaku sedang menyiapkan berkas yang diperlukan untuk mematahkan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadapnya. Saat ini, segala kebutuhan tentang upaya praperadilan telah disusun kuasa hukumnya dan segera disidangkan pekan depan.
Mantan Direktur Utama Pelindo II itu berdalih, penetapan tersangka terhadapnya oleh KPK ganjil. Dia mengaku lelang pengadaan sudah dilakukan sejak 2007, saat ia belum masuk ke Pelindo II. "Sementara saya masuk baru 2009. Apa semua orang tidak sadar?"
Lino juga mengamini bahwa saat dia memimpin, lelang dilakukan karena kebutuhan sedang mendesak. Pelabuhan di Pontianak, saat itu, kata dia, pelayananannya masih lamban. Masyarakat memerlukan waktu 2 minggu untuk bisa mengirim barang melalui pelabuhan.
Dari ceritanya, ongkos angkut pelabuhan juga sangat mahal, yakni mencapai Rp 6,5 juta per kontainer. Ini terjadi karena infrastruktur pelabuhan kurang memadahi. Karena itu, dia memutuskan melakukan lelang pengadaan QCC.
"Hari ini, setelah ada QCC, ongkos angkut hanya Rp 2,5 juta," kata Lino. Menurut dia, pihaknya telah berhasil memangkas biaya ongkos angkut Rp 4 juta untuk setiap kontainer. Sementara itu, setiap tahun di Pelabuhan Pontianak ada sedikitnya 220 ribu kontainer yang hilir mudik di pelabuhan.
"Total uang masyarakat yang bisa diselamatkan mencapai Rp 990 miliar," ujarnya. Karena itu, dia tidak mau disalahkan atas lelang pengadaan tersebut. Padahal dari keterangan KPK, dia dijerat sebagai tersangka karena terbukti memperkaya diri saat proses lelang dilakukan.
Lino memerintahkan pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II (Persero) menunjuk langsung HDHM, perusahaan dari Cina, sebagai penyedia barang. Padahal seharusnya pembelian dilakukan melalui proses lelang. Tiga unit QCC tersebut dibeli dengan harga mahal untuk ditempatkan di Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak.
Nilai kerugian negara akibat keputusan Lino mencapai Rp 60 miliar. Lino kemudian dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
AVIT HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini