Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asap korupsi kasus mobil pemadam kebakaran membubung makin tinggi dan kini mulai menjilati beberapa petinggi di Departemen Dalam Negeri. Berita tak elok itu terungkap dalam persidangan Baso Amiruddin Maula, mantan Wali Kota Makassar, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin pekan lalu.
Amiruddin didakwa melakukan penunjukan langsung pada PT Istana Sarana Raya dalam pengadaan 10 unit mobil pemadam. Padahal anggaran Pemerintah Kota Makassar tahun 2003-2004 hanya cukup untuk membeli satu unit mobil. Akibatnya, negara merugi Rp 4,3 miliar.
Mantan wali kota Makassar itu tentu tak terima atas tuduhan tersebut. Katanya, pengadaan mobil itu dilakukan karena perintah radiogram yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri semasa Hari Sabarno, Desember 2002. ”Hulu kasus korupsi ini adalah perintah pejabat Departemen Dalam Negeri. Harusnya, mereka diproses dulu. Jangan cuma kepala daerah,” kata Taufan Pawe, pengacara Amiruddin, kepada Tempo, pekan lalu. Menurut pengacara Makassar tersebut, dari departemen itulah ketentuan tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah mula-mula dilanggar.
Pembelian mobil pemadam kebakaran ini bukan hanya membelit Amiruddin, melainkan juga menyeret sejumlah kepala daerah untuk menghuni tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sepanjang tahun 2007, Komisi telah meminta keterangan Gubernur Bali Dewa Made Beratha, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Gubernur Irian Jaya Barat Abraham Octavianus Atururi, dan Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah. Komisi juga memeriksa Wali Kota Medan Abdillah dan wakilnya, M. Ramli. Keduanya kini telah ditahan.
Dari pemeriksaan itu, diketahui bahwa pembelian berjamaah tersebut dipicu radiogram Direktur Jenderal Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi pada 13 Desember 2002. Isinya menunjuk PT Istana Sarana Raya, yang merupakan agen mobil pemadam kebakaran tipe V-80 ASM, sebagai perusahaan tunggal penyedia mobil pemadam untuk pemerintah daerah. Surat itu juga menyebut spesifikasi harga per mobil yang mencapai Rp 1 miliar, dua kali lipat dari harga pasaran yang hanya sekitar Rp 500 juta. Karena radiogram tersebut, sebelas daerah kemudian melakukan pembelian mobil itu sepanjang tahun 2002-2005.
Dalam sidang Senin pekan lalu, bau korupsi makin kencang setelah terungkap adanya aliran duit ke pejabat Departemen Dalam Negeri. Duit itu diberikan oleh Henky Samuel Daud—Direktur Istana Sarana Jaya yang sejak Juli tahun lalu buron—sebagai imbalan atau komisi pembelian.
Adalah Chenny Kolondam, istri Henky, yang bersaksi bahwa dana Rp 1,2 miliar mengalir dari rekeningnya ke 24 pejabat terkait di sejumlah daerah di Indonesia. Di antaranya ke petinggi Departemen Dalam Negeri. ”Uang tersebut diambil dari rekening saya atas perintah suami,” katanya di depan persidangan. Tetapi transfer kemudian dilakukan atas nama orang lain, yakni Maria Kurniawati, yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Diduga, Maria adalah rekan kerja Henky.
Keterangan Chenny ini diberikan untuk menjawab sejumlah barang bukti, antara lain perintah transfer bank, yang ditunjukkan jaksa penuntut Sardjono Turin. ”Bukti-bukti ini ditemukan dalam penggeledahan di rumah Chenny di Jalan Imam Bonjol oleh penyidik,” kata Sardjono.
Transfer itu antara lain ditujukan ke Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Siti Nurbaya sebesar Rp 100 juta dan Rp 50 juta untuk Direktur Jenderal Otonomi Daerah Oentarto Sindung. Ada juga transfer ke seorang berinisial HS untuk pembayaran rumah sebesar Rp 396 juta. ”HS itu kepanjangan Hari Sabarno,” kata Chenny di depan persidangan. Untuk ”komisi” Amiruddin sendiri, Chenny mengaku mengirim Rp 600 juta.
Namun Hari Sabarno menolak tersangkut proyek pengadaan pemadam massal tersebut. Ia mengaku tidak mengetahui radiogram yang disebarkan ke seluruh kota di Indonesia itu. ”Radiogram itu tidak lazim, meskipun sah secara formal karena ditandatangani menteri dan diberi cap oleh departemen,” ujar Hari Sabarno dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, awal Januari lalu.
Menurut purnawirawan tentara ini, radiogram Dirjen Otonomi Daerah tanpa persetujuan menteri, karena berada pada tingkatan teknis. ”Kalau level sekjen harus dengan persetujuan menteri atau menandatangani bersama menteri, sedangkan pada level dirjen tidak perlu,” ujarnya menjawab pertanyaan hakim ketua Kresna Menon.
Padahal, dalam keterangannya di muka Komisi dan juga di muka persidangan, Oentarto mengaku Hari sendiri yang memperkenalkan Henky sebagai staf ahli menteri. Bahkan radiogram itu dibuat atas perintah lisan sang menteri. ”Agar dibuatkan surat untuk kepentingan pengadaan mobil,” kata Oentarto, yang bersaksi lebih awal ketimbang atasannya. Tapi Hari membantah. ”Saya bilang kok kepada Saudara Henky, itu urusan Anda menjalankan bisnis. Jangan bawa-bawa nama departemen,” ujar mantan Wakil Ketua Fraksi ABRI di DPR ini.
Oentarto mengaku menerima ”sumbangan” dari Henky. ”Sumbangan itu kemudian saya berikan kepada orang-orang yang patut menerima di kantor,” ujar Oentarto. Sumbangan itu berbentuk dua lembar cek perjalanan, masing-masing senilai Rp 25 juta. Satu lembar cek kemudian diberikan sang dirjen kepada seorang stafnya. Satu lembar lainnya diberikan untuk suami seorang dokter di Departemen Dalam Negeri. Keduanya butuh biaya untuk operasi jantung. Menurut Oentarto, Henky memberinya untuk jaga-jaga. ”Barangkali Bapak perlu. Pejabat-pejabat kalau ada acara seperti 17-an suka dimintai sumbangan,” ujarnya menirukan ucapan Henky saat itu.
Berbeda dengan Oentarto, sumber Tempo di Komisi menyatakan bahwa kaitan kasus ini dengan Hari Sabarno ”agak” sumir. Misalnya saja, transfer uang pembelian rumah langsung masuk ke rekening pengembang Kota Wisata Cibubur, Jakarta Timur. Demikian juga pembelian mebel yang langsung dikirim ke rekening penjual. ”Namun semua pembelian itu dinikmati Hari,” ujarnya. Tapi memang ada bukti pendukung lain yang lebih kuat: dari sumber rekening yang sama ada pembayaran untuk sejumlah keperluan istri Hari Sabarno, seperti biaya salon dan kartu kredit.
Hari ngotot menyangkal. ”Alamat rumah saya memang di Kota Wisata, tapi saya tidak pernah menerima uang pembayaran apa pun dari dia,” kata Hari di muka persidangan. Namun ia tidak bisa menjelaskan dari mana dana pembelian dua rumah di cluster Virginia yang ditempatinya di kawasan elite Cibubur itu.
Direktur Penyidikan KPK Ade Rahardja menyatakan bahwa bukti-bukti keterlibatan petinggi Departemen Dalam Negeri—termasuk Hari Sabarno—terus dikembangkan. Komisi, menurut dia, tidak melakukan tebang pilih. ”Ini bagian dari strategi penyidikan saja,” tutur mantan polisi ini. Apalagi jumlah kasus korupsi pemadam ini cukup banyak. ”Tunggu saja tanggal mainnya.”
Arif A.K., Cheta Nilawati
Semprotan Duit Pemadam
KPK menemukan aliran transfer dana yang berkaitan dengan pengadaan mobil pemadam kebakaran. Berikut ini di antara transfer uang dari rekening Chenny Kolondam dan Maria Kurniawati sepanjang 2004.
Tanggal | Penerima | Jumlah |
Januari | Pejabat di Lampung Tengah | Rp 100 juta (BNI 46) |
17 Februari | Hd (Biro Keuangan Jawa Tengah) | 50 juta |
17 Februari | MMA (pejabat kota Kendari) | 30 juta |
17 Februari | AMR (pejabat kota Makassar) | 15 juta |
17 Februari | Pembayaran rumah HS | 396 juta |
5 Maret | SRS (Sekpri HS) | 21,6 juta |
5 Maret | Pejabat Provinsi Sumatera Utara | 500 juta |
18 Maret | Idr Syd (Ibu HS) | 1,2 juta |
18 Maret | TS (Biro Keuangan Jawa Barat) | 50 juta (cek inbon) |
6 April | Kartu kredit BNI HS | 14,9 juta |
6 April | Setoran Bank Mandiri untuk HS | 400 juta |
7 April | Pejabat Sekretariat Departemen Dalam Negeri | 100 juta |
8 April | Sekda (cash) | 100 juta |
12 April | Oentarto SW via Mandiri | 50 juta |
14 April | Komisi ke WSN | 50 juta |
15 April | Setoran ke TS | 25 juta |
Catatan: Sebagian nama disamarkan, kecuali yang sudah diakui. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo