Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN jaket bluejean, bertopi laken, dia mengendarai sepeda
motor warna merah metalik. Di belakangnya duduk seorang
menenteng ikan kakap besar. Lewat di tangul Kali Rambatan yang
setengah kering dengan tcnang dia menjawab sapaan Aris Amiris
dari TEMPO "Saya mau menjual ikan ke Cangkring!"
Lho, dia 'kan Wala--seorang buronan polisi yang disangka
mendalangi perampokan kapal pukat harimau dan pembunuhan awak
kapalnya?
Betul. Enam orang yang mengaku didalanginya telah dihukum
penjara masing-masing 18 tahun. Tapi Wala sendiri seperti
dijumpai 22 September lalu memang masih bebas berada di rumahnya
di Kampung Waledan, menjual ikan ke Pasar Cangkring dan dijumpai
kenalannya di sekitar Desa Lamaran Tarung di Kabupaten Indramayu
(Jawa Barat). Bertubuh kurus, tingginya lebih kurang 160 cm,
dengan bibir sumbing tepat di bawah hidungnya Wala mudah
dikenal. Hanya polisi hingga kini belum "menemukan" jejaknya.
KM Wajah Baru
"Rumah Wala terpencil, setiap pendatang dari jauh sudah
kelihatan, sehingga sebelum kami mencapainya dia sudah kabur,"
ujar seorang anggota polisi perairan (Satpolair) di sana. Jaksa
HAM Kadir SH, yang menyatakan telah meneruskan perintah
penangkapan dari Pengadilan Negeri Cirebon kepada polisi, cuma
angkat bahu. "Surat perintah penangkapan sudah diteruskan,
sampai sekarang tak ada kabar beritanya, saya pun tak bisa
memaksa polisi," katanya. Tapi Kapten Pol. Sachna dari Satpolair
mengelak tunjukan jaksa. "Jaksa tak pernah mengirim surat
perintah," katanya. Meskipun demikian, lanjutnya, polisi sudah
mencoba mencari Wala. "Namun karena letak rumahnya sulit dicapai
dan petugas terbatas sampai saat ini kami belum berhasil," kata
Sachna.
Awal Mei 1979 lalu sebuah perahu berpukat harimau, entah apa
pula nama kapalnya, kandas di perairan Sentigi. Nakodanya hingga
sekarang juga belum diketahui siapa gerangan, minta pertolongan
Wala. Juragan udang dari Sentigi (Indramayu) itu tak keberatan
membantu dengan perjanjian akan menerima imbalan sesuatu. Wala
mengerahkan orang-orangnya menyeret perahu yang kandas tersebut.
Tapi setelah pekerjaannya beres, ternyata perahu yang
ditolongnya terus berlayar sebelum nahodanya menepati janji.
Tinggallah Wala menyimpan dendam - tanpa tahu terhadap kapal dan
nahkoda mana yang meningkari janjinya itu Tapi buat
melampiaskan dendamnya, Wala ingin berbuat sesuatu. Dia
mengundang beberapa orang: Sukardi alias Galung (buruh tani),
Suma, Casiman, Kasim, Warya (peternak ikan) dan Surnadi serta
Suari (buruh nelayan). Mereka, katanya, disuruh merampok perahu
pukat harimau. Untuk itu Wala berjanji akan menadah hasil
rampokan, menyewakan perahu untuk operasi (Kp (.000), memberi
uang saku (Rp 8.000), menjamin keluarga orang suruhannya dan
berani menanggung segala risiko yang timbul.
Suatu malam ke 7 orang tersebut turun ke laut. Mereka mendekati
trawl KM Wajah Baru V yang tengah memperbaiki baling-baling yang
tersangkut jaring. Mengendap-endap mereka memanjat perahu dan
dengan segera pula menguasainya Ada perlawanan dari Siong Hok,
motoris, tapi tak berarti. Suma menghantamnya dengan sepotong
besi, yang katanya dirampas dari tangan korban sendiri, sehingga
Siong Hok tak berkutik. Tak jelas adakah ia mati seketika atau
tidak. Sebab selanjutnya korban diikat dengan sebatang besi
panjang dan dilempar ke laut. Nahoda Wiyadi disekap.
Selesai dengan Wajah Baru V kawanan ini menyerbu KM Aman I yang
tengah berlayar. Nahoda Admin Husni mencoba mempertahankan
kapalnya dengan sebilah pedang. Tapi dia sendiri yang celaka.
Nasibnya sama dengan Siong Hok: tubuhnya diberati dengan
sepotong besi kemudian ditenggelamkan.
Belum selesai. Awak Wajah Baru V dikumpulkan di atas Aman I
sebelum kapalnya dibakar. Nahoda Wiyadi, yang nlencoba
meloloskan diri, dibacok ramai-ramai hingga tewas. Malam itu ke
7 suruhan Wala memperoleh barang jarahan: 400 kg udang dan ikan
sotong (harganya sekitar Rp 160 ribu), sebuah jam tangan dan
weker, kalung emas dan sepatu putih. Semuanya dipindahkan ke
perahu sementara korbannya yang masih hidup dibiarkan pergi
dengan Aman I --yang tentu saja melaporkan pembajakan tersebut
kepada polisi perairan.
Itu cerita para pembajak di pengadilan. Yang menarik, juga
disesali para pembajak, ternyata polisi dengan mudah menemukan
mereka satu persatu--kecuali Surnadi yang cepat menghindar-itu
berkat petunjuk Wala sendiri yang hanya mengaku sebagai tukang
tadah belaka. Mereka malah tak diberi kesempatan menikmati upah
yang dijanjikan Wala.
Bersalahkah Wala? Tanva saja dia, mumpung dia belum jauh!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo