Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Hendra Kurniawan Akui Tandatangani Surat Perintah Kosong untuk Penyelidikan Kematian Brigadir Yosua

Hendra Kurniawan menyatakan surat perintah kosong merupakan praktek lazim di kepolisian.

13 Januari 2023 | 22.07 WIB

Terdakwa Hendra Kurniawan menjalani sidang lanjutan sebagai saksi terkait pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selasa, 6 Desember 2022. Sidang beragendakan pemeriksaan sebanyak 11 saksi dan 6 diantaranya terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus kematian Brigadir J. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perbesar
Terdakwa Hendra Kurniawan menjalani sidang lanjutan sebagai saksi terkait pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selasa, 6 Desember 2022. Sidang beragendakan pemeriksaan sebanyak 11 saksi dan 6 diantaranya terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus kematian Brigadir J. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Polri Brigjen Hendra Kurniawan mengaku menandatangani surat perintah (sprin) penyelidikan kosong terkait kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juloi 2022. Hendra mengakui hal itu dalam pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa obstruction of justice (menghalangi penegakan keadilan) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 13 Januari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pengakuan keluar dari mulut Hendra saat dicecar jaksa penuntut umum. Hendra menyatakan surat perintah itu ditandangani untuk anak buahnya menyelidiki kematian Brigadir Yosua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa mempertanyakan alasan Hendra menandatangani sprin kosong. Padahal, seharusnya sprin berisi perintah yang jelas, termasuk batas waktu berlaku hingga langkah-langkah penyelidikan yang mesti dilakukan. 

"Kita kan ini juga pernah pimpinan, ya yang menandatangani surat perintah saya juga pernah Kajari (Kejaksaan Negeri) pernah juga di daerah menguasai satu provinsi. Artinya supaya jelas penyelidikan, ada batas waktu jadi saya tidak akan menandatangani surat perintah kalau tidak lengkap karena keabsahan daripada surat perintah penyelidikan harus ada jangka waktu," kata jaksa.

"Pertanyaanya kenapa saudara menandatangani surat perintah yang belum lengkap tadi?" tanya jaksa.

Hendra mengatakan hal itu lumrah dilakukan di Polri. 

"Saya jawab ya saudara jaksa, itukan di Kejaksaan Negeri ya, saya kan di kepolisian. Hal seperti itu wajar-wajar dan lazim. Jadi yang mengisinya itu dari pelaksana wajar dan lazim sama yang mengagendakan nomor surat diagendakan. Baru disitu dihitung untuk berapa hari," jawab Hendra.

Jaksa mempertanyakan apakah sprin itu masih berlaku

"Baik. Nah inikan yang diperintahkan surat penyelidikan ini masih berlaku dong. itu sampai sekarang ini? Dengan kosong itu masih berlaku dong?" cecar jaksa.

"Kan, itu, kan, yang tahu masalah ini kan Agus Nurpatria," kata Hendra.

Jaksa terus mencecar Hendra. Ia kembali menanyakan apakah sprin yang Hendra tandatangani masih berlaku atau tidak sampai saat ini.

"Ya kalau memang kosong seperti itu, tapi menurut saya tidak mungkin kosong kan ini yang diperlihatkan tim penasihat hukum," kata Hendra.

"Ini yang saya tanyakan, masih berlaku enggak dengan fakta yang demikian. Karena bagaimana pun akan didasarkan dengan surat perintah terdakwa Obstruction of Justice ini. Nah, yang saya tanyakan masih berlaku enggak sampai saat ini, walaupun yang ditunjuk itu salah satunya masih jadi terdakwa?" tanya jaksa.

"Sudah tidak berlaku menurut saya," jawab Hendra.

Hendra mengungkapkan alasan sprin tidak berlaku lagi karena saat ini sudah disita oleh Tim Khusus bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

"Sudah tidak berlaku, kan sprin itu digunakan ketika proses penyelidikan ini diambil Timsus dan sudah tidak dilaksanakan lagi," kata Hendra.

Sprin penyelidikan kematian Brigadir Yosua dan perintah Ferdy Sambo

Hendra Kurniawan menandatangani surat perintah penyelidikan kematian Brigadir Yosua setelah dirinya mendapatkan perintah dari Ferdy Sambo. Hendra mengaku bahwa dirinya langsung dihubungi Sambo sesaat setelah Yosua tewas. 

Saat itu, Hendra mengaku meluncur ke rumah dinas Sambo di Komplek Polri Duren Tiga. Di sana, dia pun bertemu dengan Kepala Biro Provos Polri, Brigjen Benny Ali. 

Sambo, menurut penuturan Hendra, saat itu langsung bercerita bahwa Yosua tewas karena baku tembak dengan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Sambo menyatakan Yosua melecehkan istrinya, Putri Candrawathi. 

Kepada Hendra Kurniawan dan Benny Ali, Sambo pun meminta agar kasus kematian Brigadir Yosua itu ditangani oleh Propam. Alasannya, kejadian itu melibatkan dua orang anggota polisi yang saling tembak. 

Hendra Kurniawan juga didakwa melakukan penghalangan penegakan hukum karena terlibat dalam penghilangan alat bukti berupa rekaman CCTV di Komplek Polri Duren Tiga. Dia dan lima anggota polisi lainnya: Agus Nur Patria, Arif Rachman Arifin, Irfan Widyanto, Chuck Putranto, dan Baiquni Wibowo, pun akhirnya harus masuk pengadilan sebagai terdakwa.

Selain Hendra Kurniawan cs, kasus pembunuhan Brigadir Yosua ini menyebabkan puluhan anggota polisi lainnya ikut mendapatkan sanksi. Mereka mendapatkan sanksi mulai dari PTDH, demosi hingga teguran tertulis dan teguran lisan. 

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus