Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGEGOLKAN sebaris pasal yang bisa menggiring militer ke peradilan umum bukan perkara mudah bagi para politisi DPR. Sampai pekan lalu, upaya semua fraksi agar pemerintah menerima pasal ini belum berbuah. ”Kalau wakil pemerintah tak menerima usul DPR, kami akan tanya Presiden,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus Peradilan Militer, Azis Syamsuddin, seusai rapat Badan Legislasi yang membahas RUU Peradilan Militer, kepada Tempo.
Sikap DPR ini buntut dari rapat kerja Panitia Khusus dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Rabu dua pekan lalu. Kala itu, kepada pemerintah, DPR menawarkan masa transisi selama dua sampai tiga tahun jika UU Peradilan Militer, yang kini dibahas itu, diberlakukan. Jalan tengah ini untuk menjawab kebuntuan pembahasan RUU. Ganjalannya, masalah yurisdiksi peradilan militer dan pemeriksaan koneksitas yang diatur Undang-Undang tentang Peradilan Militer (UU No. 31/1997).
Para wakil rakyat berpendapat, militer yang melakukan tidak pidana umum harus dibawa ke peradilan umum. Konsekuensinya, pengadilan koneksitas dihapus. Ini tidak diterima pemerintah. Pemerintah ingin militer yang terlibat tindak pidana tetap dibawa ke peradilan militer, dan koneksitas dipertahankan.
DPR punya alasan untuk berkukuh mengubah UU Peradilan Militer yang dianggap basi itu. Menurut Azis, reformasi peradilan militer merupakan amanat Ketetapan MPR tentang pemisahan TNI dan Polri, Ketetapan MPR tentang Peran TNI dan Peran Polri, serta Undang-Undang tentang TNI. ”Jadi, harus dilaksanakan,” kata Azis.
Selama ini, menurut Azis, pemerintah menunjuk alasan psikologis dan infrastruktur sehingga usul DPR itu sulit diterima. Misalnya, soal polisi, jaksa, dan pengadilan yang dianggap tak siap mengadili militer. ”Kami tanya polisi, jaksa, dan pengadilan, mereka bilang siap,” katanya.
Sumber Tempo di Panitia Khusus mengatakan, justru militer yang tak siap. Ini, ujar sumber itu, terlihat pada pertemuan Panitia Khusus dengan Panglima TNI Jenderal Djoko Suyanto, akhir Mei lalu. Saat itu Panglima didampingi KSAD Jenderal Djoko Santoso, KSAL Laksamana Slamet Soebijanto, dan KSAU Marsekal Herman Prayitno.
Dalam pertemuan tertutup itu, kata sang sumber, Panglima, KSAL, dan KSAU menyerahkan soal ini ke pemerintah dan DPR. Tapi KSAD menyampaikan pendapat berbeda. Djoko menyarankan undang-undang itu tidak diubah. ”Kesannya, Angkatan Darat tidak siap,” kata sumber itu.
Namun Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Ricardo Siagian menampik institusinya disebut tak setuju undang-undang itu diubah. ”Angkatan Darat bagian dari TNI. Jadi, sikap kami sama dengan TNI,” katanya. Kalaupun ada pendapat berbeda yang disampaikan KSAD, ujar Ricardo, itu biasa. ”Kan boleh punya pendapat beda.”
Ketua Panitia Khusus Andreas Parera ”memegang” jawaban lisan dan surat Panglima TNI pada Juli lalu. Dalam surat itu tersirat Panglima menyerahkan ini kepada pemerintah dan DPR. Hanya, Panglima meminta ekses-ekses pengubahan tempat pengadilan itu diperhatikan. ”Ini yang menjadi dasar DPR memberikan solusi adanya masa transisi,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Selama masa transisi digelar, ujar Andreas, TNI bisa melakukan sosialisasi agar secara bertahap mereka siap. ”Masa transisi itu bisa juga digunakan untuk mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer,” ujar Andreas. Tapi soal masa transisi yang ditawarkan Dewan pada Rabu dua pekan lalu itu masih perlu dipelajari oleh Menteri Pertahanan Juwono, dan pihaknya perlu waktu untuk menjawab. ”Tapi kami bukan mau mengulur-ulur waktu,” ujar Juwono. Hanya yang mengejutkan anggota Dewan, Juwono menganggap waktu dua hingga tiga tahun yang ditawarkan itu sebagai waktu pembahasan RUU Peradilan Militer. ”Kami kaget juga mendengar Menteri Pertahanan mengatakan itu,” kata Andreas.
Di mata Manajer Program Peradilan Militer Imparsial, Doni Aryanto, pernyataan Juwono menguatkan indikasi pemerintah tak berniat mereformasi peradilan militer. Menurut Doni, permintaan ini bisa jadi suatu siasat. ”Dengan mengulur waktu, pemerintah bisa mengamendemen UU TNI agar UU Peradilan militer tak perlu diubah,” ujarnya.
Direktur Harmonisasi Perundang-undangan Departemen Hukum, Wicipto Setiadi, menilai tudingan Imparsial terlalu dini. Menurut dia, sampai kini pemerintah belum mengeluarkan pendapat soal usulan transisi dari DPR. Kendati demikian, ia setuju UU Peradilan Militer dan KUHP Militer dibenahi. Adapun soal amendemen UU TNI, menurut Wicipto, bisa dilakukan meski tak masuk program legislasi nasional. ”Kalau dianggap penting, bisa dibahas,” ujarnya.
Jika UU TNI diamendemen, dampaknya akan ke mana-mana. Bahkan bisa jadi Undang-Undang Peradilan Militer tak berubah. ”Ini jelas kemunduran,” kata Andreas.
Abdul Manan, Aqida Swamurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo