Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Kasus Korupsi Timah, Jaksa Ungkap WA Group New Smelter Bahas Wasit di Jakarta dan Mukti Juharsa

Jaksa mengungkap isi percakapan di WA Group New Smelter dalam sidang kasus korupsi timah. Ada sosok wasit di Jakarta dan nama Mukti Juharsa.

3 September 2024 | 10.24 WIB

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Helena Lim menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 2 September 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin
Perbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Helena Lim menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 2 September 2024. ANTARA/Sulthony Hasanuddin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sidang lanjutan dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah, Tbk mengungkap adanya peran seseorang dari Jakarta yang turut mengetahui adanya praktik lancung tersebut. Seseorang itu disebut dengan sebutan wasit.

Duduk di kursi terdakwa, crazy rich PIK, Helena Lim; mantan Dirut PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi; eks Direktur Keuangan PT Timah, Emil Ermindra; Dir Ops PT Timah, Alwin Albar; dan Direktur PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan, dalam persidangan Senin 2 September 2024 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
 
Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil dua orang saksi dalam sidang tersebut yakni eks GM Produksi PT Timah, Tbk, Ahmad Syamhadi dan eks GM Operasi Produksi Investasi Mineral PT Timah, Tbk, Achmad Haspani.
 
Dalam sidang lanjutan korupsi timah tersebut, JPU membacakan bukti chat whatsapp grup “New Smelter” yang ada di hanphone milik eks GM Produksi PT Timah, Tbk, Ahmad Syamhadi. Dalam chat tersebut terungkap suami Dewi Sandra, Harvey Moeis mengancam akan melaporkan ke wasit di Jakarta.
 
“Izin menyampaikan bukti percakapan yang mulia,” kata Jaksa dihadapan Majelis Hakim Tipikor, Senin.
 
“Tanggal 20 Juni 2018, pukul 17.01, siap pak Dir, saya rasa sekarang akan lebih kelihatan siapa yang komit dan tidak. Untuk itu siap dengan konsekuensinya terutama dengan adanya wasit di Jakarta,” kata Jaksa.
 
“Itu dari siapa?” tanya hakim.
 
“Dari grup yang mulia,” jawab Jaksa.
 
“Iya itu bahasa dari siapa?” lanjut Hakim.
 
“Harvey RBT,” kata Jaksa.
 
Dalam grup tersebut, Jaksa juga menyebut adanya arahan dari Direskrimsus Polda Bangka Belitung yang kala itu dijabat Brigjen Mukti Juharsa.
 
“Kemudian ada pertanyaan juga dari pak Mukti (Juharsa), saya minta komitmen bapak/ibu untuk memenuhi yang 5 persen ke PT Timah. Baru bapak/ibu bisa kerja. Dijawab pak Harvey, siap pak datanya izin kami teruskan ke wasit di Jakarta,” kata Jaksa.
 
“Wasit ini apa, nama orang?” kata Hakim.
 
“Istilah,” kata Jaksa.
 
“Ada dari Harvey juga, selamat sore bos-bos berikut saya forward data-data eksport beserta proposal eksport yang kita ajukan di rapat kemarin, mohon dikoreksi kalau ada salah, karena data-data ini akan diteruskan ke PT Timah dan wasit di Jakarta,” kata Jaksa.
 
Jaksa kemudian menanyakan maksud wasit di Jakarta tersebut kepada saksi eks GM Produksi PT Timah, Tbk, Ahmad Syamhadi.
 
“Nggak tau, betul saya nggak tau, saya belum pernah tanyakan kepada beliau (Harvey Moeis),” kata Ahmad.
 
Praktik korupsi di PT Timah ini bermula ketika perusahaan pelat merah itu mengalami penurusan produksi akibat penambangan ilegal yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Provinsi Bangka Belitung.
 
Untuk itu dibualah program kerjasama Mitra Jasa Penambangan untuk meningkatkan jumlah produksi tesrebut. Kerjasama itu menjadi celah korupsi, karena dalam praktiknya banyak perusahaan swasta yang ikut campur dalam pengelolaan penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah, Tbk.
 
Menurut Jaksa, program kemitraan jasa pertambangan yang terjadi sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 itu mengakibatkan terjadi pengeluaran PT Timah, Tbk yang tidak seharusnya sebesar Rp10.387.091.224.913 atau Rp 10,38 triliun. Selain itu adapula kerugian negara yang mencaai Rp 300 triliun dari praktik lancung tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus