Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kopi Sianida Mirna Salihin

Polisi mengusut kematian tak wajar seorang perempuan muda setelah menyeruput es kopi di sebuah restoran. Pemesan kopi jadi saksi kunci.

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JESSICA Kumala Wongso menutupi kepala dan wajahnya dengan jaket cokelat. Dikawal empat polisi, ia bergegas meninggalkan lorong gedung Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kamis dinihari pekan lalu. Perempuan 27 tahun itu buru-buru menuju mobil Toyota Alphard hitam yang siap-siap berangkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinihari itu, Jessica Wongso baru selesai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kematian rekannya, Wayan Mirna Salihin, 27 tahun. Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti, keterangan Jessica penting untuk mengungkap motif di balik kematian Mirna Salihin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mirna mengembuskan napas terakhir setelah menyeruput es kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu dua pekan lalu. Di restoran, tubuh Mirna kejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan busa. Sempat dilarikan ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, Mirna tak tertolong.

Penyidik Polda Metro Jaya baru turun tangan setelah kematian Mirna yang tak wajar ramai diperbincangkan di media sosial. Krishna sendiri yang menanyakan kabar simpang-siur itu ke Kepolisian Sektor Tanah Abang, yang menangani kasus ini sejak awal, Sabtu dua pekan lalu.

Kala itu penyidik polsek menyatakan penyelidikan terganjal sikap keluarga yang menolak korban diotopsi. Mendapat kabar itu, Krishna bersama timnya menemui keluarga korban di rumah duka. "Saya yakinkan bapak korban, tanpa otopsi, ketidakwajaran kematian ini tak akan terbongkar," kata Krishna.

Polisi mengotopsi jenazah Mirna di Rumah Sakit Bhayangkara Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta. Petugas mengambil contoh jaringan lambung, hati, dan empedu Mirna. Berdasarkan hasil otopsi, Mirna mengalami perdarahan mendadak di lambung. "Perdarahan disebabkan zat korosif yang merusak jaringan mukosa lambung," ujar Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Musyafak.

Hasil otopsi itu mengagetkan ayah Mirna, Edi Darmawan Salihin. Setahu Edi, riwayat kesehatan putrinya sangat baik. Mirna tak pernah menderita penyakit pencernaan serius. "Dia tak mengenal dokter dari kecil," kata Edi. Menurut sang ayah, kondisi fisik Mirna pun lebih kuat dibanding saudara kembarnya, Shendi Salihin.

* * *

EDI Darmawan tak berpikir aneh-aneh ketika Mirna meneleponnya pada Rabu dua pekan lalu. Dalam percakapan terakhir itu, Mirna pamit meninggalkan pekerjaan. "Dia bilang akan ada pertemuan dengan temannya," ujar Edi.

Sejak Mirna lulus kuliah dari Swinburne University of Technology di Melbourne, Australia, Edi meminta anaknya itu mengelola perusahaan keluarga, Misca Design. Berbekal keahlian desain grafis, Mirna menjabat direktur artistik di perusahaan tersebut.

Meski di rumah terbilang keras kepala, menurut Edi, sejak kecil Mirna pandai bergaul. "Temannya banyak," katanya. Semula Edi mengaku tak mengenal teman yang ditemui Mirna pada hari kematiannya.

Dua teman yang terakhir ditemui Mirna adalah Jessica dan Hani. Edi mengatakan dia baru mengenal kedua perempuan itu setelah mereka mengantar Mirna ke rumah sakit.

Ketiga perempuan itu merupakan alumnus universitas yang sama di Australia. Bedanya, setelah lulus kuliah, Mirna dan Hani kembali ke Tanah Air. Sedangkan Jessica memilih bekerja di Australia. Sejak Juli 2014, Jessica bekerja di NSW Ambulance, lembaga pelayanan pra-rumah sakit milik pemerintah New South Wales, Australia.

Pada hari terakhirnya, Mirna mengunjungi Grand Indonesia bersama suaminya, Arief Soemarko. Namun, setiba di mal, mereka berpisah. Mirna menuju restoran Olivier untuk membicarakan rencana reuni bersama Hani dan Jessica. Adapun suaminya memilih berkeliling mal.

Arief, yang berpacaran dengan Mirna sejak bangku sekolah, juga kuliah di Australia, tapi di kota berbeda: Sydney.

Berdasarkan rekaman kamera CCTV, Jessica datang lebih awal, sekitar 40 menit, ke restoran Olivier. Menurut keterangan pegawai restoran, Jessica pula yang memesankan tiga gelas minuman, yakni cocktail, fashioned sazerac, dan es kopi Vietnam. "Korban tidak memesan minuman, tapi dipesankan," ucap Krishna Murti.

Sebelum minuman itu jadi, Jessica membayar ke kasir sembari mengatakan, "Saya mau langsung tutup bill, biar jadi surprise." Pelayan pun meracik minuman dan kopi di meja bartender yang bisa dilihat pengunjung. Pelayan lalu mengantarkan minuman ke meja nomor 54, yang telah dipesan Jessica melalui telepon.

Khusus untuk es kopi Vietnam, yang dibanderol Rp 38 ribu per gelas, pelayan hanya menyajikan es dan susu kental manis. Di mulut gelas terpasang saringan yang berisi kopi. Pelayan biasanya menyeduh kopi dalam saringan dengan air panas di meja pemesan.

Setelah pelayan selesai menyajikan minuman, Jessica menaruh tiga tas kertas belanjaan di atas meja. Menurut seorang penyidik, tas-tas itu menghalangi gelas-gelas dari sorotan kamera CCTV.

Ketika Mirna dan Hani tiba di restoran, mereka bersalaman dan saling mencium pipi. Mirna lalu duduk di tengah, diapit Jessica dan Hani. Es batu di gelas kopi Vietnam di depan Mirna sudah mencair.

Sebelum meminum kopi, Mirna lebih dulu mencium baunya. Dia seperti mencium bau aneh. Dalam rekonstruksi Senin pekan lalu, Mirna yang diperankan seorang pelayan meminta kedua temannya mencium aroma kopi itu. Toh, Mirna akhirnya menyeruput kopi dengan sedotan. Baru sekali sedot, ia langsung mengeluh. "It's awful, it's so bad," kata Mirna seperti ditirukan Hani sewaktu rekonstruksi.

Satu-dua menit kemudian, Mirna tampak seperti orang kepanasan. Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan leher dan mulutnya. Mukanya tiba-tiba mengernyit seperti orang kesakitan. Tubuh Mirna pun mendadak kejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan busa.

Panik, Hani memanggil pelayan restoran.Sedangkan Jessica duduk terpaku di kursinya. Seorang lelaki memakai jas hitam datang menghampiri, meminta Jessica memberi jalan, lalu menyingkirkan gelas-gelas minuman.

Seorang manajer restoran meminta Jessica dan Hani menghubungi keluarga Mirna. Hani pun segera menelepon Arief dan memberitahukan kondisi istrinya. Di ujung telepon, Arief menyarankan Mirna diberi minuman teh manis hangat. Namun, melihat kondisi Mirna, Hani tak berani menjalankan saran Arief.

Mirna, yang tubuhnya kaku, kemudian dipindahkan ke kursi roda, lalu dibawa ke klinik yang ada di Mal Grand Indonesia. Menurut dokter klinik, Joshua, Mirnadibawa dalam keadaan pingsan. Namun kondisinya masih stabil. Denyut nadinya masih 80 kali per menit. Ia pun bernapas hingga 16 kali per menit. "Napasnya juga tak putus-putus," ujar Joshua.

Di klinik, Mirna hanya dirawat selama lima menit dengan bantuan pernapasan. Karena kondisi Mirna memburuk, Arief, bersama dua teman korban, membawa Mirna ke Rumah Sakit Abdi Waluyo dengan ambulans. Sewaktu tiba di rumah sakit, Mirna sudah meninggal.

Menurut Krishna Murti, karena penasaran, pemilik restoran Olivier sempat mencicipi tetesan kopi dari ujung sedotan di gelas Mirna. Meski meludahkan lagi kopi itu, lidah si pemilik restoran langsung kebas selama beberapa menit. Kopi di gelas itu baunya pun menyengat, seperti mengandung bahan kimia. Sekitar 30 menit kemudian, pemilik restoran itu merasa mual dan muntah-muntah.

Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI telah memeriksa sampel kopi di gelas Mirna dan bahan kopi yang belum diracik. Polisi tak menemukan zat berbahaya pada bahan kopi yang belum diracik. Sampai Jumat pekan lalu, polisi belum mengumumkan kandungan racun dalam es kopi di gelas Mirna.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan mengatakan kandungan racun dalam gelas Mirna diduga lebih kuat ketimbang racun yang menewaskan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. "Karena kematian Mirna sangat cepat," katanya.

Anton menduga senyawa kimia itu adalah sianida. Zat ini sering digunakan petani untuk membunuh hama. Meski sianida tak boleh dijual bebas, menurut Anton, bisa saja ada yang menjual zat berbahaya tanpa izin.

Selain mengandalkan tim Puslabfor Bareskrim, menurut Krishna, Polda Metro Jaya akan meminta bantuan ahli racun I Made Agus Gelgel untuk menguak misteri kematian Mirna. Ketika dihubungi Tempo, Gelgel tak bersedia berkomentar. "Saya tak bisa berandai-andai karena belum memiliki data kematian korban," ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis oleh Yuliawati dengan kontribusi Maya A.P, Avit Hidayat, Gangsar Parikesit, Istman Musaharun, dan Sidik Permana dari Bogor. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kopi Terakhir Mirna"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus