Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAFSU besar tenaga kurang, inilah tamsil untuk menggambarkan hasil program legislasi nasional yang digagas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Awal Januari silam, mereka sepakat menargetkan menyelesaikan pembahasan 55 rancangan undang-undang sepanjang 2005 ini. Tapi, jumlahnya hanya di angan-angan. Sampai pengujung tahun ini, hanya lahir 12 undang-undang.
Dari jumlah itu pun sebenarnya hanya empat yang masuk daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2005. Keempat undang-undang itu mengatur hal yang sama, yakni mengenai pembentukan pengadilan tinggi agama di Maluku Utara, Banten, Bangka-Belitung, dan Gorontalo. Sedangkan tujuh undang-undang lainnya tak ada dalam daftar. Undang-undang yang masuk di tengah jalan itu adalah Undang-Undang Keolahragaan Nasional, UU Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, UU Pemilihan Kepala Daerah, UU Rehabilitasi Aceh dan Nias, UU Perubahan APBN, dan UU Pemerintah Daerah.
Lantaran tak mungkin lagi menuntaskan RUU yang ditargetkan, pekan lalu Ketua Badan Legislasi Nasional DPR, A.S. Hikam, mengadakan rapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Hasilnya, diputuskan hanya 43 rancangan undang-undang yang diselesaikan tahun depan. ”Pembahasannya tak perlu cepat-cepat agar tak terjadi kesalahan sehingga nanti digugat ke Mahkamah Konstitusi,” kata Hamid Awaludin.
Jebloknya target pencapaian penyelesaian rancangan undang-undang ini menimbulkan kecaman dari sejumlah lembaga yang selama ini giat memonitor program legislasi, seperti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi). ”Pencapaian program legislasi ini payah, merah rapornya,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti.
Bivitri mempertanyakan skala prioritas dalam penyusunan program legislasi nasional. Misalnya, masuknya RUU Keolahragaan ”di tengah jalan” itu. Hikam mengakui undang-undang tentang olahraga ini rampung cepat, sekitar dua bulan. ”Tidak ada diskusi yang ribut seperti rancangan undang-undang yang lain,” kata Hikam. Tapi, justru ini yang digugat Bivitri. ”Apa urgensi undang-undang itu saat ini?” ujarnya.
Menurut Bivitri, seharusnya undang-undang yang mendorong pemberantasan korupsi, seperti RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan RUU Perlindungan Saksi dan Korban, yang harus diprioritaskan. Apalagi, katanya, kedua rancangan undang-undang ini masuk Program Legislasi Nasional 2005.
DPR dan pemerintah sendiri memiliki sejumlah alasan perihal jebloknya target penyelesaian rancangan undang-undang itu. Hikam mengeluhkan mepetnya waktu karena Program Legislasi Nasional 2005 baru ditetapkan 1 Februari lalu. Selain itu, kata Hikam, para anggota Badan Legislasi juga merangkap anggota komisi. Akibatnya, tugas-tugas di Badan Legislasi kerap dinomorduakan. ”Jadi untuk rapat saja sering di atas jam dua atau empat. Jam segitu, anggota kan sudah letoi,” ujarnya.
Hikam juga menunjuk kurangnya respons pemerintah sebagai penyebab leletnya pembahasan RUU. Banyak rancangan yang mandek karena presiden tak kunjung mengeluarkan surat presiden atau yang dulu dikenal dengan nama amanat presiden (ampres). Fungsi surat presiden adalah untuk menentukan partner pemerintah di DPR guna membahas suatu undang-undang. Menurut Hikam, seharusnya Hamid Awaludin, sebagai Menteri Hukum, aktif mengurus surat presiden itu. ”Tapi, mungkin dia sibuk ngurusin Gerakan Aceh Merdeka,” ujarnya.
Di mata Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Oka Mahendra, seretnya penuntasan RUU tak semata karena faktor kesibukan DPR atau tak turunnya surat presiden. Oka menunjuk terlambatnya pencairan anggaran sebagai faktor lain. ”Kendati disahkan pada Februari, anggaran baru turun pada Mei,” ujarnya.
Bukan semata terlambat turun, jumlah anggaran itu pun menjadi masalah. Menurut anggota Badan Legislasi DPR Azis Syamsuddin, dana sebesar Rp 350 juta untuk membahas satu undang-undang adalah sangat kurang. ”Karena prosesnya panjang, dari pembuatan naskah akademik, dengar pendapat, sosialisasi, sampai pembahasan,” katanya.
Menurut Bivitri, rendahnya perolehan undang-undang ini bisa jadi karena DPR selama ini sibuk dengan fungsi pengawasan mereka. Apalagi, kata Bivitri, fungsi pengawasan relatif lebih mudah ketimbang membuat undang-undang. ”Sepanjang tahun ini, lihat saja, banyak sekali isu politik yang muncul. Dari kenaikan harga BBM, soal perjanjian damai dengan GAM, hingga kenaikan tunjangan DPR,” katanya.
Adapun soal dana, menurut Bivitri, faktor pihak luar juga sangat berpengaruh. Semakin banyak kepentingan yang terlibat, katanya, akan semakin besar kemungkinan uang bermain di balik pembuatan atau pembahasan RUU. ”Ini yang menyebabkan ada undang-undang yang cepat dibahas, tapi ada juga yang bertahun-tahun tak jelas nasibnya,” kata Bivitri.
Hikam mengakui campur tangan pihak luar memang selalu ada. Ia lalu menunjuk RUU Perpajakan, yang kini sedang ramai dibicarakan di DPR. Menurut Hikam, karena banyak yang berkepentingan dengan RUU ini, kelak lobi-lobi untuk mengegolkan berbagai pasal dalam RUU bakal seru. Lobi di sini, kata Hikam, termasuk dari para pengusaha. ”Ini wajar saja, orang bisnis mau dipajaki kan pasti melawan,” ujarnya.
Hikam sendiri menyadari target penyelesaian 55 undang-undang dalam setahun terlalu muluk dan bahkan tidak rasional. ”Bisa selesai 30 undang-undang dalam setahun itu sudah dahsyat,” katanya. Adapun Azis Syamsuddin dan Oka Mahendra menyebut, idealnya setahun DPR merampungkan 30 sampai 35 undang-undang.
Tapi, soal jumlah yang dianggap tidak rasional ini dibantah Bivitri. ”Tak ada ukuran rasional atau tak rasional,” katanya. Menurut Bivitri, DPR periode 1999-2004 menghasilkan 172 undang-undang, meski sebagian adalah tentang pemekaran wilayah. Jumlah ini lebih besar dari prestasi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 1945-1950, yang menghasilkan 135 undang-undang. DPR periode 2004-2009 menargetkan 284 undang-undang.
Hikam berharap target 43 undang-undang pada tahun depan bisa dipenuhi. Apalagi dengan tata tertib baru DPR yang disahkan 24 Oktober lalu. Dalam tata tertib itu kewenangan Badan Legislasi dipertegas sebagai law center, setiap RUU yang akan dibahas harus masuk badan ini. Mulai tahun depan, badan ini juga diberi hak mengajukan anggaran sendiri, tak seperti sekarang yang masuk dalam anggaran Sekretariat Jenderal DPR.
Dengan anggaran baru itu, akan ada penambahan tenaga drafter (pembuat draf undang-undang), peneliti, dan staf ahli. Selama ini Badan Legislasi hanya memiliki 17 drafter yang itu pun di bawah Sekjen DPR. ”Idealnya harus ada 15 drafter,” kata Hikam. Menurut Hikam, Badan Legislasi yang dipimpinnya idealnya harus otonom dan menjadi komisi sendiri. Jadi, dengan demikian, komisi lain tak lagi membikin undang-undang seperti selama ini terjadi. ”Mereka kan bukan ahli hukum, melainkan politisi,” kata Hikam.
Menurut Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, alasan yang dikemukakan Hikam tak semuanya tepat. ”Kalau soal tak turunnya surat presiden, DPR bisa mempertanyakannya kepada pemerintah,” tuturnya. Sebastian melihat rendahnya pencapaian target penyelesaian RUU itu semata karena rendahnya komitmen anggota DPR terhadap tugas mereka. ”Kepedulian mereka bukan pada kepentingan publik, melainkan pada kepentingan pribadi,” ujarnya.
Abdul Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo