Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHMAD Royadi tergolek letoi di ranjangnya yang reot. Tubuh kerempeng pegawai kantor Kelurahan Muara Ciujung Timur, Rangkasbitung, Banten itu kian kurus lantaran tak doyan makan. Pria 34 tahun yang biasanya murah senyum itu juga sulit memicingkan mata.
Menurut Ana Noviana, istri Royadi, suaminya kerap bengong. Ada pula saatnya ia tiba-tiba menggigil, kulit tangannya merinding, dan berkeringat dingin. Begitulah kejadiannya sejak Royadi pulang dari kantor kecamatan pada Senin pekan lalu. ”Dia sering mengigau, menyebut nama Calvin dan Gunawan,” tutur Ana, ibu dua anak itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Ketika Tempo mengajaknya bersalaman untuk pamitan, ia malah menangis. ”Demi Allah, saya tidak membantu buron,” katanya. Pegawai tidak tetap di Kelurahan Muara Ciujung Timur itu telah berkhidmat selama 13 tahun. ”Gara-gara KTP, ia depresi,” kata Lukman Hakim, Camat Rangkasbitung. ”Saya sarankan dibawa ke rumah sakit untuk terapi.”
Di ruang kerja Lukman, Senin pekan lalu, Royadi dicecar pertanyaan aparat Polda Metro Jaya perkara kartu tanda penduduk (KTP) atas nama Calvin Satya. Itulah nama samaran Gunawan Santosa, terpidana mati yang menjadi buron dalam kasus pembunuhan Presiden Direktur PT Aneka Sakti Bakti, Boedyharto Angsono. Ia enyah dari penjara Cipinang pada 5 Mei 2006, kemudian dibekuk di Plaza Senayan, 20 Juli lalu.
Di KTP Calvin tercantum alamat RT 01/IX, Kelurahan Ciujung Timur, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Ketua RT setempat, Nugraha Sulistya, memastikan tak ada alamat itu. ”Saya juga tak punya warga bernama Calvin,” katanya.
Kepada polisi, Royadi menjelaskan berkas kartu penduduk Calvin diajukan pada 28 Maret 2007. Ia tak tahu siapa yang menaruh berkas Gunawan di meja kerjanya. ”Ketika saya datang ke kantor, berkas KTP sudah di meja kerja saya,” kata Royadi, yang gajinya Rp 350 ribu per bulan.
Tanpa berpikir panjang, Royadi langsung mengetik data KTP Calvin ke lembar formulir. Ia sendiri yang mengantarkan berkas KTP berikut selembar foto ”Calvin Satya” berukuran 2x3 sentimeter, dan uang Rp 15 ribu, ke kantor kecamatan. Sarjono, Lurah Muara Ciujung Timur yang juga ikut diperiksa, mengaku cuma membuatkan surat pengantar permohonan KTP Calvin. ”Saya tak sempat mengecek satu per satu pemohon. Itu urusan dia,” katanya, menunjuk Ahmad Royadi.
Syarat pembuatan KTP memang tak cukup hanya dengan menyetorkan selembar foto. Pemohon wajib menyertakan fotokopi KTP lama, melampirkan fotokopi kartu keluarga, yang dilengkapi surat pengantar RT setempat. ”Prosedur ini memang tidak dipenuhi,” kata Lukman Hakim. ”Kami akan memberikan sanksi terhadap mereka yang bersalah.”
Dengan KTP ”tembak” itulah Gunawan berhasil mengecoh sejumlah instansi. Paspor atas nama Calvin telah memudahkan ia melancong ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan Cina, melalui Batam. Dengan nama ini pula ia mengurus kartu kredit BRI dan BCA.
Kepala Satuan Keamanan Negara Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Tornagogo Sihombing, memastikan bahwa kasus pemalsuan identitas Gunawan belum ada tersangkanya. ”Keterangan aparat di Rangkasbitung belum cukup,” katanya kepada Tempo. ”Perlu keterangan saksi lain, termasuk pihak imigrasi.”
Tornagogo mengaku belum menemukan kantor imigrasi yang menerbitkan paspor Gunawan. Ucu Sudjono, kepala tempat pemeriksaan imigrasi Pelabuhan Internasional Batam Center, telah mengaduk-aduk data komputernya: nama Calvin Satya tak ditemukan. Yang ada nama David Calvin Salim, dengan nomor paspor M-726496. Foto dalam paspor mirip Gunawan. ”Tapi, apakah nama itu yang dimaksud, saya tidak tahu,” katanya.
Pada Rabu lalu, Gunawan dipindahkan dari penjara Cipinang ke penjara Nusakambangan. ”Kami tak ingin kecolongan untuk yang kesekian kalinya,” kata juru bicara Direktorat Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, M. Akbar Hadiprabowo, memberikan alasan. Adapun agenda eksekusi hukuman mati terhadap Gunawan belum terjadwal.
Jaksa Agung Hendarman Supandji, penentu jadwal eksekusi, mempersilakan pengacara Alamsyah Hanafiah mengajukan peninjauan kembali perkara kliennya. Alamsyah mengatakan, bukti baru yang disiapkan bukan menyangkut pembunuhan Boedyharto Angsono. ”Novum yang kami susun berupa kasus serupa tapi putusannya berbeda,” katanya.
Dia mencontohkan kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001, yang melibatkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Anak bekas penguasa Orde Baru itu dihukum 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena mendalangi pembunuhan Syafiuddin.
Begitu pula kasus Adiguna Sutowo, yang membunuh Johannes Chaerudy Natong alias Rudy Natong pada 1 Januari 2005. Anak Ibnu Sutowo itu cuma dihukum 7 tahun penjara. ”Pasal 340 yang dipakai memutus kedua kasus ini sama dengan pasal yang dijeratkan kepada klien saya,” ujar Alamsyah.
Alamsyah menyadari, tidak setiap pelaku kasus pembunuhan berencana dipidana mati. ”Jadi, dalam kasus ini ada yang diistimewakan, sehingga mengusik rasa keadilan,” katanya.
Rudy Satrio, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, menganggap pengajuan kasus Tommy dan Adiguna bukan kategori novum yang bisa dipakai sebagai alat untuk meninjau ulang perkara Gunawan Santosa. ”Yang dimaksud novum adalah bukti atas perkara, bukan bukti atas putusan hakim,” katanya.
Dalam proses hukum, ia menambahkan, siapa saja boleh mengajukan bukti baru atas putusan hakim. ”Tapi, untuk kasus Gunawan, hasilnya akan sia-sia,” kata Rudy kepada Tempo. Peluang grasi pun, menurut dia, akan ditolak karena perkaranya amat berat dan Gunawan berulang kali kabur dari bui.
Elik Susanto, Faidil Akbar, Rumbadi Dalle (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo