Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Meragukan kebolehan si kakek

Mahkamah Agung minta agar perkara Abu Naim, 61, di periksa kembali. Abu Naim telah divonis 16 th penjara (1978) oleh pengadilan negeri Magelang, karena dituduh memperkosa 7 gadis cilik. (hk)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTAMA kali terjadi: Dalam kasus susila Mahkamah Agung perlu mempertimbangkan akibat kejahatan seks dalam memutus perkara kasasi. Untuk itu, Pengadilan Negeri Magelang disuruh memeriksa kembali perkara Abu Naim yang telah divonis 16 tahun penjara pada 1978 karena memperkosa tujuh gadis cilik. Saksi-saksi kembali didengar 5 dan 11 Oktober lalu, untuk mengetahui apakah ada efek, baik lahiriah maupun psikologis akibat perkosaan itu. Soalnya, Abu Naim ketika melakukan perkosaan, April 1977, telah berusia 61 tahun. Mahkamah Agung meragukan "kegagahan" kakek ini. Bagai motor tahun-tahun 1930-an yang sudah peot, kata Hakim Agung Piola Isa, kok masih bisa berjalan ratusan kilometer. "Logis nggak? Bagaimana hakim bisa menerima kenyataan ini," katanya. Selain itu, menurut ketua muda Mahkamah Agung ini, bisa saja para korban tak memberikan kesaksian yang jujur. Korban mencucurkan air mata, atau yang lain, sehingga menimbulkan rasa iba, baik bagi jaksa maupun hakim. Untuk itulah, "kami meminta tambahan pemeriksaan sebelum mengeluarkan putusan akhir," ujar Piola. Setelah sidang pertama hampir enam tahun berlalu, tentu tak semua saksi dapat didatangkan. Dua dari tujuh gadis yang kini sedang mekar itu telah bekerja di Semarang dan Surabaya. Tapi kelima korban yang hadir kembali mengungkapkan keterangan mereka pada 1978. "Peristiwa perkosaan itu tetap mereka ingat," kata Suharjo, hakim yang memeriksa kembali kasus ini. Kelima gadis itu menyatakan, seperti dulu, sering sakit perut setelah diperkosa Abu Naim. "Bahkan saya sering ngompol di malam hari," kata Siti Fatimah. Kini berumur 14 tahun, Fatimah mengatakan digagahi Abu Naim di WC. Rumah mereka memang hanya berjarak sekitar 100 meter di Pedukuhan Gajaban, Kelurahan Banyusari, Magelang. "Waktu itu saya berumur delapan tahun, dan saya mau diajak ke jamban Mbah Abu karena saya diberi uang Rp 50 dan buah duku," kata gadis kuning langsat bertubuh semampai ini kepada TEMPO. Tak hanya karena itu Fatimah tergoda. Ia mau "digituin" Abu Naim karena dua temannya, Siti Afidah - waktu itu berumur 10 tahun - dan Sri Lestari - ketika itu berusia tujuh tahun - pernah pula diperlakukan serupa. Bahkan kemudian dari penakuan Siti Afidah diketahui ada empat anak lain yang "digauli" Abu Naim. Yakni Sumarti dan Isnaningsih yang berumur tujuh tahun serta Sutarni dan Supariyah yang berusia delapan tahun. Sutarni mengatakan, ia ditangkap di gardu depan rumah Abu Naim. Kemudian ia digarap di sebuah lubang di kebun belakang rumah si kakek. "Mulut saya disumbat dengan celana dalam saya," kata Sutarni, yang sekolah hanya sampai kelas 4 SD. Kemudian, ia diancam dengan pisau agar tak menceritakan pada orang lain. "Setelah itu, saya diberi pula uang Rp 50 oleh Mbah Abu," tuturnya. Adalah Yatinah, ibu Siti Fatimah, yang menangkap basah perlakuan Abu Naim pada anaknya. Hari itu, 27 Maret 1977, ketika kebanyakan lelaki di Gajaban sedang di sawah, tiba-tiba Sri Lestari yang berumur tujuh tahun datang melapor, "Fatimah ada di WC bersama Abu Naim," cerita Yatinah. Ibu ini kemudian bergegas dan, katanya, memergoki perbuatan mesum Abu Naim. Suaminya, Purwito, kemudian mengadukan hal itu kepada polisi. Visum yang dibuat Eko Kuntjoro, dokter Puskesmas Grabag, pada 6 April 1977, menyebutkan selaput dara para korban robek serta mengalami pendarahan. "Tapi waktu itu tidak ada yang mengalami infeksi," kata Eko yang kembali diminta keterangannya di pengadilan 5 Oktober lalu. "Tapi saya tak yakin, perkosaan itu ada hubungan dengan sakit perut dan ngompol seperti dikatakan korban," ujarnya. Apakah ada akibat psikologis seperti diminta Mahkamah Agung? Eko tak bersedia menjawab karena ia bukan psikiater. Tapi dr. Soejono Prawirohardjo, ketua Bagian Jiwa Fakultas Kedokteran UGM mengatakan, tak bisa diterima secara ilmiah pemerkosaan mengakibatkan korban sering sakit perut dan ngompol. "Tapi secara kejiwaan, korban bisa mengalami frigiditas," katanya. Korban mengalami trauma, tak bergairah bersanggama. Keadaannya bisa lebih parah ketimbang bocah yang menyaksikan orangtuanya "bergaul". "Tapi ini tak berlaku untuk semua orang. Tergantung pada kekuatan mental si anak," katanya seraya menyayangkan pemeriksaan ulang perkara Abu Naim ini, yang tak mendengar keterangan ahli jiwa. Abu Naim sendiri tetap bertahan. Ia menolak tuduhan memperkosa ketujuh gadis cilik itu. Meski sudah dipenjarakan 6« tahun, lelaki dengan dua istri (seorang dicerai 1931) dan ayah dua anak perempuan serta empat anak lelaki yang sudah merantau ke luar Jawa ini tetap tidak menunjukkan kekecewaan atau penyesalan. "Padahal, perbuatannya merusakkan masa depan gadis-gadis itu," kata Hakim Tony Hartono yang menangani perkara Abu Naim tahun 1978. "Karenanya, saya jatuhkan hukuman yang paling berat - tambah sepertiganya," katanya menjelaskan putusannya menghukum Abu Naim 16 tahun penjara. Dan bahwa atasannya meminta perkara itu diperiksa kembali, "itu urusan Mahkamah Agung," ucapnya. "Saya tetap tidak bisa menerima hukuman ini," kata Abu Naim di LP Magelang. "Dulu, saya sampai dipukuli dan disetrum polisi karena tidak mau mengaku," kata bekas mandor romusha masa Jepang ini dengan sorot mata yang tajam. Nasib yang menimpanya, katanya, adalah fitnah semata. Ini gara-gara ayah Fatimah, Purwito, menaruh dendam. Pernah Purwito membikin pagar yang menyebabkan para tetangga tak bisa keluar rumah. "Dan hanya saya yang berani membonkar pagar itu," kata lelaki bertubuh kecil dan pendek (150 cm) ini. Kini di LP ia tak putus berpuasa. "Sejak dua bulan masuk penjara, saya tak henti berpuasa," ujar bekas lurah tahun 1949 ini. Untuk apa? "Kalau saya memang berdosa, agar diampuni. Dan supaya cepat bebas karena saya memang tidak bersalah." Dan kelak, seandainya bebas, ia akan kembali ke desanya. "Saya tak malu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus