Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTAMA kali terjadi: Dalam kasus susila Mahkamah Agung perlu
mempertimbangkan akibat kejahatan seks dalam memutus perkara
kasasi. Untuk itu, Pengadilan Negeri Magelang disuruh memeriksa
kembali perkara Abu Naim yang telah divonis 16 tahun penjara
pada 1978 karena memperkosa tujuh gadis cilik. Saksi-saksi
kembali didengar 5 dan 11 Oktober lalu, untuk mengetahui apakah
ada efek, baik lahiriah maupun psikologis akibat perkosaan itu.
Soalnya, Abu Naim ketika melakukan perkosaan, April 1977, telah
berusia 61 tahun. Mahkamah Agung meragukan "kegagahan" kakek
ini. Bagai motor tahun-tahun 1930-an yang sudah peot, kata Hakim
Agung Piola Isa, kok masih bisa berjalan ratusan kilometer.
"Logis nggak? Bagaimana hakim bisa menerima kenyataan ini,"
katanya.
Selain itu, menurut ketua muda Mahkamah Agung ini, bisa saja
para korban tak memberikan kesaksian yang jujur. Korban
mencucurkan air mata, atau yang lain, sehingga menimbulkan rasa
iba, baik bagi jaksa maupun hakim. Untuk itulah, "kami meminta
tambahan pemeriksaan sebelum mengeluarkan putusan akhir," ujar
Piola.
Setelah sidang pertama hampir enam tahun berlalu, tentu tak
semua saksi dapat didatangkan. Dua dari tujuh gadis yang kini
sedang mekar itu telah bekerja di Semarang dan Surabaya. Tapi
kelima korban yang hadir kembali mengungkapkan keterangan mereka
pada 1978. "Peristiwa perkosaan itu tetap mereka ingat," kata
Suharjo, hakim yang memeriksa kembali kasus ini.
Kelima gadis itu menyatakan, seperti dulu, sering sakit perut
setelah diperkosa Abu Naim. "Bahkan saya sering ngompol di malam
hari," kata Siti Fatimah. Kini berumur 14 tahun, Fatimah
mengatakan digagahi Abu Naim di WC. Rumah mereka memang hanya
berjarak sekitar 100 meter di Pedukuhan Gajaban, Kelurahan
Banyusari, Magelang. "Waktu itu saya berumur delapan tahun, dan
saya mau diajak ke jamban Mbah Abu karena saya diberi uang Rp 50
dan buah duku," kata gadis kuning langsat bertubuh semampai ini
kepada TEMPO.
Tak hanya karena itu Fatimah tergoda. Ia mau "digituin" Abu Naim
karena dua temannya, Siti Afidah - waktu itu berumur 10 tahun -
dan Sri Lestari - ketika itu berusia tujuh tahun - pernah pula
diperlakukan serupa. Bahkan kemudian dari penakuan Siti Afidah
diketahui ada empat anak lain yang "digauli" Abu Naim. Yakni
Sumarti dan Isnaningsih yang berumur tujuh tahun serta Sutarni
dan Supariyah yang berusia delapan tahun.
Sutarni mengatakan, ia ditangkap di gardu depan rumah Abu Naim.
Kemudian ia digarap di sebuah lubang di kebun belakang rumah si
kakek. "Mulut saya disumbat dengan celana dalam saya," kata
Sutarni, yang sekolah hanya sampai kelas 4 SD. Kemudian, ia
diancam dengan pisau agar tak menceritakan pada orang lain.
"Setelah itu, saya diberi pula uang Rp 50 oleh Mbah Abu,"
tuturnya.
Adalah Yatinah, ibu Siti Fatimah, yang menangkap basah perlakuan
Abu Naim pada anaknya. Hari itu, 27 Maret 1977, ketika
kebanyakan lelaki di Gajaban sedang di sawah, tiba-tiba Sri
Lestari yang berumur tujuh tahun datang melapor, "Fatimah ada di
WC bersama Abu Naim," cerita Yatinah. Ibu ini kemudian bergegas
dan, katanya, memergoki perbuatan mesum Abu Naim. Suaminya,
Purwito, kemudian mengadukan hal itu kepada polisi.
Visum yang dibuat Eko Kuntjoro, dokter Puskesmas Grabag, pada 6
April 1977, menyebutkan selaput dara para korban robek serta
mengalami pendarahan. "Tapi waktu itu tidak ada yang mengalami
infeksi," kata Eko yang kembali diminta keterangannya di
pengadilan 5 Oktober lalu. "Tapi saya tak yakin, perkosaan itu
ada hubungan dengan sakit perut dan ngompol seperti dikatakan
korban," ujarnya.
Apakah ada akibat psikologis seperti diminta Mahkamah Agung? Eko
tak bersedia menjawab karena ia bukan psikiater. Tapi dr.
Soejono Prawirohardjo, ketua Bagian Jiwa Fakultas Kedokteran UGM
mengatakan, tak bisa diterima secara ilmiah pemerkosaan
mengakibatkan korban sering sakit perut dan ngompol. "Tapi
secara kejiwaan, korban bisa mengalami frigiditas," katanya.
Korban mengalami trauma, tak bergairah bersanggama. Keadaannya
bisa lebih parah ketimbang bocah yang menyaksikan orangtuanya
"bergaul". "Tapi ini tak berlaku untuk semua orang. Tergantung
pada kekuatan mental si anak," katanya seraya menyayangkan
pemeriksaan ulang perkara Abu Naim ini, yang tak mendengar
keterangan ahli jiwa.
Abu Naim sendiri tetap bertahan. Ia menolak tuduhan memperkosa
ketujuh gadis cilik itu. Meski sudah dipenjarakan 6« tahun,
lelaki dengan dua istri (seorang dicerai 1931) dan ayah dua anak
perempuan serta empat anak lelaki yang sudah merantau ke luar
Jawa ini tetap tidak menunjukkan kekecewaan atau penyesalan.
"Padahal, perbuatannya merusakkan masa depan gadis-gadis itu,"
kata Hakim Tony Hartono yang menangani perkara Abu Naim tahun
1978. "Karenanya, saya jatuhkan hukuman yang paling berat -
tambah sepertiganya," katanya menjelaskan putusannya menghukum
Abu Naim 16 tahun penjara. Dan bahwa atasannya meminta perkara
itu diperiksa kembali, "itu urusan Mahkamah Agung," ucapnya.
"Saya tetap tidak bisa menerima hukuman ini," kata Abu Naim di
LP Magelang. "Dulu, saya sampai dipukuli dan disetrum polisi
karena tidak mau mengaku," kata bekas mandor romusha masa Jepang
ini dengan sorot mata yang tajam. Nasib yang menimpanya,
katanya, adalah fitnah semata. Ini gara-gara ayah Fatimah,
Purwito, menaruh dendam. Pernah Purwito membikin pagar yang
menyebabkan para tetangga tak bisa keluar rumah. "Dan hanya saya
yang berani membonkar pagar itu," kata lelaki bertubuh kecil
dan pendek (150 cm) ini.
Kini di LP ia tak putus berpuasa. "Sejak dua bulan masuk
penjara, saya tak henti berpuasa," ujar bekas lurah tahun 1949
ini. Untuk apa? "Kalau saya memang berdosa, agar diampuni. Dan
supaya cepat bebas karena saya memang tidak bersalah." Dan
kelak, seandainya bebas, ia akan kembali ke desanya. "Saya tak
malu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo