Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI sehari-hari menginap di ruang tahanan Markas Besar Kepolisian RI, Nyonya Arum tampak santai. Ketika diintip TEMPO pada Jumat pekan lalu, wanita 27 tahun itu sedang sibuk memeras dan menjemur cucian. Sesekali ia mau melayani wawancara, berbicara melalui dinding berlubang. "Saya mohon, saya jangan dihukum berat," katanya.
Ibu dua anak tersebut sedang menjadi sorotan publik. Diduga ia menjadi otak penjualan sepuluh anak baru gede (ABG) kepada lelaki hidung belang. Seorang anak masih berusia 15 tahun, lima anak masih berumur 16 tahun, dua anak berusia 17 tahun, dan sisanya berumur 18 tahun. Komplotan Arum dibeberkan oleh Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri akhir Mei lalu. "Sebagian pelakunya masih kami kejar," ujar Brigjen Aryanto Sutadi dari lembaga itu.
Tinggal di Kelurahan Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, Arum ditangkap basah pada Rabu dua pekan silam. Saat itu ia tengah menawarkan seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) kepada dua lelaki. Si ibu tak menyadari bahwa dua calon konsumennya adalah polisi yang sedang menyamar. Tanpa ampun, wanita tersebut langsung ditahan sekaligus ditetapkan sebagai tersangka.
Perbuatan Arum terungkap karena laporan penduduk setempat yang tak suka daerahnya "dikotori". Sehari-hari Arum tinggal di rumah kontrakannya sambil menjual es jus dan makanan ringan. Warungnya yang sederhana, bernama Pojok Cafe, menjadi tempat nongkrong ABG. Gaya anak-anak yang umumnya masih SLTP (beberapa di antaranya sudah duduk di sekolah menengah umum) itu membuat orang curiga. Mereka berpakaian keren dan memiliki handphone. Padahal, "Kebanyakan dari mereka anak tukang bajaj dan ibunya buruh cuci," kata Satri, salah seorang warga setempat.
Pelanggan es jus yang sudah mulai akrab lalu ditawari berbagai barang, dari baju, sepatu, sampai telepon genggam. Tak perlu duit karena mereka bisa mengutang. Kalau mereka sudah tak mampu membayar, barulah Arum menjerat dengan moto "cara mudah mencari uang". "Kamu cuma diajak jalan-jalan. Hanya bagian atas kok yang di-grepe. Setelah itu, kamu mendapat uang dan bisa melunasi utang," begitulah Arum merayu korbannya, seperti ditirukan penyidik polisi.
Arum tidak bekerja sendirian. Ada semacam jaringan yang memasarkan korban. Kalau si korban sudah manut, mereka menghubungi pelanggan dan mengantarkan siswi SLTP itu ke tempat yang sudah dijanjikan. Biasanya mereka bertemu di gerai McDonald's Tebet atau Pasar Raya Manggarai. Di tempat itulah nanti ketemu lelaki dewasa penggemar anak gadis. "Kami hanya membuka kesempatan. Selanjutnya terserah anak itu," kata Lala, salah seorang kaki tangan Arum yang turut ditahan polisi.
Seorang korban, sebut saja Melati, 16 tahun, merasa ditipu. Dia mengaku dijual kepada om-om ke penginapan di kawasan Cililitan setelah diperkenalkan Arum dengan lelaki hidung belang di gerai warung cepat saji. "'Saya pikir seperti janjinya, cuma daerah pasfoto, di-grepe bagian atas saja, tapi malah semuanya diambil," katanya sambil tertunduk.
Semula uang yang diterima Melati cukup besar, Rp 700 ribu. Tapi, setelah beberapa kali kencan, bayarannya cuma Rp 200 ribu-Rp 300 ribu. "'Semuanya habis buat membayar utang dan foya-foya," katanya. Agar "kegiatannya" tak terendus orang tuanya, jam operasi dilakukan siang hari. "Siang ketemu om-om, sorenya sudah pulang, jadi malam ada di rumah," kata warga Pasar Manggis, Setiabudi, itu.
Hanya, Lala, 21 tahun, masih membantah bahwa Arum dan dirinya menjerumuskan anak-anak perawan. "Emang anaknya saja yang sudah gatal, kok," ujarnya membela diri. Menurut Lala, yang mengaku baru sekali mengantarkan gadis SLTP tetangganya sendiri, tak ada paksaan. "Kalau kami maksa, ya, mereka teriak-teriak, dong. Buktinya kagak," katanya.
Tuduhan menjual perawan juga ditampik mati-matian oleh Lala. "Kalau perawan, masa, harganya cuma Rp 300 ribu? Pasti jutaan, dong," ujarnya. Dari 10 korban yang diidentifikasi oleh polisi, ia mengaku bahwa dirinya dan Arum hanya menjual seorang gadis yang orang tuanya mengadu ke polisi.
Lewat Lala, polisi berhasil menangkap tiga laki-laki pelahap ABG. Mereka kerap memesannya dari jaringan Arum. Kini petugas sedang mengejar kaki tangan Arum yang lain. Sejauh ini, sembilan saksi sudah diperiksa untuk membongkar sindikat ini. "Mudah-mudahan jaringan mereka bisa terkuak. Kami masih menyelidikinya lebih lanjut," kata Inspektur Jenderal Dadang Garnida, Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Tak hanya di Jakarta, kisah nestapa anak perawan yang dijual kepada lelaki amoral muncul di Ambarawa, Jawa Tengah. Sebelas perawan tanggung dijual ke muncikari di lokalisasi Moro Seneng, Jawa Timur. Perbuatan itu dilakukan oleh Bambang, warga Gresik, Jawa Timur. Dialah yang mencari perawan bau kencur ke desa-desa lewat jaringannya. Mereka diberi janji bekerja di restoran atau kafe di Surabaya. Tapi, setelah terjerat bujukan Bambang, gadis baru gede itu dijual ke germo Tuminah seharga Rp 400 ribu sampai Rp 700 ribu. "Harga tergantung paras wajahnya. Kalau cantik, bisa laku Rp 700 ribu. Kalau biasa-biasa saja, cuma dapat Rp 300 ribu," kata Bambang.
Kini Bambang, tiga anak buahnya, dan dua germo ditahan polisi di Penjara Ambarawa. Keenam orang itu kini tinggal menunggu proses pengadilan. Mereka dijerat dengan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memperdagangkan perempuan, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun.
Hukuman sebegitu dirasakan tak sebanding dengan derita anak gadis yang dijual. "Saya takut. Pria yang saya layani kasar-kasar. Saya sampai kesakitan," kata Kembang, 16 tahun, warga Desa Kupang Dukuh yang jadi korban. Berbeda dengan rekan senasib di Jakarta, ia dan kawan-kawan cuma mendapat Rp 45 ribu setiap kali melayani tamu.
Boleh jadi banyak Arum atau Bambang lain yang kini masih gentayangan. Soalnya, menurut Kepala Perwakilan Dana PBB untuk Anak-anak, Steven Allen, diperkirakan ada 70 ribu anak Indonesia yang diperdagangkan untuk obyek seks. Maraknya perdagangan anak di Indonesia ini menjadi sorotan utama konferensi regional "Menentang Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual" di Medan akhir Maret lalu.
Allen berharap Indonesia mencontoh Thailand, Kamboja, dan India, yang kini aktif memerangi perdagangan anak. "Perlu kerja sama yang erat untuk memerangi mafia perdagangan anak yang terorganisasi di kawasan ini," katanya.
Pihak kepolisian pun tak tinggal diam. Menurut Irjen Dadang Garnida, pihaknya berupaya mengaitkan kasus anak Menteng Atas dengan children and woman trafficking antarnegara. "Jaringan semacam itu tak boleh dibiarkan berkembang. Berbahaya," katanya. Dadang berharap semua aparat penegak hukum bisa kompak menghukum berat para pelaku perdagangan anak untuk tujuan seksual itu.
Hanya, sejauh ini, polisi yang menangani kasus Arum belum selesai membuat berita acara pemeriksaan. Belum jelas pula pasal apa saja yang dipakai untuk menjerat tersangka. Selain dengan pasal KUHP, semestinya mereka dijaring dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Soalnya, korban umumnya masih berusia di bawah 18 tahun, yang menurut undang-undang itu masih dalam kategori anak. Bila tersangka dijerat dengan undang-undang tersebut, ancaman hukumannya akan jauh lebih berat. Mereka bisa dihukum 10 tahun penjara atau denda Rp 200 juta.
Ancaman tersebut cukup setimpal, atau malah kurang berat, dibandingkan dengan penderitaan yang dialami korban dan keluarganya. Nyonya Sri, ibu Melati, yang menjadi korban, sudah merasakannya. Berbeda dengan Nyonya Arum yang tampak santai di tahanan, ia tampak terpukul. "Saya sedih sekali, anak saya yang masih kecil dan belum tahu apa-apa sudah dibegitukan," ujarnya sambil menangis berkaca-kaca. Hanya satu hal yang berkali-kali dia harapkan: pelakunya dihukum seberat-beratnya.
Ahmad Taufik, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo