Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hazmat Berkode Baju Bayi

Ratusan ribu set alat pelindung diri dengan kode HS yang tak sesuai lolos ekspor ke Korea. Diselesaikan di bawah meja oleh tiga instansi.

18 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alat pelindung diri (APD) yang lolos ekspor dengan kode HS yang tak sesuai ratusan ribu set.

  • Pejabat Bea dan Cukai diduga ikut berperan dengan membuat laporan yang tak sesuai.

  • Ada pemberian APD dari perusahaan ke Bea dan Cukai.

SERATUSAN buruh PT Dae Dong International berkutat dengan lembaran kain berwarna putih di mejanya pada Selasa siang, 14 April lalu. Kain tersebut bahan baju hazmat yang diproduksi pabrik di kawasan berikat di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PT Dae Dong memproduksi alat pelindung diri untuk pasar luar negeri. Tapi ekspor mereka menghadapi masalah pada akhir Maret lalu. Saat itu, Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sudah mewabah di Tanah Air dan menyebabkan kematian. Lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020, pemerintah melarang ekspor sejumlah perlengkapan medis dan alat pelindung diri demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantor Bea dan Cukai Bogor menyegel kontainer berisi alat pelindung diri alias APD milik PT Dae Dong pada Sabtu, 21 Maret lalu. “Petugas sempat meng-hold barang mereka yang akan diekspor,” kata juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, Jumat, 17 April lalu.

Pada hari yang sama, Bea dan Cukai menyegel kontainer milik PT GA Indonesia, PT Pelita Harapan Abadi, PT Indomatra Busana Jaya, dan PT Permata Garment yang juga berisi APD. Keempat perusahaan ini beralamat di Bogor dan Depok, Jawa Barat. Rencananya, mereka akan mengekspor seluruh perlengkapan medis itu ke Korea lewat Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Petugas Bea dan Cukai menyegel kontainer tersebut di dalam pabrik. Jumlah isinya mencapai 145 ribu set APD. Dari dokumen yang diperoleh Tempo, perusahaan diduga tak mencantumkan kode sistem terharmonisasi atau harmonized system code (kode HS) sebagai APD dalam pemberitahuan ekspor barang (PEB). Mereka justru menuliskan kode HS untuk pakaian biasa, seperti jaket dan pakaian bayi.

Setiap eksportir dan importir wajib mencantumkan kode HS yang sesuai agar Bea dan Cukai bisa menetapkan tarif pungutan terhadap barang-barang tersebut. Ada delapan PEB yang diduga bermasalah. “Pemberitahuan pabean adalah self assessment dari pihak eksportir,” ujar Kepala Bea dan Cukai Bogor Tatang Yuliono, Kamis, 16 April lalu.

Penyegelan hanya berlangsung beberapa hari. Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2020 yang berisi perubahan terhadap Pasal 3 Peraturan Nomor 23 pada 31 Maret 2020. Peraturan baru menyebutkan menteri boleh mengecualikan larangan itu untuk perusahaan tertentu.

Dua surat yang diperoleh Tempo menyebutkan Kementerian Perdagangan mengizinkan PT Dae Dong International dan PT GA Indonesia mengekspor APD hingga 30 Juni mendatang. Surat bertanggal 3 April 2020 itu juga menyebutkan izin berlaku surut.

Bea dan Cukai kemudian mengizinkan seluruh ekspor APD kelima perusahaan itu ke Korea Selatan pada awal April lalu. Seorang penegak hukum mengatakan Tatang diduga ikut berperan dalam meloloskan ekspor tersebut. Ia ditengarai membuat laporan yang tidak sesuai mengenai jumlah ekspor dan produksi APD kelima perusahaan tersebut agar mendapatkan izin ekspor dari pemerintah.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2020 menyebutkan perusahaan penghasil antiseptik, APD, dan masker akan memperoleh izin ekspor jika mendapatkan restu dari instansi pemerintah terkait. Dalam hal ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease-2019 yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, yang dibentuk Presiden Joko Widodo pada pertengahan Maret lalu.

Menurut penegak hukum lainnya, Tatang diduga menyusun laporan yang seolah-olah menyebutkan para eksportir yang sedang bermasalah itu ikut menyuplai kebutuhan APD dalam negeri. Laporan ini menjadi penting karena, dalam berbagai pertemuan, pemerintah meminta eksportir ikut memenuhi permintaan APD di Indonesia yang makin tinggi.

Jika dianggap sudah berkontribusi, perusahaan akan dipertimbangkan untuk mendapatkan izin ekspor seperti yang tercantum dalam Peraturan Nomor 34 Tahun 2020. Peraturan itu menyebutkan Menteri Perdagangan bisa memberikan izin ekspor APD dengan pertimbangan tertentu.

Tatang enggan menjawab pertanyaan soal penyelesaian terhadap penyegelan kontainer lima perusahaan tersebut. Ia meminta Tempo mengkonfirmasi hal itu kepada juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro. “Secara sistem, Bea dan Cukai Bogor tidak ada kewajiban melakukan penelitian dokumen ekspor,” ucapnya.

Deni Surjantoro mengatakan penyegelan kontainer kelima perusahaan tersebut merupakan hasil patroli rutin para petugas Bea dan Cukai. Sejauh ini, kata dia, Bea dan Cukai tak menemukan pelanggaran, termasuk dugaan pelanggaran mengubah kode HS untuk memperlancar ekspor. Ia juga menyatakan tak menemukan kerugian negara. “Peristiwa kemarin itu bukan penindakan, hanya business as usual,” ujarnya.

PT Dae Dong International , PT GA Indonesia, PT Pelita Harapan Abadi, PT Indomatra Busana Jaya, dan PT Permata Garment sejak 2 Februari hingga 19 Maret lalu tercatat beberapa kali mengekspor APD ke Korea dan Cina. Selama periode tersebut, dokumen yang diperoleh Tempo mencatat kelima perusahaan mengirimkan sekitar 1,2 juta set APD.

Pabrik PT Dae Dong International./TEMPO/Mustafa Moses

Berlawanan dengan keterangan Deni, dokumen itu menyebutkan sebagian dari ekspor APD tersebut menggunakan modus yang sama. Dalam surat pemberitahuan ekspor barang, para eksportir mendeklarasikan produk itu berupa jubah, mantel, dan pakaian bayi. Sebagian dokumen lagi menyebutkan kode HS yang sesuai, yakni 62101090, adalah kode untuk pakaian pelindung kerja serta 62101011 adalah kode untuk pakaian pelindung bahan kimia dan api.

PT Dae Dong International  dan PT GA Indonesia tak merespons surat permohonan wawancara hingga Sabtu, 18 April lalu. Seorang pegawai PT Dae Dong bernama Kolbi sempat berjanji menjawab sejumlah pertanyaan lewat surat elektronik saat ditemui Tempo di pabrik.

Lewat surat elektronik, anggota staf PT Pelita Harapan Abadi bernama Kristiani mengatakan tak bersedia menerima wawancara Tempo. Anggota staf PT Permata Garment, Mutiara Ayu, dan Esti dari PT Indomatra Busana Jaya menyampaikan hal yang sama dalam surat mereka.

 

• • •

PRESIDEN Joko Widodo mengumumkan stok alat pelindung diri di Indonesia menipis ketika menggelar rapat bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin, 30 Maret lalu. Hingga Mei mendatang, Jokowi memperkirakan kebutuhan APD mencapai 3 juta unit. Ia memerintahkan Gugus Tugas mempercepat pengadaan APD.

Meski Indonesia bertabur pabrik garmen, hanya segelintir perusahaan yang menghasilkan APD seperti baju hazmat, masker, dan perlengkapan petugas kesehatan lain. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, selama ini, perusahaan penghasil APD lebih sering mengekspor produknya, khususnya ke Korea.

Sebelum wabah melanda, produksi APD di Tanah Air hanya mencapai 913 ribu set per bulan. Selain karena pasar dalam negeri masih terbatas, para eksportir APD itu umumnya memperoleh bahan baku dari Korea. “Kontrak mereka dengan importir di Korea sudah berlangsung jauh sebelum wabah Covid-19 ini,” ucapnya.

Pabrik-pabrik penghasil APD, seperti PT GA Indonesia dan PT Dae Dong International, berstatus perusahaan penanaman modal asing. Dari akta perusahaan yang diperoleh Tempo, semua pemilik saham, komisaris, dan eksekutif kedua perusahaan itu berstatus warga negara Korea. Negeri Ginseng, kata Khayam, memiliki kebutuhan APD yang tinggi sejak dulu.

Itu sebabnya, penyegelan kontainer berisi APD milik lima pabrik di kawasan berikat tersebut sempat menarik perhatian sejumlah lembaga. Penyegelan itu dikhawatirkan berdampak pada hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea. Apalagi Indonesia masih bergantung pada bahan baku APD dalam bentuk spunbond asal Korea.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo juga meminta Korea membantu Indonesia menyediakan bahan baku APD. Ia memberikan rekomendasi pengecualian izin ekspor APD kepada empat perusahaan dengan jumlah pengiriman maksimal 245 ribu set APD. Keempat perusahaan itu adalah PT Pelita Harapan Abadi, PT Indomatra Busana Jaya, PT Dae Dong International, dan PT Permata Garment.

Pertimbangan memberikan rekomendasi itu, menurut Doni, karena Indonesia masih mengimpor bahan baku APD dari Korea. “Perlu ada kerja sama dengan pihak Korea Selatan, dan akan ada pembagian hasil produksi,” ujarnya. Pembagiannya 50 : 50 untuk tiap produksi ekspor dengan pemenuhan suplai kebutuhan dalam negeri.

Selain persoalan kerja sama antarnegara, juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Deni Surjantoro, mengatakan pihaknya memiliki pertimbangan lain. Perusahaan penghasil APD itu berdiri di kawasan berikat dan ikut membantu negara karena menyerap ratusan pegawai.

Pihaknya tetap akan mendorong ekspor APD selama memenuhi rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan peraturan kepabeanan. “Sejauh ini, kami mencatat perusahaan-perusahaan itu justru lebih banyak memproduksi kebutuhan dalam negeri ketimbang ekspor,” tuturnya.

Tatang Yuliono, Kepala Bea dan Cukai Bogor./dok. Bea Cukai Bogor

Selain menyuplai APD kepada pihak swasta di Tanah Air, dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan PT Dae Dong International tercatat menyerahkan 2.000 set APD kepada Bea dan Cukai pada 6 April 2020. Seorang penegak hukum menyebutkan pemberian itu “upeti” dari perusahaan tersebut untuk mempermulus izin ekspor dari pemerintah.

Kepala Bea dan Cukai Bogor Tatang Yuliono mengaku tak tahu soal sumbangan APD. Deni Surjantoro mengaku mendapatkan dokumen yang menyebutkan sumbangan APD kepada Bea dan Cukai itu. Ia membantah jika instansinya disebut menerima bantuan APD tersebut.

Deni mengatakan dokumen yang beredar soal penyegelan kontainer milik lima perusahaan di Bogor dan Depok serta sumbangan APD itu bukan berasal dari Direktorat Bea dan Cukai. Metode penulisan dokumen itu, kata dia, bukan standar pegawai Bea dan Cukai.

Menurut Deni, petugas Bea dan Cukai tidak akan bermain-main dengan kebutuhan APD pada masa wabah Covid-19 ini. Bea dan Cukai justru akan membantu pihak yang berperan mengatasi masa pandemi ini. “Enggak ada untungnya main-main,” ujarnya. “Pasti dilaknat banyak orang.”

MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus