Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perlawanan Susno

Bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Susno Duadji menolak menjalani hukuman. Memanfaatkan celah putusan hakim yang tak mencantumkan perintah penahanan.

24 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan di depan rumah di kompleks Puri Cinere, Depok, mendadak ramai siang itu. Selasa pekan lalu, puluhan wartawan, baik cetak maupun televisi, berkumpul di depan bangunan berlantai dua dan berpagar besi hitam. Mereka menunggu kemunculan pemilik rumah yang dikabarkan hendak menggelar jumpa pers.

Pemilik rumah di Jalan Cibodas 1 nomor tujuh itu adalah Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Susno Duadji, bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI yang terseret kasus korupsi. Yang membuat para pemburu berita heran, dari luar pagar tak terlihat tanda-tanda persiapan apa pun. Pagar dan pintu depan rumah tertutup rapat. Garasi yang bisa menampung dua mobil pun terlihat kosong melompong.

Di tengah penantian wartawan, yang muncul justru tiga jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Hari itu tim dari Seksi Pidana Khusus Kejaksaan kembali menyambangi rumah Susno untuk mengirimkan surat panggilan ketiga. Surat panggilan terakhir itu dilayangkan kembali lantaran Susno mangkir pada dua panggilan sebelumnya.

Ketika tim jaksa mengetuk-ngetuk pintu pagar, yang keluar hanya penjaga rumah. "Bapak sudah beberapa bulan tak ke sini," kata lelaki yang mengaku bernama Yadi tersebut. Menurut dia, tuannya sudah tak menempati lagi rumah itu sejak 2010.

Siang itu, jaksa pun terpaksa balik kanan. Mereka hanya bisa menitipkan surat panggilan untuk Susno kepada Yadi. Sama seperti dua surat sebelumnya, surat terakhir juga meminta Susno menghadap ke kejaksaan agar hukuman penjara yang mesti ia jalani bisa segera dilaksanakan. Kejaksaan memanggil Susno setelah menerima salinan putusan Mahkamah Agung. Putusan tanggal 22 November 2012 itu menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa dan Susno.

Sebelumnya, pada 24 Maret 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Susno bersalah. Menurut majelis hakim, Susno terbukti menyunat dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat pada 2008.

Susno, sewaktu menjabat Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, memotong anggaran pengamanan yang semestinya menjadi jatah kepolisian tingkat resor dan sektor. Dari total dana pengamanan Rp 8 miliar, Susno mengambil Rp 5 miliar. Uang itu, antara lain, dia pakai untuk membeli rumah di Jalan Wijaya IV, Jakarta Selatan.

Menurut hakim, Susno juga terbukti bersalah karena menerima suap Rp 500 juta dari Haposan Hutagalung melalui Sjahril Djohan. Uang itu berkaitan dengan kasus penggelapan modal usaha penangkaran ikan arwana yang mandek di Badan Reserse Kriminal Polri. Haposan adalah pengacara Ho Kian Kuat, pemodal yang merasa ditipu Anwar Salma, pemilik PT Salmah Arowana Lestari. Adapun Sjahril berperan sebagai perantara yang menghubungkan Haposan dengan Susno.

Dalam dua kasus yang berkas perkaranya menjadi satu itu, majelis hakim yang diketuai Charis Mardiyanto menghukum Susno tiga setengah tahun penjara. Bekas Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ini juga diwajibkan mengganti kerugian negara Rp 4 miliar.

Tak terima dengan putusan itu, Susno mengajukan permohonan banding. Namun, pada 9 November 2011, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. Bahkan majelis hakim banding menaikkan kerugian yang harus dibayar Susno menjadi Rp 4,2 miliar.

Setelah menerima salinan putusan kasasi, kejaksaan mengira bisa segera mengirim Susno ke penjara dan memaksa dia membayar kerugian negara. Namun Susno dan pengacaranya kembali melawan. Mereka memanfaatkan celah dalam putusan hakim.

Pengacara Susno, Fredrich Yunandi, mempersoalkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tak mencantumkan perintah agar Susno segera ditahan. Fredrich pun mempertanyakan putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang tak memperbaiki bolong itu. "Putusan seperti itu batal demi hukum," katanya. Pada tingkat Mahkamah, hal serupa terjadi. Kendati Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi jaksa dan Susno, tak ada perintah penahanan terhadap Susno. "Jadi masalahnya selesai. Pak Susno tak harus dipenjara," ujar Fredrich.

Karena itu, menurut dia, Susno tak akan memenuhi panggilan jaksa meski sudah dipanggil tiga kali. Bila jaksa berani menjemput paksa, kata Fredrich, Susno akan memperkarakan kejaksaan. "Kami sudah lapor ke Mabes Polri, biar jaksa ditangkap," ucapnya.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Arif Zulhan Yani heran terhadap sikap Susno yang berubah-ubah. Menurut dia, sewaktu menerima surat panggilan pertama awal Februari lalu, Susno sempat menyanggupi untuk dieksekusi. Hanya, dalam surat balasan atas panggilan pertama itu, dia meminta ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cibinong.

Waktu itu, menurut Arif, Susno beralasan bahwa dia merupakan peniup peluit (whistleblower) dalam kasus penggelapan pajak oleh Gayus H. Tambunan. Bila dipenjara bersama Gayus di Sukamiskin, Bandung, "Susno merasa terancam," kata Arif sambil menunjukkan salinan surat balasan Susno yang diteken Untung Sunaryo, pengacara Susno lainnya. Menurut Arif, Susno berubah sikap setelah menunjuk Fredrich sebagai kuasa hukumnya. "Dia tiba-tiba minta eksekusi dibatalkan."

Perlawanan Susno dan pengacaranya mendapat dukungan Yusril Ihza Mahendra, pengacara dan bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut dia, agar hukuman penjara Susno bisa dilaksanakan, hakim seharusnya mencantumkan perintah penahanan dalam putusannya.

Yusril merujuk pada Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ayat 1 pasal itu antara lain menyebutkan putus­an pidana harus memuat perintah penahanan. Bila tidak, menurut ayat 2, putusan batal demi hukum. "Hanya orang yang tidak mengerti bahasa Indonesia yang tidak mengerti itu," ujar Yusril.

Sewaktu membela salah seorang kliennya, Yusril pernah menguji materi ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Dia meminta Mahkamah Konstitusi mempertegas keharusan putusan pidana memuat perintah penahanan itu.

Namun, pada 22 November 2012, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Yusril. Menurut Mahkamah Konstitusi, demi rasa keadilan, orang yang terbukti bersalah harus dihukum meski putusan hakim tak mencantumkan perintah eksekusi.

Menurut Mahkamah Konstitusi, bila diartikan seperti keinginan Yusril, Pasal 197 KUHAP akan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah pun menganulir ayat 1 huruf k, yang mengharuskan pencantuman perintah eksekusi itu.

Meski sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Yusril, Susno tetap tak bisa ditahan. Alasannya, putusan Mahkamah Konstitusi tak berlaku surut. Putusan tersebut hanya berlaku untuk putusan hakim yang diketuk setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusannya. Untuk mengatasi kebuntuan hukum ini, menurut Yusril, jaksa bisa mengajukan permohonan peninjauan kembali. "Alasannya demi kepentingan hukum," kata Yusril.

Ahli hukum dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, mengatakan, untuk memenuhi rasa keadilan, Susno harus dipenjara. "Secara substansi dia bersalah, jadi harus dihukum," ujar Yenti. Namun Yenti pun mengaku prihatin dengan tidak cermatnya para hakim dalam membuat putusan. "Hakim seakan-akan sengaja membuat putusan ini tak bisa dieksekusi."

Jaksa Agung Basrief Arief masih meminta Susno memenuhi panggilan ketiga jaksa pada Senin pekan ini. Menurut dia, kejaksaan belum berencana memanggil paksa Susno karena masih mengupayakan jalan terbaik untuk putusan hakim. "Eksekusinya lebih cepat lebih baik," kata Basrief.

Febriyan, Febriana Firdaus, Indra Wijaya, Ilham Tirta (Depok)


Perjalanan Susno

Kasus yang kini dihadapi Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Susno Duadji, 59 tahun, tak bisa dilepaskan dari "perseteruan"-nya dulu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus yang kemudian dikenal dengan "Cicak versus Buaya" itulah yang kemudian, dalam perjalanannya, membuka kasus-kasus yang melibatkan lulusan Akademi Kepolisian 1977 tersebut menjadi tersangka.

Juli 2009

  • Susno Duadji mengaku disadap Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK menyadap Susno karena mencurigai adanya permainan mafia hukum di tubuh Markas Besar Kepolisian RI. Pada bulan inilah Susno, dalam wawancara dengan Tempo, mengeluarkan pernyataan yang kemudian menjadi heboh itu: "Cicak kok melawan buaya…".

    September 2009

  • KPK menyatakan sedang menyelidiki dugaan keterlibatan petinggi Polri dalam kasus korupsi. Sedangkan Susno memeriksa dan menetapkan dua pemimpin KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sebagai tersangka mafia hukum kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Keduanya dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

    5 Oktober 2009

  • Tim pengacara KPK melaporkan Susno ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Susno dinilai melanggar etika profesi karena menemui tersangka kasus korupsi SKRT, Anggoro Widjojo, pada 10 Juli 2009 di Singapura.

    November 2009

  • Presiden membentuk Tim 8 untuk menelusuri kebenaran rekayasa kasus hukum terhadap Bibit-Chandra. Tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution ini akhirnya menyatakan bahwa proses hukum terhadap Bibit-Chandra sebagai rekayasa. Pada bulan ini pula Susno diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

    Maret 2010

  • Susno Duadji "menyerang" institusinya sendiri. Dia menyatakan akan membongkar mafia hukum di tubuh Polri, yang melibatkan petinggi Polri dan pegawai pajak Gayus Tambunan. Polri pun menjadikan Susno sebagai tersangka pencemaran nama baik institusi Polri.

    Mei 2010

  • Susno menjadi tersangka kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan kasus dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat. Dia ditahan di Markas Korps Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok.

    September 2010

  • Susno menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    Februari 2011

  • Susno bebas karena masa penahanannya sudah habis. Adapun proses pengadilan belum selesai.

    Maret 2011

  • Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Susno bersalah dalam dua kasus ini. Dia divonis 3 tahun 6 bulan penjara, didenda Rp 200 juta, dan diminta membayar kerugian negara Rp 4 miliar.

    November 2011

  • Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan bahkan memerintahkan Susno membayar uang kerugian negara lebih tinggi, yakni Rp 4,2 miliar. Jaksa dan Susno mengajukan permohonan kasasi.

    November 2012

  • Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa dan Susno.

    11 Februari 2013

  • Putusan kasasi diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Kejaksaan langsung melayangkan surat pemanggilan pertama untuk mengeksekusi Susno.

    5 Maret 2013

  • Pengacara Susno, Fredrich Yunadi, menggelar konferensi pers. Dia menyatakan kliennya tak akan menghadiri panggilan kejaksaan untuk dieksekusi.

    13 Maret 2013

  • Kejaksaan mengirim panggilan kedua untuk Susno.

    19 Maret 2013

  • Kejaksaan melayangkan panggilan ketiga. Susno tetap tak datang.
    Sengkarut Pasal Eksekusi

    Eksekusi terhadap mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI diwarnai perdebatan tentang Pasal 197 ayat 1 huruf k dan Pasal 197 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mahkamah Konstitusi pun membuat putusan pada 22 November 2012, yang menegaskan bahwa putusan pengadilan yang tak memuat perintah eksekusi tak dapat dikatakan batal demi hukum. Berikut isi pasal itu.

    Pasal 197 ayat 1 huruf k:

  • Surat putusan pemidanaan memuat k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

    Pasal 197 ayat 2:

  • Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

    Putusan Mahkamah Konstitusi
    1. Pasal 197 ayat 1 huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, jika diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.
    2. Pasal 197 ayat 1 huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat 1 huruf k mengakibatkan putusan batal demi hukum.
    3. Pasal 197 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selengkapnya menjadi: "Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum."
    Keterangan: syarat k dihapuskan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus